Pandangan Para Filsuf Tiongkok tentang LI
Xun zi 荀子 dan Legalism fajia 法家, Xun Zi beranggapan bahwa li atau etika lahir untuk mengatur nafsu keinginan manusia, dimana jika tidak diatur maka akan timbul masalah, yaitu perebutan untuk pemuasan nafsu manusia akan benda-benda material duniawi. Karena itu li mengatur status dan kedudukan sehingga masyarakat akan mengetahui batasan-batasannya sesuai dengan statusnya dan dengan demikian kebutuhan dan persediaan akan menjadi seimbang.
Xun Zi memiliki pandangan bahwa manusia pada dasarnya memiliki sifat yang buruk, keburukannya itu karena keinginan atau nafsu dan bisa diperbaiki dengan li atau etika yang dibuat oleh raja purbakala yang tidak menginginkan terjadinya kekacauan dalam masyarakat . Sedangkan Han FeiZi yang juga seorang filsuf Legalism berpendapat bahwa bukan etika yang bisa membuat manusia bisa menjadi baik tapi hukum dan perangkat undang-undang yang tegas, keras, tidak pandang bulu, adil yang bisa membuat manusia menjadi baik dan beretika.
Qian Hang menuliskan pendapatnya tentang asal muasal etika ketika membahas Xun Zi : “Sebenarnya etika awal bukan dibuat oleh para raja purba, tapi manusia di antara pertempuran antara alam dan masyarakat, manusia saling bergantung satu dengan yang lain, juga saling membuat aturan-aturan diantara kelompok, secara perlahan dan pasti mengumpulkan serta membuat sistem-sistem dan perjanjian-perjanjian diantara masyarakat.”
Kong Zi dan Ruisme. Kong Zi terkenal dengan golden rules yang intinya adalah “Apa yang orang lain tidak ingin lakukan pada kamu janganlah kau lakukan pada orang lain”. Dasar pembentukan etika Ruism adalah kata ren 仁 atau kemanusiaan, sebagaimana dikumandangkan oleh Kong Zi. Tataran tingkatan kemanusiaan ini dimulai dari yang terdekat dahulu, dalam keluarga dan dikembangkan hingga keluar dalam lingkup yang lebih luas atau kepada seluruh yang ada di alam ini. Hal ini ditekankan karena sesuatu dimulai dari langkah terkecil, dan harus tertata rapi, karena itu dalam Ruism dikenal wulun �”倫atau lima hubungan.
Lima hubungan ini adalah hubungan yang bersifat mengatur tatakrama dan sikap dalam kehidupan. Adapun lima hubungan ini adalah suami istri, orangtua anak, saudara, pertemanan, atasan bawahan . Konsep ini digarisbawahi sikap moral dalam pola hubungan ini dengan sikap-sikap moral oleh Meng Zi 孟子 yang diakui sebagai seorang filsuf besar dari aliran Ruism. Dalam hubungan suami istri, diterapkan sikap mencintai sepenuh hati hanya seorang saja dalam artian tidak mendua hati dalam hubungan suami istri, hubungan antara orangtua dan anak diterapkan asas kasih sayang , hubungan persaudaraan yang berdasarkan faktor usia atau senioritas dalam keluarga , hubungan pertemanan berbicara dua faktor yaitu dapat percaya dan bersikap adil dan benar , hubungan antara atasan dan bawahan terkait pada kesetiaan 忠 seorang bawahan dan atasan yang memiliki etika serta tatakrama 禮 .
Bagi Meng Zi, manusia berbeda dengan binatang karena memiliki etika dan yang harus diawali dalam mengembangkan etika dalam tahap selanjutnya untuk menjadi junzi 君子 itu adalah bagaimana sikap
kita dalam tatatan sosial masyarakat, sehingga lima hubungan sering diartikan adalah lima etika hubungan sosial . Ini adalah menjalankan etika 行禮 dalam kehidupan manusia sebagai mahluk sosial yang tentunya memiliki strata sosial yang berbeda-beda.
Kong Zi dalam dialognya dengan muridnya Yan Yuan yang bertanya tindakan apa yang disebut ren atau kemanusiaan itu ? Kong Zi menjawab bahwa ren adalah dimana kita menaklukan diri sendiri dan bertindak sesuai etika,jika sudah bisa berbuat seperti ini, seluruh dunia akan melaksanakan ren, dan untuk melaksanakan kebajikan kemanusian harus dimulai dari diri sendiri, bukanlah dari orang lain. Yan Yuan bertanya bagaimana menjalankannya, Kong Zi menjawab “ Tidak melihat yang tidak sesuai etika, tidak mendengarkan yang tidak sesuai etika, tidak berbicara yang tidak sesuai etika, tidak melakukan
yang tidak sesuai etika .” Istilah ini sering disebut dalam bahasa Inggris adalah “see no evil, hear no evil, speak no evil, do no evil”.
Berdasarkan hal ini, maka etika menurut Kong Zi adalah kemanusiaan dan untuk mencapainya harus menjaga diri agar tidak dipengaruhi hal-hal yang akan mempengaruhi diri sehingga melupakan esensi dari etika yaitu kemanusiaan. Sun Zi dan filsafat perang , pada umumnya ketika membahas filsafat Tiongkok itu mayoritas yang dibahas adalah aliran Mo, Ming, Yin Yang, Dao, Fa dan Ru. Menurut prof. Chen Yao Ting陳耀庭 , kitab perang Sun Zi termasuk aliran filsafat dan berakar dari filsafat Dao, tapi dalam perjalanannya menjadi suatu aliran yang berbeda. Dalam siasat perang bukan menekankan kemenangan berdasarkan dari kekuatan militer tapi juga berbicara masalah-masalah kebajikan, tujuan berperang dan tindakan berperang adalah langkah terakhir ketika tidak bisa dihindari.
Salah satu yang menarik dari ujar-ujar atau pepatah yang ada kaitan filsafat perang, misalnya “seorang ksatria sejati lebih baik dibunuh daripada dihina” yang sebenarnya mengacu pada kitab Li Ji, disini kita bisa melihat bahwa penghinaan terhadap tawanan adalah hal yang tidak boleh dilakukan. Selain hal itu adalah bagaimana memperlakukan mereka yang dalam keadaan terdesak, tidaklah baik terlalu mendesak orang yang dalam keadaan terpojok. Salah satu yang menarik adalah kitab perang Su Shu 素書 atau buku kesederhanaan yang juga sering disebut buku perang Tai Gong 太公兵法, dalam awal pembukaannya disebutkan
bahwa dao, de 德 kebajikan, ren 仁 kemanusiaan, li 禮 tata krama etika, yi義 keadilan adalah satu tubuh tidak terpisahkan. Seorang pemimpin harus mengutamakan hal-hal itu, juga dalam berperang, sehingga kemenangan diraih adalah kemenangan sempurna dengan mendapatkan hati rakyat. Pengaruh etika perang dapat terlihat dalam etika kaum pesilat dan juga soft power yang dikembangkan dari dinasti ke dinasti.
Mo Zi dan mahzab Mohism, terkenal dengan cinta kasih universal tanpa syarat, dimana etika terunggul adalah bisa mencintai siapapun tanpa syarat, kemanusiaan yang dijalankan adalah dengan memberikan kemashlatan umat manusia, melawan ketidak adilan . Mo Zi bis dianggap sebagai antitesis seni berperang, karena Mo Zi juga sering disebut seni perdamaian atau filsafat yang menekankan antiperang. Selanjutnya Mo Zi mengatakan bahwa dalam melihat negara orang lain bagaikan melihat negara sendiri, melihat orang lain bagaikan melihat diri sendiri .Dimana perlu diingat pada masa lampau manusia atau masyarakat pada umumnya memiliki atau berpedoman cinta kasih yang masih bersifat primodiarlisme, belum banyak yang memikirkan cinta kasih yang lebih luas. “Walau memiliki pengetahuan tapi harus menjadikan kebajikan sebagai dasar” . Kebajikannya itu adalah cinta kasih universal, tidak menyerang negara lain. Etika yang diterapkan kemudian menjadi aturan para pengikutnya kemudian dijalankan dengan mengabdi atau membantu negara-negara yang diserang, misalnya dalam membantu negara Song dari serangan negara Chu menjadi salah satu episode sejarah Tiongkok yang
termasyur.
Meninggalnya Mo Zi membuat suatu kekosongan dalam kelompoknya dan membuat tercerai berainya para pengikut sehingga ada yang menjadi tentara bayaran atau juga tetap konsisten pada prinsip anti peperangan dengan mengabdikan diri mereka sebagai pembela kebenaran, yang kemudian disebut xia ke 俠客 atau ksatria pengelana. Dalam film atau cerita silat sering diceritakan para pendekar berkelana membela kebenaran adalah pengaruh dari perilaku sebagian pengikut Mo Zi dalam melawan ketidak adilan atau angkara murka. Etika yang diterapkan adalah persamaan derajat dan tegaknya peraturan, mirip seperti prinsip Legalism.
Siapa yang membunuh harus dihukum mati, siapapun mereka, termasuk pula anak sendiri. Karena dengan cara demikianlah maka etika bisa ditegakkan. Mo Zi menentang konsep Kong Zi tentang musik dan seni, Kong Zi beranggapan bahwa seni dan musik adalah komponen yang bisa membentuk etika manusia dengan melihat keindahan dari seni musik sedangkan bagi Mo Zi musik adalah hal yang sia-sia dan tidak memiliki pengaruh bagi etika.