Budaya Tionghoa

Forum Budaya & Sejarah Tionghoa

Menu
  • HOME
  • FB GRUP
  • FB PAGE
  • MAILING-LIST
  • Photo
  • Esai & Opini
Menu

Tag: buddhisme

PEMAHAMAN MAKNA dan HAKEKAT “DOA” (MANTRA) DALAM KEPERCAYAAN TIONGHOA (bag.1)

Posted on July 24, 2019 by Ardian Zhang

PEMAHAMAN MAKNA

dan

HAKEKAT “DOA” (MANTRA) DALAM TRIDHARMA

           

 

Bahasa

 

Manusia pada awalnya menggunakan ‘bunyi’ dan ‘isyarat’ sebagai cara berkomunikasi yang kemudian disebut sebagai bahasa. Bahasa adalah alat komunikasi yang digunakan oleh mahluk hidup dimana bahasa yang digunakan beragam, antara lain adalah : bahasa bunyi; bahasa isyarat. Segala bunyi, lahir dari hati manusia. Perasaan bergerak di dalamnya, menjadi suara. Suara menjadi bahasa, itulah bunyi ( yang beragam) ( 凡音者, 生與人心者. 情動與中, 故形與聲. 聲成文, 謂之音). Manusia memiliki indera-indera tubuh sehingga bisa berinteraksi dan memiliki nalar untuk merefleksikan hasil interaksi itu, menggunakan bunyi yang kemudian menjadi kata dan berkembanglah bahasa sebagai alat penghubung ( alat komunikasi ) antara satu dengan yang lain. Seperti tertulis dalam kitab Liji,”sifat alami manusia adalah hening, gerak karena adanya interaksi ( dengan ) benda ( luar )” ( 人生而静天之性也感于物而動). Bahasa bagi manusia itu sifatnya primer, dapat diucapkan, dan menghasilkan bunyi, apakah ini berarti semut tidak memiliki kemampuan berkomunikasi ? Apakah hanya manusia saja yang mengenal bahasa ? Apakah kemampuan empiris manusia yang berdasarkan indra-indra manusia saja sehingga hanya manusia yang memiliki kemampuan berbahasa ? Semut juga memiliki kemampuan berkomunikasi dengan sesame semut melalui senyawa-senyawa kimia. Bahkan bakteri sekalipun memiliki kemampuan komunikasi melalui cairan kimiawi; sinyal listrik.  Dalam makalah ini, kata yang digunakan adalah “doa” dengan tanda kutip untuk memberikan suatu pemahaman mengenai ‘kata’ dan ‘bunyi’ ini yang merupakan bagian dari linguistik. Manusia dalam berinteraksi antara satu dengan yang lain itu menggunakan “bunyi” yang disebut kata, kata ini adalah bagian dari bahasa. Ernst Cassier menuliskan bahwa “Demoskritos-lah orang yang pertama mengajukan tesis bahwa bahasa manusia berasal dari bunyi-bunyi tertentu yang semata-mata bersifat emosional”. Apa yang disebut manusia ? Manusia adalah mahluk yang berkata. “Manusia disebut manusia, adalah ( karena ) kata. Manusia tidak dapat berkata, bagaimana menjadi manusia” (人之所以为人者言也 人而不能言 何以为人). Dengan bunyilah manusia merefleksikan perasaannya yang disebabkan adanya unsur-unsur luar, seperti ditulis dalam kitab Liji “Asal dari bunyi, berasal dari hati manusia. Gerak dari hati manusia, berasal dari benda (pengaruh luar ) ( 凡音之起, 由人心生也. 人心之動, 物使然也)[3] . “Interaksi dengan benda melahirkan gerak, terbentuk dengan suara. Suara saling berinteraksi, itulah melahirkan ragam. Ragam menjadi fang( 5 nada ), itulah bunyi”( 感于物而動, 故形于聲.聲相應,故生變. 變成方,謂之音).

Read more

TRADISI MENGANTAR DEWA DAPUR SEBAGAI SARANA PERTOBATAN

Posted on February 9, 2019 by Ardian Zhang

TRADISI MENGANTAR

DEWA DAPUR

SEBAGAI SARANA PERTOBATAN

Ardian Cangianto

 

Setiap budaya dan kepercayaan mengenal suatu sistem “penyesalan dan merevisi diri”.  Tujuannya agar membangun masyarakat yang tertib dan damai. Mengarahkan manusia agar mengingat kelakuannya dan merevisi diri. Tanpa adanya revisi dan penyesalan, manusia sulit untuk bergerak maju ke depan menuju lebih baik lagi dalam kehidupan dan kualitas hidup duniawinya. Sedangkan dari sudut spiritualitas dan religiusitas, laku “penyesalan dan revisi diri” meningkatkan spiritualitasnya.

            Buddhisme Mahayana Tiongkok dan Taoisme mengenal “doa penyesalan” 懺悔文.  Penyesalan menjadi amat penting dalam ritual maupun praktek kehidupan sehari-hari bagi manusia. Praktek ini diperlukan karena manusia memiliki nafsu-nafsu indriawi yang perlu dikontrol, selain itu manusia memiliki dasar-dasar kebaikan yang perlu dipupuk serta dipelihara. Jika perbuatan-perbuatan jahat yang merugikan orang lain itu tidak disadari dan disesali, maka hati manusia yang baik itu menjadi meredup dan lenyap. Nafsu-nafsu indirawi semakin menguat dan memperbudak diri manusia.

Read more

Perubahan Konsep Tempat Ibadah Masyarakat Tionghoa dan Pengaruhnya dalam Identitas

Posted on July 11, 2018 by Ardian Cangianto

Perubahan Konsep Tempat Ibadah

Masyarakat Tionghoa dan

Pengaruhnya dalam Identitas

 

 

 

 

oleh:

Ardian Cangianto

 

Pendahuluan

            INPRES 14 tahun 1967 yang dikeluarkan pasca kejadian G 30 S/ PKI mengenai pembatasan kepercayaan orang Tionghoa serta peleburan paksa kepercayaan-kepercayaan mereka ke dalam agama Buddha membuat mereka mengalami perubahan-perubahan sosial. Permasalahan lain adalah pandangan masyrakat yang salah kaprah tentang kepercayaan orang Tionghoa yang selalu dikaitkan dengan agama Konghucu[1] juga tidak tepat. Mencari fakta-fakta sosial dalam kepercayaan orang Tionghoa terutama pada pasca G 30 S itu seperti yang diutarakan Durkheim ( dalam Rizter, 2014 ) mengacu pada : dalam bentuk material dan dalam bentuk non material. Selain itu juga fakta sosial mencakup ( Rizter, 2014 ) struktur dan pranata sosial. Dalam hal “kelas” masyrakat, para penganut kepercayaan Tionghoa itu menjadi kelas “paria” yang mana kepercayaannya sendiri dilecehkan oleh banyak oknum dari semua agama resmi negara dan tempat ibadah kepercayaan mereka yang pada masa Orde Lama bebas berdiri sendiri digiring untuk masuk dalam naungan agama Buddha.

            Kendala yang dialami oleh orang Tionghoa dan kepercayaannya terkait dengan faktor kekuasaan dan juga program “kambing hitam” mengurung mereka dalam penjara “idea” sehingga membuat banyak orang Tionghoa mengalami krisis identitas dan terpaksa melakukan perubahan-perubahan dalam kepercayaan mereka. Mereka melakukan pendobrakan dari penjara “idea” dengan melakukan perubahan-perubahan terhadap “idea” mereka. Untuk memahami proses-proses perubahan ini penulis mengacu pada paradigma sosial Rizter ( Rizter, 2014 ) yakni: fakta sosial, definisi sosial dan perilaku sosial.

            Dalam hal mengatasi permasalahan-permasalah dan penjara “idea” itu para tokoh kepercayaan Tionghoa melakukan upaya mengatasi permasalahan itu dengan aktif dan kreatif  dengan cara menilai dan mencari alternatif-alternatif tindakan serta evaluative ( lihat Voluntarisme Parson dalam Ritzer, 2014 ). Semua  itu akhirnya melahirkan PTITD ( Persatuan Tempat Ibadah Tri Dharma )[2] sebagai wadah atau institusi yang memayungi tempat ibadah kepercayaan Tionghoa dan bersinergi dengan lembaga agama Buddha yakni WALUBI ( Perwakilan Umat Buddha Indonesia ) yang diakui sebagai bagian dari agama Buddha.

Read more

Capgome itu apa sih ? ( bagian 1 )

Posted on March 18, 2018 by Ardian Zhang

Capgome itu apa sih ?

               

                                Orang Tionghoa sejak dahulu tidak mempermasalahkan agama-agama karena mereka berpandangan semua agama itu baik adanya. Yang ditekankan adalah aspek spiritualitas dimana aspek spiritualitas itu adalah aspek yang bersifat horisontal dan vertikal. Kita tahu ada berbagai tipe kecerdasan dan kecerdasan spiritual ( spiritual inteligent ) salah satu dari kecerdasan itu. Kecerdasan spiritual berkait dengan spiritualitas seseorang. Dalam hal spiritualitas ada 2 aspek penting seperti yang ditulis di atas, yakni : horisontal dan vertikal.  Horisontal adalah berbicara bagaimana membangun hubungan antar manusia; manusia dengan alam. Vertical adalah berbicara bagaimana membangun hubungan antara manusia dengan KeTuhanan ( intrapersonal; inter personal; transpersonal ). Dalam hal ini perayaan Capgome memiliki tujuan untuk membangun spiritualitas orang Tionghoa terutama dalam hal personal awareness dan social awareness , dalam hal ini adalah aktulisasi diri dan empati pada kondisi-kondisi sosial.

Read more

Mengenali sembahyang rebutan ( bag.1 )

Posted on July 21, 2016December 1, 2022 by Ardian cangianto

Mengenali sembahyang rebutan 

oleh

Ardian Cangianto

 

 

 

PENDAHULUAN

Setiap menjelang bulan tujuh penanggalan Tionghoa, kelenteng-kelenteng sering melakukan berbagai upacara ritual untuk para arwah gentayangan dan para leluhur. Masyarakat pada umumnya sering menganggap sembahyang qiyue ban 七月半( pertengahan bulan tujuh ) yang berkaitan dengan guijie 鬼節 (festival arwah)[1] atau sembahyang rebutan  ( cioko / qianggu 搶孤) yang merupakan tradisi “kelenteng”. Sebenarnya tidak tepat juga anggapan bahwa festival arwah itu adalah festival dan tradisi yang hanya dilakukan di kelenteng. Perlu diketahui bahwa pada umumnya mereka di Taiwan, Hongkong maupun Tiongkok daratan sekarang ini pada saat festival arwah sering mengadakan sembahyang di pinggir jalan tanpa perlu atau wajib melakukan itu di kelenteng. Sedangkan dalam agama Buddha Mahayana Tiongkok disebut sembahyang Ulambana.  Taoisme menyebutnya sebagai festival Zhongyuan 中元節.

 

Pic. 1 Tradisi rakyat di Guilin Tiongkok

 

 

Pic. 2 Tradisi rakyat di Hongkong

 

 

 

            Tapi sepanjang penulis tahu, tradisi ini tidak terjadi begitu saja. Adanya pengaruh Buddhism disamping Taoism dan tradisi-tradisi Tionghoa lainnya yang  kemudian membentuk upacara ini. Saling interaksi itu nantinya akan memberikan pula warna bagi tradisi sembayang rebutan di kelenteng ataupun dalam tradisi yang dilakukan oleh penganut kepercayaan Tionghoa. Menurut Zhou Shujia 周树佳, tradisi ini pada umumnya dianggap dari agama Buddha tapi sesungguhnya berasal dari Taoism[2]. Dalam tulisan ini, penulis tidak akan memfokuskan mana yang lebih dahulu atau milik agama apa. Apa yang penulis ingin paparkan adalah asal muasal serta makna-maknanya. Yang jelas perayaan bulan tujuh imlek itu adalah perayaan yang penuh makna dan dirayakan selama ribuan tahun.

Read more
  • 1
  • 2
  • 3
  • 4
  • Next
Budaya Tionghoa

Recent Posts

  • Apa dan Bagaimana Shengren: Sebuah notulensi
  • REVIEW FILM : MULAN 2020
  • KISAH SEDIH TENTANG PUISI LI MOCHOU „AKU BERTANYA PADA DUNIA APAKAH CINTA ITU?“
  • BAO ZHENG – HAKIM YANG JUJUR
  • LI BAI ( LI TAI PO ) – PUJANGGA TERMASYHUR
  • TATA CARA PENULISAN TABLET PAPAN ARWAH
  • PAN AN – SASTRAWAN ERA DINASTI JIN BARAT
  • BERKETUHANAN MENURUT TAOISME
  • Daodejing bab 81
  • Daodejing bab 62

Recent Comments

  1. Erwin R Tan on KELENTENG DAN AGAMA BUDDHA MENUJU KEHARMONISAN
  2. Huang Dada on REVIEW FILM : MULAN 2020

Archives

Categories

agama Bandung budaya budaya tionghoa buddhisme capgome dewa Diaspora dinasti ming dinasti qing dinasti song dinasti tang fengshui Festival filsafat fotografi hakka Hengki hokkian Huangdi imlek jin yong kelenteng kematian kisah laozi lasem Li Bai Marga marga li marga tan marga tionghoa peranakan pernikahan sastra seri LF she Siauw Giok Tjhan sne tao taoism taoisme tibet tionghoa zheng he

© 2023 Budaya Tionghoa | Powered by Minimalist Blog WordPress Theme