http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/message/598
SAMBUTAN MENTERI NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/KEPALA BAPPENAS DALAM PRE-CGI MEETING
Jakarta, 10 Desember 2003
Bapak dan Ibu yang saya hormati, Para hadirin yang berbahagia, Seperti yang tercantum dalam agenda, hari ini saya diminta berbicara dalam Working Group yang dinamakan Policy Dialogue dengan topik “Aid Effectiveness“. Sepanjang ingatan saya setiap tahun kita berbicara tentang aid dffectiveness. Maka pada tahun 2002 saya telah berbicara tentang hal ini dalam Pre-CGI Meeting, yang naskahnya saya bagikan pada hari ini, karena pendirian saya masih tidak berubah. Walaupun ada hubungannya dengan efektivitas dari penggunaan utang luar
negeri, hari ini saya akan menyinggung aspek-aspek lainnya. Utang luar negeri yang terus menerus diberikan kepada Indonesia ternyata mengakibatkan semakin tergantungnya Indonesia pada negara-negara kreditur dan lembaga-lembaga keuangan internasional. Salah satu bentuk ketergantungan ini adalah semakin hancur leburnya keuangan pemerintah Indonesia. Mengapa? Karena ketergantungan itu bertambah parah dengan dimintanya IMF membantu Indonesia dalam menghadapi krisis kepercayaan di tahun 1997. Tidak dikira sebelumnya bahwa IMF akan memaksakan kehendaknya yang demikian tidak masuk akal dan tidak fair-nya.
Apa yang saya artikan? Sangat banyak. Kalau harus saya kemukakan semuanya akan makan waktu seluruh hari. Maka saya akan mengemukakan beberapa saja. Pertama, yang paling mencolok adalah cakupan campur tangannya. Staf kami membuat ikhtisar dari semua Memorandum of Economic and Financial Policies atau MEFP (yang juga terkenal dengan sebutan Letter of Intent) dalam bentuk setiap tindakan yang harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Sampai LoI tanggal 11 Juni 2002, cakupannya adalah 1243 tindakan dalam bidang-bidang perbankan, utang, desentralisasi, lingkungan, fiskal, perdagangan luar negeri, deregulasi dan perbankan, pinjaman dan pemulihan asset, kebijakan moneter dan Bank Sentral, privatisasi BUMN, jaring pengaman sosial dan lain-lain. Saya bertanya-tanya apakah IMF yang lembaga moneter itu dibenarkan mencampuri hampir semua bidang kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia yang adalah negara yang merdeka dan berdaulat? Jelas tidak dapat dibenarkan. Tetapi memang demikianlah kenyataannya, keuangan negara-negara seperti Indonesia sengaja dibuat bangkrut terlebih dahulu, dan melalui ketergantungan dalam bidang keuangan ini, Indonesia telah sepenuhnya dikendalikan oleh negara-negara pemberi utang dan lembaga-lembaga keuangan internasional bagaikan satu kartel. Dalam buku yang ditulis John Pilger dan yang juga ada film dokumenternya, yang berjudul “The New Rulers of the World“, antara lain dikatakan: “In this world, unseen by most of us in the global north, a sophisticated system of plunder has forced more than ninety countries into “structural adjustment” programmes since the eighties, widening the divide between rich and poor as never before. This is known as “nation building” and “good governance” by the “quad” dominating the World Trade Organisation (the United States, Europe, Canada and Japan) and the Washington triumvirate (the World Bank, the IMF and the US Treasury) that control even minutes aspects of government policy in developing countries. Their power derives largely from an unrepayable debt that forces the poorest countries to pay US$100 million to western creditors every day. The result is a world where an elite of fewer than a billion people controls 80% of humanity’s wealth.” (terjemahan: “Dalam dunia ini, yang tidak dilihat oleh bagian terbesar dari kami yang hidup di bagian utara dunia, cara perampokan yang canggih telah memaksa lebih dari sembilan puluh negara masuk ke dalam program penyesuaian struktural sejak tahun delapan puluhan, yang membuat kesenjangan antara kaya dan miskin semakin menjadi lebar. Ini terkenal dengan istilah “nation building” dan “good governance” oleh “empat serangkai” yang mendominasi World Trade Organisation (Amerika Serikat, Eropa, Canada dan Jepang), dan triumvirat Washington (Bank Dunia, IMF dan Departemen Keuangan) yang mengendalikan setiap aspek detil dari kebijakan pemerintah di negara-negara berkembang. Kekuasaan mereka diperoleh dari utang yang belum terbayar, yang memaksa negara-negara termiskin membayar US$100 juta per hari kepada
para kreditur barat. Akibatnya adalah sebuah dunia, di mana elit yang lebih sedikit dari satu milyar orang menguasai 80% dari kekayaan seluruh umat manusia.”) Para hadirin yang saya hormati, Ini ditulis oleh John Pilger, seorang wartawan Australia yang bermukim di London, yang tidak saya kenal, sehingga antara John Pilger dan saya tidak pernah ada komunikasi. Namun ada beberapa kata yang saya rasakan berlaku untuk bangsa Indonesia dan yang relevan dengan yang baru saya kemukakan, yaitu kalimat John Pilger yang mengatakan: “Their power derives largely from an unrepayable debt that forces the poorest countres….” dan seterusnya.
Dalam hal Indonesia, keuangan negara sudah bangkrut di tahun 1967, paling tidak demikianlah yang digambarkan oleh para teknokrat ekonom Orde Baru yang dipercaya oleh Presiden Soeharto untuk memegang tampuk pimpinan dalam bidang perekonomian. Maka dalam buku John Pilger tersebut antara lain juga dikemukakan sebagai berikut:
Saya kutip halaman 37 yang mengatakan: “In November 1967, following the capture of the ‘greatest price’, the booty was handed out. The Time-Life Corporation sponsored an extraordinary conference in Geneva which, in the course of three days, designed the corporate takeover of Indonesia.
The participants included the most powerful capitalists in the world, the likes of David Rockeffeller. All the corporate giants of the West were represented: the major oil companies and banks, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, the International Paper Corporation, US Steel. Accross the table were Suharto’s men, whom Rockefeller called ‘Indonesia’s top economic team'”. Untuk melakukan ini semua, tentu dibutuhkan putera-putera bangsa
Indonesia. Oleh John Pilger mereka ditulis di halaman 38 yang menggambarkan
suasana di Jenewa sebagai berikut (saya kutip): “In Geneva, the Sultan’s team were known as the ‘Berkeley Mafia’ , as several had enjoyed US government scholarships at the University of California at Berkeley. They came as supplicants and duly sang for the supper. Listing the principal selling points of his country and its people, the Sultan offered “…. abundance of cheap labour …. a treasure house of resources ….. vast potential market”. (terjemahan: “Dalam bulan November 1967, menyusul tertangkapnya ‘hadiah terbesar’, hasil tangkapannya dibagi. The Time-Life Corporation mensponsori konperensi istimewa di Jenewa yang dalam waktu tiga hari merancang pengambil alihan Indonesia. Para pesertanya meliputi para kapitalis yang paling berkuasa di dunia, orang-orang seperti David Rockefeller. Semua raksasa korporasi Barat diwakili: perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel. Di seberang meja adalah orang-orangnya Soeharto yang oleh Rockefeller disebut “ekonom-ekonom Indonesia yang top”. “Di Jenewa, Tim Sultan terkenal dengan sebutan ‘the Berkeley Mafia’, karena beberapa di antaranya pernah menikmati beasiswa dari pemerintah Amerika Serikat untuk belajar di Universitas California di Berkeley. Mereka datang sebagai peminta-minta yang menyuarakan hal-hal yang diinginkan. Menyodorkan butir-butir yang dijual dari negara dan bangsanya, Sultan menawarkan: ..buruh murah yang melimpah..cadangan besar dari sumber daya alam …pasar yang besar.” Di halaman 39 ditulis: “On the second day, the Indonesian economy was carved up, sector by sector. ‘This was done in the most spectacular way’ , said Jeffry Winters, professor at Northwestern University, Chicago, who, with doctoral student Brad Sampson, has studied the conference papers. ‘They divided up into five different sections: mining in one room, services in another, light industry in another, banking and finance in another; and what Chase Manhattan did was sit with a delegation and hammer out policies that were going to be acceptable to them and other investors. You had these big corporate people going around the table, saying this is what we need: this, this and this, and they basically designed the legal infrastructure for investment in Indonesia. I have never heard of a situation like this where global capital sits down with the representatives of a supposedly sovereign state and hammers out the conditions of their own entry into that country. The Freeport Company got a mountain of copper in West Papua (Henry Kissinger is currently on the board). An American and European consortium got West Papua’s nickel. The giant Alcoa company got the biggest slice of Indonesia’s bauxite. A group of American, Japanese and French companies got the tropical forests of Sumatra, West Papua and Kalimantan. A Foreign Investment Law,hurried on to the statutes by Soeharto, made this plunder tax free for at least five years. Real, and secret, control of the Indonesian economy passed to the Inter- Governmental Group on Indonesia (IGGI), whose principal members were the US, Canada, Europe, Australia and, most importantly, the International Monetary Fund and the World Bank.” (terjemahan: “Di halaman 39 ditulis: “Pada hari kedua, ekonomi Indonesia telah dibagi, sektor demi sektor. ‘Ini dilakukan dengan cara yang spektakuler’ kata Jeffry Winters, guru besar pada Northwestern University, Chicago, yang dengan mahasiswanya yang sedang bekerja untuk gelar doktornya, Brad Sampson telah mempelajari dokumen-dokumen konperensi. ‘Mereka membaginya ke dalam lima seksi: pertambangan di satu kamar, jasa-jasa di kamar lain, industri ringan di kamar lain, perbankan dan keuangan di kamar lain lagi; yang dilakukan oleh Chase Manhattan duduk dengan sebuah delegasi yang mendiktekan kebijakan-kebijakan yang dapat diterima oleh mereka dan para investor lainnya. Kita saksikan para pemimpin korporasi besar ini berkeliling dari satu meja ke meja yang lain, mengatakan: ini yang kami inginkan: ini, ini dan ini, dan mereka pada dasarnya merancang infrastruktur hukum untuk berinvestasi di Indonesia. Saya tidak pernah mendengar situasi seperti itu sebelumnya, di mana modal global duduk dengan para wakil dari negara yang diasumsikan sebagai negara berdaulat dan merancang persyaratan buat masuknya investasi mereka ke dalam negaranya sendiri. Freeport mendapatkan bukit (mountain) dengan tembaga di Papua Barat (Henry Kissinger duduk dalam board). Sebuah konsorsium Eropa mendapat nikel Papua Barat. Sang raksasa Alcoa bagian terbesar dari bauksit Indonesia. Sekelompok perusahaan-perusahaan Amerika, Jepang dan Perancis mendapat hutan-hutan tropis di Sumatra, Papua Barat dan Kalimantan. Sebuah undang-undang tentang penanaman modal asing yang dengan buru-buru disodorkan kepada Soeharto membuat perampokan ini bebas pajak untuk lima tahun lamanya. Nyata dan secara rahasia, kendali dari ekonomi Indonesia pergi ke Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI), yang anggota-anggota intinya adalah Amerika Serikat, Kanada, Eropa, Australia dan, yang terpenting, Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia.” Sekali lagi para hadirin yang terhormat, semuanya itu tadi kalimat-kalimatnya John Pilger yang tidak saya kenal. Kalau kita percaya John Pilger, Brad Sampson dan Jeffry Winters, sejak tahun 1967 Indonesia sudah mulai dihabisi (plundered) dengan tuntunan oleh para elit bangsa Indonesia sendiri yang ketika itu berkuasa. Setelah itu sampai meledaknya krisis ekonomi di tahun 1997 yang disusul dengan depresi yang cukup hebat, kondisi moneter dan kepercayaan Indonesia hancur. Rupiah merosot nilainya dari Rp2.400 per dollar menjadi Rp16.000 per dollar. Kepercayaan dunia internasional maupun para pengusaha Indonesia sendiri merosot sampai nol. Dalam kondisi seperti itu Indonesia sebagai anggota IMF menggunakan haknya minta bantuannya, yang diberikan dalam bentuk Extended Fund Facility. Ketika itu diumumkan kepada dunia bahwa IMF memberikan pledge bantuan sebesar US $43 milyar. Ini adalah gebrakan supaya kepercayaan pulih. Bagaimana bentuknya tidak diketahui sebelumnya oleh rakyat Indonesia. Baru belakangan dialami bahwa caranya memberikan bantuan keuangan adalah sedikit demi sedikit, setelah pemerintah Indonesia menyelesaikan program kerja yang dituangkan dalam Letter of Intent. Karena itu, jumlah pledge sebesar US$43 milyar tidak pernah direalisasikan. Cadangan devisa Indonesia yang ketika itu atau di tahun 1997 sebesar US$14,7 milyar meningkat terus atas kekuatan sendiri menjadi sekitar S$25 milyar. Sementara itu, sebagai hasil dari disbursements oleh IMF setiap kali LoI selesai dilaksanakan, jumlahnya akan terakumulasi menjadi US$9 milyar pada akhir tahun ini, ketika hubungan antara Indonesia dan IMF dalam bentuk Extended Fund Facility berakhir. Baikkah semua resep yang dipaksakan kepada pemerintah Indonesia dalam LoI demi LoI? Menurut pendapat saya dan menurut banyak ekonom lainnya, termasuk Joseph Stiglitz tidak. Banyak kesalahan dan blunder yang dapat dikemukakan, tetapi saya akan memulai dengan dua kebijakan besar yang merusak ekonomi Indonesia secara luar biasa. Kalau gambaran John Pilger proses plundering sudah dimulai di tahun 1967, di tahun 1996 yang tampaknya dari luar sangat bagus, di dalamnya tentunya sudah keropos. Dengan masuknya IMF di tahun 1998 sekali lagi perekonomian Indonesia dirusak dalam waktu yang jauh lebih singkat. Dua kerugian sangat besar yang dipaksakan oleh IMF kepada Indonesia, yaitu dalam menghadapi resesi dan depresi yang begitu hebat, resep yang dipaksakan adalah kebijakan super tight money policy yang memberlakukan tingkat suku bunga sebesar antara 40% sampai 60% sampai hampir satu tahun. Menurut saya (yang menurut IMF pasti dianggap tolol), ini merupakan salah satu penyebab penting mengapa pemulihan ekonomi Indonesia berjalan begitu lambat dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Kebijakan merusak luar biasa yang kedua adalah dipaksanya pemerintah Indonesia melikwidasi 16 bank tanpa persiapan, dengan akibat rentetan kejadian-kejadian yang membuat perbankan domestik porak poranda. IMF menyuruh pemerintah menginjeksi perbankan nasional yang rusak berat karena dirampok (plundered) oleh pemiliknya sendiri dengan obligasi rekapitalisasi perbankan (OR) sebesar Rp 430 trilyun dengan kewajiban pembayaran bunga sebesar Rp600 trilyun. Juga dipaksanya pemerintah Indonesia untuk menjual bank-bank dengan waktu yang ditentukan dan diumumkan kepada dunia sehingga hanya dapat dijual dengan harga yang sangat rendah seperti Bank Central Asia. Detilnya telah saya kemukakan dalam beberapa buku yang dibagikan kepada forum ini. Masih banyak lagi kesalahan dan blunder yang dipaksakan oleh IMF kepada kita seperti MSAA, pemberian Release and Discharge, dan sebagainya. Tetapi fokus hari ini adalah utang dan efektivitasnya. Utang yang diberikan oleh CGI kepada Indonesia jelas sangat tidak efektif. Apa ukurannya apakah utang efektif atau tidak? Utang hanya boleh disebut efektif kalau dapat dibayar kembali dengan hasil yang diperoleh dari proyek yang dibiayai oleh utang. Sudah terbukti bahwa setelah utang diberikan selama 35 tahun tanpa henti, dan dalam 32 tahun pemerintah Soeharto diberikan dalam ekonomi yang tumbuh rata-rata 7% per tahun, ternyata sudah lama tidak dapat dibayar dari penerimaan pemerintah sebagai hasil dari utang yang diinvestasikan. Sudah lama sebelum tahun 1999 utang yang jatuh tempo hanya dapat dibayar dengan menggali utang baru. Namun sejak tahun 1999, kebijakan gali lubang tutup lubang ini sudah tidak mempan lagi. Maka untuk pertama kalinya di tahun 1999 Indonesia harus minta penundaan pembayaran cicilan utang yang jatuh tempo dan tidak mampu dibayar. Demikian juga dengan yang jatuh tempo di tahun 2000 dan di tahun 2002. Jadi utang yang diberikan selama 32 tahun kepada ekonomi yang tumbuh rata-rata 7% per tahun ternyata tidak dapat dibayar kembali beserta bunganya yang jatuh tempo. Hanya bisa membayar dengan cara melikwidasi kekayaan negara. Terus apa gunanya mengkaitkan jumlah utang dengan besarnya PDB, kalau sudah terbukti bahwa meningkatnya PDB terus menerus tidak mampu membangkitkan pendapatan untuk membayar utang dan bunganya tepat waktu? Apakah hanya supaya terlihat menurun? Seperti yang pernah saya kemukakan dalam pidato kepada sidang CGI terdahulu, utang hanya dapat dibayar dengan cara melikwidasi kekayaan. Saya katakan ketika itu, bayangkan adanya pengusaha yang berutang untuk mendirikan sebuah pabrik. Ketika utang harus dibayar, pembayaran utang hanya dapat
dilakukan dengan menjual pabriknya dengan rugi sangat besar, yang dinamakan recovery rate yang rendah. Sang pengusaha lantas berutang lagi mendirikan pabrik yang kedua. Pada waktu utang ini jatuh tempo, ternyata juga hanya dapat dibayar dengan menjual pabriknya lagi dengan recovery rate yang rendah. Anda, seperti halnya dengan saya pasti berpendapat bahwa pengusaha yang bersangkutan seorang yang tidak waras atau insane. Tetapi Anda semua menyetujui IMF yang memaksa pemerintah Indonesia melakukan hal yang sama dalam melakukan pembayaran utang pemerintah. Jadi bukan hanya utang dari CGI tidak efektif, tetapi disuruh melakukan hal-hal yang insane dalam rangka utang mengutang ini. Kalau saya demikian kritisnya terhadap utang dari CGI, apakah saya berpendapat bahwa sebaiknya tidak ada CGI lagi saja, dan tahun ini sama sekali tidak berutang? Tidak mungkin. Bukan karena saya tidak konsisten dalam ketidaksukaan saya terhadap utang yang tanpa kendali dan tanpa batas, tetapi karena utang yang sudah terlanjur demikian besarnya membuat pemerintah harus berutang terus untuk dapat menjalankan roda pemerintahan dan membangun yang seminimal mungkin. Kemampuan kita membangun memang hanya sangat minimal saja. Mengapa? Akan kita lihat angka-angkanya. Bangsa Indonesia sudah mengetahui akan ketidakmampuannya membangun infrastruktur yang memadai, karena keuangan negara telah dibuat bangkrut. Bagaimana gambarannya? Angka-angka APBN tahun 2004 saya tuangkan dalam Tabel yang formatnya saya susun sendiri supaya orang awam dapat memahaminya. Kita lihat dalam Tabel 1 bahwa beban pembayaran bunga untuk utang dalam negeri sebesar Rp 42,3 trilyun dan bunga untuk utang luar negeri sebesar Rp 24,4 trilyun. Untuk bunga saja sebesar Rp 65,7 trilyun. Pembayaran cicilan utang pokok dalam negeri yang jatuh tempo sebesar Rp 21,2 trilyun dan luar negeri sebesar Rp 44,4 trilyun. Pembayaran cicilan utang pokok seluruhnya sebesar Rp 65,5 trilyun. Beban utang seluruhnya sebesar Rp131,2 trilyun. Kita lihat bahwa pembayaran bunga utang saja sudah sebesar 92,67% dari seluruh anggaran pembangunan yang sebesar Rp 70,9 trilyun. Kalau seluruh beban utang dihitung, beban utang sebesar 185% dari seluruh anggaran pembangunan. Kiranya jelas bahwa kita mesti berutang lagi dan nampaknya masih akan terus menerus di tahun-tahun mendatang, kecuali ada kemauan sangat keras untuk menguranginya secara drastis. Dengan beban utang sebesar ini, kecuali harus berutang terus, apa saja yang harus kita korbankan? Mari kita tengok sektor-sektor penting dari pengeluaran pemerintah. Sektor pendidikan memperoleh alokasi tertinggi dari anggaran pembangunan yaitu sebesar Rp 15,34 trilyun. Ini hanya 23,35% saja dari bunga utang yang harus dibayar. Kalau cicilan pokoknya ditambahkan hanya 11,7% saja.
Kondisi TNI/POLRI kita sangat mengenaskan, baik dalam persenjataan maupun dalam mempertahankan kodisi fisik para anggotanya. Belum lama ini kita diejek dan dilecehkan di atas bumi kita sendiri oleh 5 buah pesawat Hornet AS yang mengepung dan me-lock 2 pesawat F-16 kita. Kita punyanya hanya 2 buah ini. Ketika berupaya membeli lagi yang jauh lebih murah dari Russia, yaitu pesawat Sukhoi, tak ada uangnya sehingga harus main akrobat melalui imbal beli yang menimbulkan masalah lagi. Dalam mempertahankan NKRI dan memerangi terorisme, anggaran pembangunan dinaikkan sampai yang terbesar kedua setelah sektor pendidikan. Anggaran pembangunan untuk sektor pertahanan dan keamanan menjadi Rp 10,72 trilyun. Alangkah kontrasnya kalau kita nyatakan dalam persen dari pembayaran bunga utang saja. Jatuhnya hanya 16,3% saja. Infrastruktur kita rusak berat. Tiada hari tanpa rel kereta api yang patah. Tetapi alokasi anggaran pembangunan untuk sub sektor transportasi darat sebesar Rp 1,83 trilyun atau hanya 2,79% saja dari kewajiban pembayaran bunga utang. Kalau cicilan utang pokok ditambahkan, sub sektor perhubungan darat hanya 1,39% saja dari semua pengeluaran uang yang berhubungan dengan utang.
Ini keseluruhan sektor perhubungan darat yang di dalamnya macam-macam, antara lain rel kereta api yang rusak berat. Kalau kita menengok uang yang tersedia untuk perbantuan kepada sekitar 40 juta sesama warga negara yang miskin supaya tidak sakit parah atau meninggal dibandingkan dengan jumlah pengeluaran yang harus dilakukan untuk membayar bunga dan cicilan pokoknya, lebih-lebih lagi menyedihkan. Pemerintah mengembangkan sekitar 54 program yang dilakukan oleh berbagai kementerian ke dalam 15 sektor. Jumlah seluruhnya sekitar Rp12 trilyun. Ini hanya 16,93% dari anggaran pembangunan. Pengeluaran untuk membayar cicilan utang dan bunga sebesar 185% dari anggaran pembangunan. Beban Obligasi Rekap Perbankan (OR) yang selalu sangat merisaukan banyak orang sekarang mulai menampakkan diri dengan angka-angka yang sangat mengerikan. Akankah keuangan negara bertahan untuk tahun 2005 ke atas kalau kita bersikap konvensional? Apakah ini yang dikatakan bahwa fiskal kita sustainable walaupun ada beban OR yang demikian dahsyatnya? Beban OR ini akan berlanjut entah sampai berapa tahun lagi ke depan. Semua usulan menuju peringanan ditampik oleh IMF dan Tim Ekonomi. Lantas beban OR yang demikian beratnya ini untuk kepentingannya berapa orang? Seperti dikatakan tadi, yang miskin sekitar 40 juta orang.
Sambil melakukan ini semuanya, kita terpaksa harus berutang baru setiap tahunnya di forum CGI. Itulah yang saya artikan utang yang terlampau besar memaksa kita berutang terus. Kita sudah masuk ke dalam jurang jebakan utang atau debt trap. Sekarang kita lihat apa semuanya yang harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia di tahun 2004? Penerimaan rutin tidak cukup. Seperti yang terlihat dalam Tabel 1, di luar penerimaan rutin itu kita harus melakukan hal-hal sebagai berikut: menguras simpanan pemerintah sebesar Rp 19,2 trilyun, menjual BUMN sebesar Rp 5 trilyun, menjual asset BPPN sebesar Rp 5 trilyun, utang baru dari rakyat Indonesia sebesar Rp 32,5 trilyun. Utang dari luar negeri untuk program sebesar Rp 8,5 trilyun dan untuk proyek sebesar Rp 19,7 trilyun. Seluruhnya Rp 88,9 trilyun. Dua pos terakhir bagian terbesarnya dari CGI dan lembaga-lembaga keuangan internasional. Jadi semakin jelas bahwa utang yang dilakukan terus menerus tanpa henti dari CGI ditambah dengan utang dadakan untuk menutup lubang besar dalam perbankan membuat kita harus berutang terus. Para kreditur CGI dan lembaga-lembaga keuangan internasional itu di satu pihak menunjukkan sikap yang sok sulit, tetapi terasa jelas sekali menyodor-nyodorkan kreditnya. Maunya menjadi rentenir, tetapi sok membantu bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia tidak membutuhkan bantuan. Debitur memang perlu kredit, tetapi kreditur juga perlu memperoleh pendapatan bunga. Dua-duanya saling membutuhkan, sehingga tidak masuk akal dan tidak fair menempatkan debitur pada kedudukan sebagai subordinate. Contohnya ketika Bappenas mengatakan akan berusaha keras membatalkan proyek-proyek yang belum dimulai walaupun kontrak pemberian kreditnya sudah lama ditandatangani, para kreditur itu buru-buru mengatakan bahwa berlakunya perjanjian kredit masih dapat ditunda. Tentang tidak boleh menunda pembayaran, tidak boleh haircut dan sebagainya para kreditur pemerintah Indonesia sudah sangat tidak fair. Mereka menganjurkan, bahkan boleh dikatakan memaksa Indonesia melakukan restrukturisasi besar-besaran terhadap utang oleh para konglomerat yang terang-terangan kriminal. Tetapi sendirinya tidak mau lagi melakukan restrukturisasi yang sama saja dengan penjadualan kembali atau penundaan pembayaran utang yang jatuh tempo oleh pemerintah Indonesia. Mereka tahu persis bahwa yang dinamakan good corporate governance yang mereka ajarkan mengatakan bahwa barang siapa memberi utang harus melakukan penilaian tentang kemampuan debitur membayar kembali utang beserta bunganya tepat waktu. Kalau ternyata penilaiannya meleset, mereka harus ikut menanggung sebagian dari kerugiannya. Ini namanya haircut. Itulah sebabnya tidak ada bank dan tidak ada perusahaan yang memberikan suppliers’ credit yang tidak membuat cadangan untuk piutang ragu-ragu dan piutang macet. Dari cadangan piutang ragu-ragu dan cadangan piutang macet inilah kerugian bank yang kreditnya tidak terbayar ditutup. Tetapi pada sektor pemerintahan prinsip yang dianggap sangat prudent ini tidak boleh diberlakukan. Mungkin benar yang dikatakan oleh John Pilger bahwa kita memang ditekan dan dieksploitasi oleh negara-negara kaya dengan kekuatan yang “derives largely from an unrepayable debt.” Bukan saja para kreditur asing kepada Indonesia mengajarkan prinsip harus ikut menanggung kerugian kredit macet kalau penilaiannya salah, mereka bahkan “memaksa” pemerintah menutup bolongnya keuangan perbankan yang digerogoti oleh para pemiliknya sendiri dengan obligasi rekapitalisasi (OR), tetapi dia sendiri memperlakukan pemerintah Indonesia sebaliknya. Mereka mengajarkan tidak boleh membentuk kartel atau menciptakan kondisi monopolistik, tetapi sendirinya membentuk kartel antara CGI, Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, Paris Club, London Club di bawah pimpinan IMF. Perilaku dan sikapnya dalam perundingan Paris Club jelas kartel. Para kreditur ada di satu kamar dan pemerintah Indonesia di kamar lain. Tidak boleh ada kontak sama sekali kecuali melalui penghubung. Maksudnya supaya semua negara kreditur itu kompak terus dan tidak ada persaingan di antara mereka dalam menghadapi Indonesia, yaitu supaya sama-sama kerasnya. Lagi-lagi perlakuan yang asimetris dan penggunaan standar yang berbeda sesuai dengan kepentingannya sendiri. Mari sekarang kita telaah cara menyelesaikan utang pengusaha besar yang ditimbulkan dengan cara menggerogoti bank miliknya sendiri. Pemecahannya yang didukung dan disetujui sepenuhnya oleh IMF adalah menandatangani perjanjian yang disebut Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA). Apa isinya? Pelanggaran pidana yang dicantumkan begitu jelas dalam Undang-Undang tentang Perbankan dalam hal legal lending limit dilanggar habis-habisan. Toh diberikan release and discharge terhadap tindak kriminal ini, asalkan memenuhi persyaratan membayar kembali utangnya dengan asset yang nilai penjualannya hanya sekitar 15% sampai 20% saja. Siapa yang merancang perjanjian ini? Seorang ahli hukum muda belia dari Amerika Serikat. Ketika diingatkan oleh seorang akhli hukum Indonesia senior yang jelas pandai, bahwa MSAA adalah perjanjian perdata yang tidak mungkin meniadakan pasal pelanggaran pidana dalam Undang-Undang tentang Perbankan, oleh sang akhli hukum asing yang muda ini dengan sangat arogan dijawab: “Then you change your law.” Sikap para akhli asing, baik yang bekerja di lembaga-lembaga internasional maupun sebagai konsultan dan akuntan di Indonesia memang sangat a priori bahwa para akademisi Indonesia pasti lebih bodoh dari mereka. Bukan hanya dalam hal MSAA, tetapi dalam sangat banyak hal lainnya lagi. Maka tidak mengherankan bahwa Joseph Stiglitz dalam bukunya terbaru yang berjudul “The Roaring Ninetees” di halaman 23 antara lain mengatakan: “The economists and development experts of the Third World, many of them brilliant and highly educated, were sometimes treated like children.” Siapa yang salah? Jelas para pemimpin Indonesia sendiri, baik di masa lampau maupun yang sekarang berkuasa. Mengapa mau nurut terus? Mengapa tidak bersikap dan berperilaku seperti pemimpin bangsa yang merdeka dan berdaulat, sedangkan di zamannya, pemimpin bangsa Indonesia Soekarno dan kawan-kawan seangkatannya telah memberikan kemerdekaan dan kedaulatan itu? Ini memang merupakan teka-teki buat banyak orang termasuk saya sendiri. Apa sebabnya? Apakah mereka tidak mengerti tentang hal-hal sangat tidak adil dan sudah merusak perekonomian kita luar biasa ini, ataukah karena mereka mempunyai kepentingan? Apa kepentingannya? Dengan sejujurnya saya tidak tahu. Bagaimana supaya keluar dari beban yang berat ini? Yang paling utama, para pemimpin kita harus mampu membebaskan diri dari Inlander complex. Mereka harus sadar sesadarnya bahwa kita sudah 58 tahun merdeka dan berdaulat.Secara teknokratik, sangat banyak di kalangan bangsa Indonesia sendiri yang jauh lebih pandai dan jauh lebih terdidik dibandingkan dengan tenaga-tenaga akhli asing yang dipekerjakan di Indonesia. Di atas itu semuanya, pengetahuan lapangannya jelas lebih dimiliki oleh para pemimpin dan akhli bangsa Indonesia sendiri. Maka kita harus mulai mempertanyakan mengapa kita membutuhkan kantor perwakilan Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia dan IMF di Indonesia setelah hadir di sini demikian lamanya? Mengapa kita membutuhkan CGI? Dan kalau keberadaan CGI dianggap efisien karena sekaligus dapat menyelesaikan berutang dari banyak negara, mengapa yang memimpin harus Bank Dunia dan tidak Indonesia sendiri? Tentang kemauan beberapa pihak yang masih menghendaki hadirnya IMF di Indonesia dalam bentuk Post Program Monitoring harus kita akhiri dengan
cara membayar lunas sekaligus sisa utang yang sekitar US$ 9 milyar sekarang juga.
Buat saya, alasan yang mengatakan bahwa kalau ini dilakukan kepercayaan dunia internasional akan guncang karena cadangan devisa akan merosot dari US$ 34 milyar menjadi US$ 25 milyar mengada-ada. Bantahan saya yang saya kemukakan dalam sidang-sidang kabinet dan forum-forum lainnya adalah bahwa yang US$ 9 milyar itu sama sekali tidak boleh dipakai sebelum yang milik sendiri sebesar US$ 25 milyar habis, sehingga kita tidak boleh mengatakan bahwa cadangan devisa kita sebesar US$ 34 milyar. Yang kita katakan adalah bahwa cadangan devisa kita yang di tahun 1997 sebesar US$ 14,7 milyar meningkat terus atas kekuatan sendiri menjadi US$ 25 milyar sekarang ini. Tentang kepercayaan dunia internasional yang akan guncang, marilah kita telaah pola yang mempertahankan sisa utang IMF sebesar US$ 9 milyar. Seperti kita ketahui, utang ini adalah untuk second line of defense yang hanya boleh dipakai kalau cadangan sendiri habis total. Telah dikemukakan juga bahwa pola pencicilan utang IMF yang US$9 milyar ditentukan oleh IMF dengan saldo utang menjadi US$ 3 milyar di tahun 2007. Supaya utang dari IMF boleh dipakai sebagai balance of payment support, cadangan devisa milik kita sendiri harus habis terlebih dahulu. Katakanlah bahwa cadangan sendiri akan merosot terus setiap bulannya dan habis total di tahun 2007. Menurut pola pembayaran utang yang ditentukan oleh IMF, pada akhir tahun 2007 nanti itu, ketika (dalam pengandaian ini) cadangan devisa kita nol, sisa utang IMF yang boleh dipakai menjadi US$ 3 milyar. Maka yang kita umumkan kepada dunia ketika itu nanti berbunyi: “Wahai masyarakat dunia, cadangan kami habis total, tetapi untunglah masih ada sisa utang dari IMF yang sebesar US$3 milyar.” Apakah gambaran cadangan devisa Indonesia yang US$ 3 milyar itu dan itupun hasil utang dari IMF, tidak menghancur-leburkan kepercayaan dunia internasional kepada kita? Setiap kali saya mengemukakan argumen ini, tidak ditanggapi atau dibantah secara frontal. Didengarkan, dianggap saya tidak pernah mengatakan seperti ini, lalu diulang lagi dengan mengatakan “kalau yang US$ 9 milyar dikembalikan, cadangan devisa akan anjlok dari US$ 34 milyar menjadi US$ 25 milyar dan kepercayaan masyarakat menjadi guncang.” Bayangkan, utang kepada IMF tidak boleh dipakai, tetapi dikenakan bunga sebesar sekitar 4% setahun. Per akhir tahun 2002 bunga yang sudah dibayarkan sebesar US$ 1,75 milyar. Tentang hal ini saya dibantah oleh para pejabat Bank Indonesia. Dikatakan bahwa tingkat bunga yang dibayar sebesar 2,3% saja, dan oleh BI diputarkan menghasilkan 2,6% sehingga memperoleh laba sebesar 0,3%. Saya minta working paper yang menyimpulkan tingkat suku bunga ini. Dijanjikan, tetapi sama sekali tidak pernah diberikan. Sebaliknya dari data statistik oleh BI sendiri dapat disusun kapan kita menerima utang berapa, kapan kita membayar cicilan berapa dan kapan kita membayar bunga berapa. Dari sini tingkat bunga rata-rata dalam persen dapat dihitung. Saya minta dosen akhli ilmu hitung keuangan dari STIE IBII untuk menghitung tingkat suku bunga atas dasar tabel tersebut. Saya juga minta staf Bappenas dan staf perusahaan Triple A menghitungnya. Semuanya
menghasilkan tingkat suku bunga sekitar 4%. Lebih jelas lagi, pernah dikatakan bahwa bunga untuk utang dari IMF sebesar 4% incredibly low. Saya katakan ketika itu bahwa 4% tidak rendah. Kalau kita mendepositokan uang kita dalam bentuk dollar AS di bank manapun juga, bunga deposito yang kita peroleh kurang dari 1% setahun. Dalam bidang teknis, yaitu utang luar negeri yang jelas sudah sangat memberatkan keuangan negara, harus ada keberanian untuk menggugat seperti yang saya kemukakan tadi. Perwujudannya haruslah berani secara sepihak tidak membayar utang dan bunga yang jatuh tempo tepat pada waktunya, tetapi sesuai dengan kemampuan bangsa Indonesia sendiri. Dalam bidang utang dalam negeri, harus ada keberanian menarik kembali Obligasi Rekap yang masih belum terjual kepada swasta dan masih dimiliki oleh bank-bank yang masih dalam penguasaan pemerintah. Berbagai alternatif cara dengan jelas telah diberikan oleh sebuah Tim Pengkajian Independen dan konsepnya dimasyarakatkan dalam bentuk buku yang kami bagikan kepada forum ini. Walaupun isinya sangat masuk akal dan dapat dilakukan, namun ditolak oleh IMF dan oleh Tim Ekonomi pemerintah. Apa akibatnya? Bunga dibayarkan kepada bank-bank yang memegang OR. Bunga ini kemudian dibelikan Sertifikat Bank Indonesia yang menghasilkan bunga lagi dan dibayar oleh rakyat Indonesia untuk kedua kalinya, tetapi kali ini oleh Bank Indonesia. Apakah bank-bank ini menjadi sehat? Setelah
sekitar 4 tahun diberikan pendapatan bunga, bank memang membukukan laba setiap bulannya. Tetapi bagian terbesar dari laba bersih ini disebabkan oleh bunga OR yang diterima dari pemerintah. Apakah ini kalau bukan subsidi? Jumlahnya sangat besar, sekitar Rp 40 trilyun per tahun. Subsidi kepada perbankan ini dipaksakan oleh IMF, tetapi subsidi untuk bahan bakar minyak, tilpun dan listrik harus dihapus oleh IMF. Apakah perbankan menjadi sehat? “Ya” katanya, karena semua membukukan laba. Marilah kita tengok Tabel 2. Per 31 Desember 2002 semua bank memang membukukan laba. Tetapi kalau subsidi bunga oleh pemerintah tidak kita hitung, semua bank merugi besar.Ini sudah berlangsung 4 tahun Para pimpinan bank bersikap seakan-akan mereka benar-benar berprestasi membuat laba atas kemampuan manajemennya sendiri. Saya tidak tahu apakah Bank Indonesia, Departemen Keuangan, IMF, Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia juga menganggap bank-bank rekap ini memang sudah sehat? Kepalsuan seperti ini harus ditelan oleh bangsa Indonesia sebagai kebenaran, sedangkan merekalah yang harus membiayainya melalui pembayaran pajak. Melalui kebijakan-kebijakan sangat tidak masuk akal yang dapat dihindarkan ini kondisi keuangan pemerintah sudah sangat kedodoran. Kondisi keuangan negara yang sangat sulit dan berat seperti yang tercermin dari APBN 2004 sudah diperkirakan oleh banyak ahli apabila obligasi rekap tidak
ditarik. Obligasi rekap sama sekali tidak ditarik, bahkan dibiarkan dijual kepada investor publik oleh bank-bank yang masih dalam penguasaan pemerintah sepenuhnya. Beberapa bank yang masih mempunyai kandungan OR juga dijual tanpa menariknya terlebih dahulu. Masih ada sisa OR yang dimiliki oleh bank-bank yang masih dalam kepemilikan pemerintah. Kalau inipun tidak ditarik, keuangan negara di tahun-tahun mendatang akan menjadi tidak sustainable. Cara-cara penarikan OR yang tidak membahayakan kelangsungan hidup bank-bank yang bersangkutan telah diuraikan dalam buku yang berjudul “Alternative Solutions to the Bank Recapitalization Bonds Problems“, yang ditulis oleh para ahli yang tidak diragukan lagi pengetahuan maupun pengalamannya dalam bidang keuangan dan perbankan. Karena keprihatinannya yang mendalam, mereka membentuk tim yang dinamakan “Study Team” dan bekerja berbulan-bulan tanpa bayaran untuk menghasilkan buku tersebut. Sayang bahwa hasil-hasilnya sampai sekarang tidak dipakai dengan akibat pengeluaran pemerintah dalam jumlah sangat besar yang sia-sia.
Terima kasih.
Jakarta, 10 Desember 2003
Kwik Kian Gie
TABEL 1
APBN 2004 VERSI ORANG AWAM DENGAN NALARNYA SENDIRI (Dalam Trilyun Rupiah)
PENERIMAAN PEMERINTAH
Pemerintah menerima pajak dll, dari dalam negeri 349,30
Pemerintah menerima hibah dari luar negeri 0,60
—————————————————–
Jumlah Penerimaan 349,90
PENGELUARAN PEMERINTAH
Pengeluaran rutin Pusat 118,70
Pengeluaran Daerah 119,00
Pengeluaran pembangunan 70,90
Membayar bunga utang dalam negeri 41,30
Membayar bunga utang luar negeri 24,40
Membayar pokok utang dalam negeri 21,10
Membayar pokok utang luar negeri 44,40
—————————————-
Jumlah Pengeluaran (439,80)
PEMERINTAH KEKURANGAN DANA SEBESAR (89,90) TERPAKSA HARUS MELAKUKAN HAL-HAL SBB:
Menguras simpanan pemerintah 19,20
Menjual BUMN 5,00
Menjual aset BPPN 5,00
Utang baru dari rakyat Indonesia 32,50
Utang dari luar negeri untuk program 8,50
Utang dari luar negeri untuk proyek 19,70
DENGAN SUSAH PAYAH PEMERINTAH BERHASIL MENUTUP (89,90)
TABEL 2
KERUGIAN BANK-BANK REKAP BILA BUNGA O.R. DICABUT (PER 31DESEMBER 2002) (Dalam Rupiah)
No. |
Bank |
Laba (Rugi) Bersih |
Bunga O.R. Laba (Rugi) |
tanpa Bunga O.R. |
1 |
Mandiri |
1 5.809.970.000.000 |
21.434.822.000.000 |
(15.624.852.000.000) |
2 |
BNI |
2.510.653.000.000 |
7.537.490.000.000 |
(5.026.837.000.000) |
3 |
BRI |
1.469.670.000.000 |
3.735.770.000.000 |
(2.266.100.000.000) |
4 |
BTN |
303.043.000.000 |
1.844.796.000.000 |
(1.541.753.000.000) |
5 |
BII |
131.876.000.000 |
2.207.806.000.000 |
(2.075.930.000.000) |
6 |
Danamon |
989.284.000.000 |
3.331.297.000.000 |
(2.342.013.000.000) |
7 |
Permata |
(847.855.000.000) |
1.106.363.000.000 |
(1.954.218.000.000) |
8 |
Niaga |
76.593.000.000 |
1.134.047.000.000 |
(1.057.454.000.000) |
9 |
Lippo |
192.564.000.000 |
739.755.000.000 |
(547.191.000.000) |
10 |
BCA |
3.400.066.000.000 |
8.591.568.000.000 |
(5.191.502.000.000) |
Jumlah |
14.035.864.000.000 |
51.663.714.000.000 |
(37.627.850.000.000) |