Budaya-Tionghoa.Net| Hsiao, merupakan suatu sifat kepatuhan, bhakti, dan peduli terhadap orang tua , leluhur, dan guru. Hsiao merupakan suatu dasar perbuatan moral seseorang yang berpengaruh terhadap kerukunan sosial. Hsiao meletakkan kepentingan terhadap orangtua dan leluhur di atas dirinya sendiri, pasangan hidupnya, dan anak-anaknya, tunduk kepada nasihat orangtua, dan melayani mereka secara susila [Li].
|
Confucius memunculkan sifat Hsiao sebagai suatu sila moralitas dengan menempatkannya sebagai dasar pembentukan sifat Jen, yaitu penggalian sifat cinta kasih kepada orang lain. Hal ini dapat dipandang sebagai suatu pengembangan moralitas yang serasi. Confucius juga menguraikan pentingnya sifat Hsiao bagi kerukunan keluarga, dan stabilitas sosial-politik, dimana dalam prakteknya lebih diutamakan kepada ritual keagamaan dan sifat yang berkaitan dengan hal tersebut.
Seseorang harus menjaga nama baik keluarga, menghormati serta merawat mereka sewaktu masih hidup ataupun sesudah mereka meninggal. Seseorang akan tetap dianggap durhaka dan tercela, tidak tergantung bagaimana pintar dan cakapnya orang tersebut, apabila dia tidak mempunyai sikap bhakti terhadap orangtuanya sendiri.
Guru Khung Fu Zi bersabda, ” Bila orang tua anda masih hidup, janganlah berpergian jauh. Jika anda harus berpergian jauh, anda harus memberitahu mereka di mana anda berada, supaya mereka tidak merasa khawatir mengenai anda.” (Lun Yu IV/19).
Rasa hormat dan bhakti terhadap seorang guru yang membimbing kita bisa diwujudkan dalam berbagai cara, yang tentunya berperilaku yang baik. Menyampaikan suatu barang yang dapat dimanfaatkan oleh guru dengan tujuan
untuk menghormatinya, maka hal tersebut akan merupakan suatu sifat bhakti yang melebihi segala-galanya.
Guru Khung Fu Zi bersabda ” Kepada siapapun yang memberikan sesuatu hadiah untuk menghormati gurunya. Saya senang sekali menerima dan melatihnya.” (Lun Yu VII/7).
Perlakuan bhakti tidak hanya asal kelihatan dari bentuk luar saja, namun rasa bhakti yang dilakukan dengan sepenuh hati dan penuh hormat, itulah bhakti yang sebenarnya.
Guru Khung Fu Zi bersabda, “Sekarang yang dikatakan laku bhakti adalah asal dapat memelihara, tetapi anjing dan kudapun dapat memberi pemeliharaan. Bila tidak disertai hormat, apa bedanya?” (Lun Yu)
Buddhisme juga sangat menekankan mengenai perlunya berperilaku patut / sopan dengan menunjukkan suatu bhakti terhadap orangtua, Sang Buddha dan para siswa Sang Buddha (Sangha), yang mana dikaitkan dengan menimbun kebaikan, sebagaimana sabda Sang Buddha, “Jika seseorang berperilaku patut terhadap ayah dan ibunya, terhadap Sang Buddha yang telah mencapai kesempurnaan, dan terhadap para siswa Sang Buddha; orang seperti itu menimbun banyak sekali kebaikan. ” (Anguttara Nikaya II, 4).
2. Persaudaraan [Ti]
Ti mengandung arti kata persaudaraan, yaitu rasa hormat terhadap yang lebih tua di antara saudara, ataupun sikap merendah diri. Ini berarti bahwa seorang adik harus menghormati kakaknya dan juga di dalam tata krama pergaulan yang lebih muda seyogyanya menghormati yang lebih tua .
Kehidupan dan kematian tidak dapat dihindari (takdir), demikian kekayaan dan kehormatan adalah sesuai dengan karma kehidupan sebelumnya (telah ditetapkan oleh Yang Maha Kuasa, dalam arti oleh akumulasi karma kita sendiri, karena
karma kitalah Yang Maha Kuasa). Adakalanya seseorang bersedih, karena tidak memiliki saudara kandung. Tetapi kalau kita selalu berlaku hormat dan berbudi terhadap setiap orang, maka kita senantiasa memiliki saudara di setiap tempat yang kita singgahi.
Kepada seseorang yang menanyakan mengenai saudara laki-lakinya, Murid Confucius, Zi Hsia berkata kepada Sze Ma Niu yang dengan penuh keingintahuan menanyakan; kenapa dia tidak memiliki saudara sedangkan yang lain punya, “
Saya mendengar bahwa hidup dan mati adalah takdir; kekayaan dan kehormatan ditetapkan oleh Yang Maha Kuasa. Jika seseorang berbudi yang mempunyai kemampuan hormat dan tidak melakukan kesalahan dan memperlakukan orang
secara terhormat, maka semua yang ada dalam empat lautan, bisa menjadi saudara laki-lakinya. Mengapa orang yang berbudi itu harus susah karena dia tidak mempunyai saudara laki-laki ? ” (Lun Yu XII/5).
Budaya-Tionghoa.Net| 1225