Budaya-Tionghoa.Net | Pengertian kehidupan dalam ajaran Confucius, sangatlah ditekankan mengenai moralitas yang tinggi selama masih hidup dengan belajar dan berbuat kebaikan atau kebenaran. Kematian menurut Confucianisme, adalah terpisahnya roh dari badan kasarnya, dimana apabila seseorang selama hidupnya senantiasa melaksanakan sila sesuai kaidah agama, maka rohnya akan menjadi shen (roh suci) dan naik ke surga, sedangkan kalau semasa hidup seseorang itu selalu melanggar sila, maka rohnya akan menjadi kuei (roh jahat) dan turun ke neraka.
|
“Semua bentuk kehidupan akan mengalami kematian, dan kematian berarti kembali ke bumi; inilah yang dinamakan kuei. Tulang dan daging akan hancur menjadi debu, musnah, dan menjadi satu dengan tanah. Tetapi shen akan melonjak ke luar dalam nuansa yang sangat cemerlang.” (Li Chi II, 220)
Pandangan ajaran Confucius, melihat bahwa kematian dan kelahiran adalah dua sisi yang saling berkaitan. Kematian tidak mungkin ada tanpa kelahiran. Kematian bisa terjadi pada waktu masih dalam kandungan, sewaktu dilahirkan,
waktu usia muda, waktu usia tua, ataupun karena penyakit atau kecelakaan. Kematian adalah akhir bagi mereka yang hidup, tetapi suatu permulaan bagi mereka yang mati. Sedangkan lahir adalah permulaan bagi mereka yang hidup,
tetapi akhir bagi mereka yang mati. Kehidupan mewakili unsur Yang (positif), sedangkan kematian mewakili unsur Yin (negatif). Kematian dan kelahiran dalam I Cing (Kitab tentang Perubahan), hanyalah merupakan suatu unsur yang
sama dimana terus menerus mengalami perubahan bentuk, yang berkaitan dengan gejala Yin dan Yang. Untuk dapat memahami kematian, maka kita harus memahami kehidupan. Pengertian yang mendalam dari ajaran Confucius ini dapat dipadankan dengan konsep tumimbal-lahir dalam pengertian Buddhisme.
Guru Khung Fu Zi bersabda, ” Anda tidak tahu bagaimana Anda dapat melayani orang yang sudah meninggal ? Memahami hidup saja Anda tidak bisa, bagaimana Anda bisa memahami kematian ? ” (Lun Yu XI/12)
Kehidupan dan kematian berjalan terus, tanpa memperdulikan siang ataupun malam. Lingkaran ini akan berjalan terus sampai kita menyadari hakekat diri sejati, dan memperoleh pembebasan.
Guru Khung Fu Zi bersabda, ” Apakah ini tentang bagaimana segala sesuatu melewati hidup? Siang dan malam, tanpa istirahat ” (Lun Yu IX/16).
Apabila seseorang semakin mendekati usia senja, maka akan bertambah bijaksana pandangannya. Pengetahun akan jati diri sejati atau kehendak dari Yang Maha Kuasa akan makin bertambah sesuai bertambahnya usia seseorang.
Guru Khung Fu Zi bersabda , ” Ketika saya berumur 15, saya memutuskan untuk belajar. Pada usia 30, apa yang telah saya pelajari saya pegang teguh. Pada usia 40, saya mengetahui segalanya, bagaimana mengurus segala sesuatu dan memahami arti kebaikan. Pada usia 50 tahun, saya menyadari bahwa Thien (Yang Maha Kuasa) mempunyai perintah. Saya tidak menyalahkan Thien dan juga tidak menyalahkan manusia. Pada umur 60, saya bisa mengatakan apakah seseorang mengatakan hal yang sebenarnya dan menilai tingkah lakunya dengan
mendengarkan perkataannya. Pada usia 70, saya bisa mengikuti keinginan hati dan tidak membuat kesalahan.” (Lun Yu II/4).
Ungkapan tersebut di atas bukan berarti bahwa seorang yang masih muda dapat dipandang rendah, karena kita tidak dapat menentukan masa depan seseorang. Tetapi apabila seseorang masih belum banyak menanamkan kebajikan dalam menjalani sila moralitas di kehidupannya ini sampai pada usia 40 atau 50 tahun, maka orang demikian tidak dapat kita harapkan banyak perubahannya, dan hampir tidak mempunyai apa-apa yang pantas kita hormati.
Guru Khung Fu Zi bersabda, ” Orang muda tidak boleh dipandang rendah. Bagaimana kita bisa yakin bahwa masa depannya tidak akan secerah keadaaan kita sekarang ? Namun, jika seseorang tidak mencapai apa-apa pada usia 40
atau 50, maka dari dia tidak ada apa-apa yang pantas kita hormati.” (Lun Yu VIII/22).
” Jika dalam usia 40 tahun orang masih jahat tingkah lakunya, maka jangan mengharapkan akan ada sesuatu yang baik dari dia dalam sisa hidupnya .” (Lun Yu XVII/26).
Dalam menjalani kehidupan, seseorang harus senantiasa mewaspadai gejolak Chi’ (komponen dasar dari alam semesta yang mengisi tubuh manusia dan bersikulasi dengan darah). Pengendalian Chi’ yang baik dengan cara mentaati
sila moralitas, dan secara tekun menjaga diri (bermeditasi), akan menghindarkan diri kita dari keinginan untuk melawan alam.
” Tiga hal yang harus diwaspadai oleh seorang Budiman dalam menjalani kehidupan ini : bila dia masih muda, darah dan Chi’ tidak stabil,, untuk itu dia harus menjaga dirinya terhadap hawa nafsu. Pada usia muda, darah dan Chi’-nya memuncak, untuk itu dia harus menjaga diri terhadap keinginan melawan alam. Pada usia tua, darah dan Chi’-nya berkurang, maka dia harus menjaga dirinya. ” (Lun Yu XVI/7).
Sering seseorang yang mendekati ajal kematian, baru terdorong untuk berbuat kebaikan. Walaupun keinginan untuk berbuat baik menjelang kematian merupakan suatu hal yang positif, namun hal demikian tentunya sulit untuk dapat
dimunculkan sedemikian rupa. Kecenderungan pikiran seseorang menjelang kematian akan didominasi oleh kecenderungan perbuatannya semasa hidup. Pikiran menjelang kematian inilah, yang menurut pengertian dalam Buddhisme,
akan menyebabkan seseorang itu terlahir-kembali (bertumimbal-lahir) dalam berbagai alam kehidupan. Apabila seseorang selalu taat dalam pelaksanaan sila, maka dia akan bersikap pasrah dan ramah.
Murid Confucius, Zeng Zi berkata, ” Kata-kata seorang yang akan meninggal dunia sungguh ramah.” (Lun Yu VIII/4)
Pandangan Buddhisme terhadap kehidupan dan kematian adalah merupakan suatu siklus penderitaan (sakit, umur tua, dan kematian). Sehingga diperlukan pandangan yang benar dalam mengenali sifat diri yang sejati untuk mengatasi
penderitaan tersebut, sebagaimana sabda Sang Buddha, ” Manusia yang berjuang untuk hidup pasti akan mencari sesuatu yang berarti. Ada dua cara untuk bersikap : yang benar dan yang salah. Jika ia mencari dengan sikap salah, ia
mungkin menyadari bahwa sakit, umur tua, dan kematian adalah hal tidak terhindarkan, tetapi tetap saja mengharapkan sesuatu yang tak mungkin. Bila ia mencari dengan pandangan benar ia memahami sifat sejati dari sakit, umur
tua dan kematian, dan ia mencari arti pada kehidupan yang mengatasi penderitaan manusia.” (Majjhima Nikaya, 3-26).
HENGKI SURYADI
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua