Budaya-Tionghoa.Net| Artikel Ariel Heryanto “SBKRI” [Kompas, Minggu, 02 Mei 2004], sungguh sebuah artikel menarik, penuh humor dan menggugah nurani bagi yang masih punya nurani, menyentuh rasa keadilan, bagi yang masih mempunyai rasa keadilan, mengusik rasa kemanusiaan bagi yang masih mempunyai rasa kemanusiaan dan sekaligus mempertanyakan masalah makna kewarganegaraan serta apa itu Indonesia dan keindonesiaan.
|
Untuk menjelaskan titik-titik permasalahan di atas, saya angkat kembali dialog antara Enin dan seorang birokrat Republik Indonesia [RI] dari tulisan Ariel tersebut [dengan minta maaf kepada Ariel Heryanto karena kutipan tulisannya yang saya gunakan terlalu panjang].
“Ada kisah cerdas yang pernah saya dengar dari Enin (dengan segala hormat kepadanya, kisah ini dituturkan di sini demi pencerdasan kehidupan bangsa). Seperti sebagian besar rakyat Indonesia di bagian timur, Enin tidak pernah tahu bahwa dirinya itu “WNI keturunan”. Baru setelah dia datang ke Jawa, dia mulai mengerti karena diajar bertubi-tubi untuk berpikir secara rasial. Sejak itu ia harus memikul beban sebuah label sebagai seorang “WNI keturunan”.Karena kesal berkali-kali diminta menunjukkan SKBRI, ia mencoba berdialog dengan para birokrat yang mewakili sebuah institusi yang rasis. Dalam suatu kesempatan dialog itu berlangsung kira-kira seperti ini.
“Saudara punya SKBRI?” tanya si pegawai negara.
“Punya,” kata Enin.
“Mana?”
“Di rumah.”
“Tidak dibawa? Urusan ini tidak bisa diproses karena persyaratannya tidak lengkap. Jadi pulang dulu. Lain kali bawa SKBRI.”“Harap maklum, Pak. Saya tidak bawa karena saya sangat menyayangi dokumen berharga itu. Saya simpan rapat-rapat supaya tidak kotor, apalagi hilang,” Enin menjelaskan.
“???”
Setelah hening sejenak, tiba-tiba Enin mengajukan sebuah kejutan jenius, berupa pertanyaan menohok logika Orde Baru.
“Bapak sendiri punya SKBRI?”
“Apa?”
“Saya tanya, apakah Bapak punya SKBRI?”
“Tidak. Saya orang pribumi.”
“Apakah Bapak orang Indonesia?”
“Jelas,” kata pegawai negara ini masih menyabar-nyabarkan diri.
“Apakah Bapak warga negara Indonesia?” tanya Enin.
“Pasti.”
“Mana buktinya?”
“Maksud Saudara apa?”
“Bagaimana kita bisa yakin bahwa Bapak ini orang Indonesia? Bahwa Bapak seorang warga negara Indonesia? Apalagi pribumi. Bagaimana Bapak bisa mengaku-aku demikian kalau tidak punya dokumen resmi yang membuktikan?”
“???”
“Jelek-jelek begini, saya orang Indonesia. Saya warga negara Indonesia. Dan yang paling penting, saya punya bukti resmi dan sah yang saya simpan di rumah. Namanya SKBRI.”
Hasilnya, bisa ditebak. Urusan Enin jadi tambah panjang dan rumit. Maklum, ucapan Enin ada benarnya. Diabaikan, sulit. Dibantah, apalagi.”
Ketika Ariel mengakhiri ceritanya tentang Enin yang cerdas dengan kata-kata “Urusan Enin jadi tambah panjang”, pada diri saya tergambar kembali kesewenang-wenangan seorang birokrat yang sering saya hadapi sendiri di lapangan ketika bekerja di Indonesia atau ketika berurusan dengan birokrat di banyak tempat. Sang birokrat merasa dirinya sebagai “raja kecil” bahkan boleh jadi sebagai “wakil Tuhan” di lingkup kekuasaannya yang menentukan benar-salah, hitam-putih sesuatu. Di tangannya yang hitam bisa jadi putih, yang putih bisa jadi hitam. Pemutar-balikan ini akan menjadi-jadi jika kehadapannya disodorkan seamplop uang. Amplop uang itu akan menyelesaikan segala persoalan. Berbagai tingkat kekuasaan sama dengan sumber penghasilan, sehingga ada yang disebut “tempat basah” dan “tempat kering”.
Dari sini pula nampak siapa sebenarnya yang mencelakakan Indonesia dan rakyatnya, dari mana sesungguhnya permasalahan bangsa bermula dan siapa penanggungjawabnya. Sehingga pandangan yang mengatakan permasalahan itu bersumber dari keragaman Indonesia, saya hanya bisa memahami pernyataan ini sebagai keasingan pengikut pendapat ini dari kenyataan. Ia hanya melihat gejala, tidak berhasil menyelami hakekat akibatnya mereka menunjuk pada sasaran yang keliru dan jalan keluarnya pun keliru.Sama seperti pertanyaan yang salah sehingga jawabannya pun keliru.
Sikap “raja-raja kecil” yang merasa diri sebagai “wakil Tuhan” di lingkup kekuasaannya, juga memperlihatkan secara kongkret ujud masih dominannya pola pikir dan mentalitas neo-feodal di negeri ini yang tidak memberi peluang pada pertanyaan, pada pencarian dan debat ide. Pola pikir dan mentalitas ini hanya menginginkan kepatuhan mutlak, tidak bisa menerima kritik dan pendapat yang berbeda. Karena itu apabila birokrat tipe ini yang menguasai Indonesia maka di Indonesia, kebenaran yang sesungguhnya tidak akan mempunyai tempat. Keadilan, hati nurani, kebebasan pun menjadi terpojok. Tentu keadaan begini bukanlah kehidupan sebuah Republik yang sehat dan apalagi bukanlah lukisan semestinya kehidupan seorang warganegara Republik. Enin, kukira adalah salah salah seorang yang merasa diri sebagai anak bangsa dan warganegara Indonesia yang Republik. Adakah yang tidak wajar dari keinginan dan perasaan demikian? [***]
Paris, Mei 2004
—————
JJ.KUSNI
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua 2858
Pihak yang ingin mempublikasi ulang tulisan dalam web ini diharapkan untuk menyertakan link aktif : www.budaya-tionghoa.net , NAMA PENULIS dan LINK aktif yang berada didalam tulisan atau membaca lebih jauh tentang syarat dan kondisi . Mempublikasi ulang tanpa menyertakan tautan internal didalamnya termasuk tautan luar , tautan dalam , catatan kaki , referensi , video , picture , sama dengan mengurangi konten dalam tulisan ini.