Budaya-Tionghoa.Net| Pada suatu hari Dewa Air marah-marah tanpa alasan yang jelas. Ia mengamuk di ombak saat ia melihat seekor monyet memanjat pohon. Dengan menyeringai jahat, dewa air berterik pada monyet itu. “Kamu tinggal dimana, hai monyet jelek?”
|
“Sa…sa..ya tinggal di hu..hu..tan. A..a..pa ma..ma..u mu?” jawab monyet yang ketakutan itu.
“Saya akan menghancurkan rumahmu dengan ombak yang sangat besar,” Kata Dewa Air. Setelah mengatakan itu, ia menyelam ke air dengan ceburan ombak yang tinggi.
Monyet itu ketakutan. “Aduh, apa yang harus aku lakukan?” Monyet itu pergi ke rumah pohonnya sambil berpikir mencari akal. “Haruskah saya lari, atau tetap disini dan melawan?” Ia berpikir lama.
Akhirnya, ia berpikir, “Saya akan mengajak binatang-binatang lainnya untuk membantuku. Saya dapat meminta Pohon Agung dan hutannya untuk membuat dinding dari anggur untuk menahan ombak.” Ia cukup senang dengan rencananya dan segera bergegas melaksanakan aksinya.
Monyet tersebut pergi ke Pohon Agung, pohon terbesar di Cina. Ia memanjat ke atas gunung dan mencari, sampai ia melihat sebuah pohon yang tinggi menjulang ke langit. Ujung-ujung pohonnya menembus awan. Ia bergegas ke bawah pohon itu dimana ia tidak dapat melihat dengan jelas karena dahan-dahannya sangat tebal menutupi matahari
Ia berteriak pada Pohon Agung, “Maukah kamu membuat benteng anggur yang tebal untuk menahan gempuran ombak Dewa Air.”
“Kenapa?” tanya Pohon Agung.
“Karena ia mau membunuhku dengan ombak besarnya,” sahut sang monyet.
Pohon Agung itu berdebat dengan sang monyet dan berkata, “Kenapa saya harus mengorbankan pohon-pohonku untuk masalahmu?”
“Itu bukan hanya masalahku. Ombak besar Dewa Air akan membunuh kita semua,” terik monyet itu.
“Baiklah, Saya rasa apa yang kamu katakan itu benar, tetapi saya memperingatkanmu jika kamu berdusta saya akan menggilasmu sampai jadi adonan nasi” Kata Pohon Agung. Setelah mengatakan ini, sang monyet berlari meminta pertolongan penggali lumpur.
Saat ia mencapai padang rumput dimana penggali lumpur menggali, ia melihat hiruk pikuk tikus tanah. Disana tikus-tikus berlari dan bekerja dimana-mana. Ditengah tengah terdapat penggali lumpur. Monyet mengerti kenapa ia bernama penggali lumpur karena terjadi hujan lumpur saat ia menggali. Tetapi penggali lumpur adalah hal yang mudah baginya karena ia sebesar kuda. Sang monyet berjalan mendekati lubang dimana ia menggali
“Maaf, tuan, bisakah kamu berhenti sebentar sehingga kita dapat berbicara?” Tetapi penggali lumpur sudah sangat dalam di lubangnya untuk mendengarkan suara sang monyet. Setelah memanggil beberapa kali, penggali lumpur keluar.
“Apa yng diingnkan monyt terhdap penggli lupur” guman tikus besar itu. Tikus-tikus tanah tidak dapat berbicara lancar karena mereka tidak dapat mendengar ucapan yang benar di dalam tanah.
“Saya meminta pertolongan dari penggali lumpur,” Jawab sang monyet.
“B-ik, yo cept sya tidk dapt menungu lma.”
“Dewa Air mengatakan, ia akan membunuh kita semua dengan ombak besarnya, apakah kamu dapat membuat benteng gunung untuk menghentikan ombak besarnya ?” Tanya sang monyet.
“B-ik, Sya rsa sya tidk punya banyk pilhan,” guman tikus itu.
Maka sang monyet, pohon-pohon dan tikus-tikus mulai membuat pertahanan alami mereka. Saat mereka membangun, Dewa Air membuat rencananya. Ia akan mengejutkan mereka dengan menyelam ke dalam air. Lalu, saat ia cukup dekat dengan pantai, ia akan menghentakan air laut supaya membentuk ombak besar menenggelamkan mereka.
Setelah beberapa hari kedua pihak siap berperang. Jika Dewa Air akan melakukan aksinya, para hewan segera tahu kedatangannya, karena mereka telah memita ikan untuk memberi tahu mereka kedatangan Dewa Air. Saat ikan-ikan memberi tahu mereka kedatangan Dewa Air, semua hewan bersiaga dibalik benteng mereka maka mereka aman disana. Mereka semua menahan gempuran ombak yang dilakukan Dewa Air terhadap mereka. Dinding anggur bekerja seperti serangan balik dan menembak balik sejumlah besar air terhadap Dewa Air. Ia tersapu jauh. Tetapi Dewa Air kembali dengan ombak yang lebih besar. Ombak setinggi awan. Tetapi tikus-tikus tanah telah membuat benteng gunung hanya beberapa inchi lebih tinggi dan ombak memantul balik dari gunung. Saat air menghantam gunung, sejumlah air menembus gunung dan mengakibatkan banjir besar. Hanya sedikit yang mati. Saat semua hewan berlari mencari tempat yang lebih tinggi, semua menyadari bahwa Dewa Air adalah pembawa bencana terbesar bagi mereka.
Ombak itu berbalik menimpa Dewa Air. Dewa Air menjadi lupa dengan hewan-hewan itu dan dalam emosi ia berlari dalam kemarahannya menjauhi ombak.
Hewan-hewan bergembira untuk sang monyet.
“Siapa yang menyangka monyet kecil dapat menyelamatkan kita semua,” tawa Pohon Agung, dengan lega.
“Tapi itu bukan aku saja. ini usaha kita semua untuk menyelamatkan kita. Lihatlah bertapa kuat jika kita bekerja bersama,” kata sang monyet.
Dan sejak saat itu, sang monyet duduk diatas tahtanya di atas Pohon Agung.
oleh Matt Shearon
Diterjemahkan oleh Jamal Senjaya
Nomer Arsip : 7988 , 18 Oktober 2004
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghoa