Budaya-Tionghoa.Net| Pada era 1960-an, Republik Indonesia (RI) dibawah pemerintahan Presiden Soekarno menjalin hubungan baik dengan Republik Rakyat Cina (RRC), yang saat itu berada dibawah kepemimpinan Ketua Mao (Mao Tse- Tung). RI dan RRC sempat pula berupaya menyelenggarakan Conference of New Emerging Forces (CONEFO). Konferensi tersebut diharapkan bisa menjadi penampung aspirasi negara-negara miskin, semacam ‘perserikatan bangsa-bangsa’ untuk negara dunia ketiga, pada masa-masa tersebut. Bersamaan dengan itu, di intern dalam negeri RI tumbuh tiga kekuatan politik besar : Partai Komunis Indonesia (PKI), militer dan figur Soekarno yang secara politik cenderung berorientasi ‘kiri.’ PKI menjadi sebuah kekuatan besar pasca by-election 1957, sementara militer menjadi sebuah kekuatan besar pasca pemberontakan lokal PRRI/ Permesta.
|
Pada awalnya Presiden Soekarno memilih berdiri dalam posisi moderat. Tidak cenderung ke militer atau cenderung mendekati PKI. Karena khawatir oleh kekuatan militer, PKI menggagas pembentukan Angkatan Kelima, yang terdiri dari kaum petani dan buruh. Dalam bukunya Politik Luar Negeri Indonesia Dibawah Soeharto, Prof. Leo Suryadinata mengemukakan : Soekarno membiarkan berkembangnya ide tersebut, juga mengirim Omar Dhani, Kepala Staf Angkatan Udara saat itu untuk berunding dengan RRC. Goal yang diharapkan dari pengutusan itu adalah kesediaan RRC mengirimkan senjata-senjata ringan untuk mempersenjatai Angkatan Kelima, yang rencananya berada langsung dibawah koordinasi PKI. Rencana pembentukan Angkatan Kelima ini menemui kegagalan, setelah Gerakan 30 September (Gestapu) yang didalangi oleh PKI berhasil di-counter militer.
Pasca kegagalan Gestapu dan pembubaran PKI, tokoh-tokoh PKI yang selamat melarikan diri ke luar Indonesia. RRC adalah salah satu pemberi suaka politik bagi para eksil tersebut. Penguasa baru Indonesia di era Orde Baru ternyata tak hanya mencurigai keterlibatan RRC dalam gonjang-ganjing konflik kekuasaan RI dalam paruh akhir 60- an, menyimak kebijakan suaka itu. Mereka (pemerintah RI dibawah Soeharto) kemudian mengambil sikap permusuhan, dengan membekukan hubungan diplomatik Jakarta-Beijing, serta penutupan hubungan dagang langsung dengan RRC.
Dengan dinobatkannya Deng Xiaoping pada 1977, suara-suara pro- normalisasi hubungan diplomatik Jakarta-Beijing kembali mengemuka. Adam Malik dan Mochtar Kusumaatmaja adalah kalangan dari Departemen Luar Negeri (Deplu), yang sangat concern memperjuangkan ide normalisasi tersebut. Menurut mereka, langkah politik tersebut mempertegas citra Indonesia sebagai negara yang betul-betul non-blok. Begitu pula dengan kalangan usahawan dalam negeri. Melalui normalisasi hubungan Jakarta-Beijing, Indonesia akan leluasa menggalakkan ekspor ke Cina, yang secara tak langsung bisa menggairahkan usaha internal di dalam negeri.
Ide normalisasi mendapat tentangan dari banyak kalangan. Presiden Soeharto, Departemen Pertahanan Dan Keamanan (Dephankam) dan kelompok Islam menentang ide normalisasi itu. Presiden Soeharto menganggap RRC berpotensi untuk membantu anasir-anasir kiri- yang kemungkinan masih ada di dalam negeri- menggulingkan kekuasaan Orde Baru. Militerpun menduga RRC akan memanfaatkan kaum Cina perantauan, untuk mempromosikan kepentingan Beijing sendiri. Sementara kalangan Islam, mengkhawatirkan normalisasi hubungan Jakarta-Beijing bisa menghembuskan angin kedua bagi kelompok-kelompok kiri lokal. Kelompok- kelompok yang memang kerap berhadapan dengan kalangan Islam, baik dalam ruang sosial-politik ataupun budaya.
Jakarta-Beijing Normalization akhirnya tercetus pada tahun 1990. Ada beberapa proses dan sebab yang kemudian melunakkan sikap politik RI dibawah Soeharto, terhadap Republik Rakyat Cina (RRC). Pertama, fakta menunjukkan bahwasanya RRC dibawah Deng Xiaoping lebih memfokuskan diri pada perbaikan dalam negeri, ketimbang gencar melakukan propaganda ideologi komunisnya, sebagaimana RRC dibawah kepemimpinan Mao Tse-Tung. Kedua, masalah Cina perantauan sudah dapat dikendalikan oleh pemerintah RI. Ketiga, keinginan kuat pemerintah untuk memainkan peran penting dalam masalah-masalah internasional, berikut menjadi pemimpin organisasi negara-negara non-blok (GNB). Dan keempat, hasrat Indonesia untuk menggalakkan ekspor non-migas. Kebijakan ekspor non- migas yang digagas pemerintah RI dimasa itu, menghendaki komoditi non- migas Indonesia tidak hanya memasuki pasar Jepang atau barat. Cina sebagai salah satu negara berpenduduk terbanyak di dunia, menyimpan potensi pasar yang besar bagi produk-produk Indonesia.
Menurut A. Dahana, pakar masalah Cina, motif keempat itu merupakan pokok yang menggerakkan rejim Orde Baru untuk memperbaiki hubungan dengan RRC. “Waktu jaman Soeharto hubungan itu hanya ditekankan pada faktor ekonomi. Waktu itu pemerintah Orde Baru sedang mengejar pendapatan dari sektor komoditi non-migas. Pemerintahan pasca Orde Baru (kepemimpinan Gus Dur dan Megawati) juga tampak lebih mempertimbangkan kepentingan ekonomi.”jelasnya dalam wawancara dengan Radio Nederland Wereldomroep.”
Di era kepemimpinan Presiden SBY, beberapa Memorandum Of Understanding (MoU) ditandatangani oleh pimpinan kedua negara (RI dan RRC). Cukup banyak nota kesepakatan berkenaan dengan pengembangan ekonomi, budaya serta pendidikan, yang telah disepahami oleh kedua belah pihak. Dalam konteks ekonomi, ditingkatkannya volume target perdagangan kedua negara, dari U$ 20 miliar pada tahun 2008, menjadi U$ 30 miliar pada tahun 2010, menghembuskan angin segar bagi hubungan perniagaan langsung antara kedua negara.
Pasca kunjungan kenegaraan Presiden SBY pada 27 Juli lalu, Indonesiapun berkesempatan untuk mempelajari keberhasilan RRC, dalam mengentaskan kebiasaan korupsi yang sebelumnya begitu merasuki masyarakat dan kalangan aparatur di sana. Yang menarik, pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah RRC dalam mengentaskan kebiasaan korupsi itu adalah melalui culture approaching, pun punishment atau hukuman yang keras terhadap para pelaku korupsi. Selain penegakan hukum dan budaya bangsa yang begitu dijunjung tinggi oleh rakyat Cina, pendidikanpun menjadi sektor vital yang tak lepas dari perhatian pemerintahnya. Untuk itu, pemerintah Indonesiapun tampaknya akan mulai meretas jalan, agar putra-putri Indonesia bisa digembleng secara langsung, dengan mengikuti kegiatan belajar di negeri itu. Tentu saja, disamping mengambil berbagai pelajaran dari pola pendidikan di Cina,
yang tampaknya tak akan jauh dari kultur Indonesia sebagai sesama bangsa Asia.
Kemitraan strategis antara RI-RRC tak hanya menguatkan daya tawar ekonomi, kultural ataupun pendidikan kedua negara dalam scope internasional. Secara politik, kemitraan ini akan membantu RI keluar dari tekanan negara-negara dari Utara, yang cenderung mengabaikan kesetaraan serta prinsip mutual agreement, dalam hubungannya dengan RI. Ini tampak dari ungkapan Presiden SBY, bahwasanya kelak Cina dapat menjadi pionir ‘Asian Century’- sebuah tatanan masyarakat benua yang berasaskan pembangunan demi kesejahteraan bersama. Bila masa itu tiba, menurut beliau, maka akan terjalin relasi dinamis dan harmonis antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat. Satu jalinan yang berlandaskan kepercayaan, sikap saling menghormati dan saling memahami budaya serta kepentingan masing-masing (Republika, 31 Juli 2005). Dari statement presiden SBY bahwa suatu saat Cina akan muncul sebagai negara “the real super power” yang dapat mengalahkan Amerika Serikat (Antara, 31 Juli 2005), tampaknya kemitraan strategis ini tak hanya sekedar sebuah kemitraan biasa dan pendek jangka waktunya. Kemitraan ini juga merupakan awal dari upaya mengembalikan kegemilangan Asia, kegemilangan bangsa-bangsa timur, dan upaya awal bangsa Asia untuk memerdekakan diri, dari tekanan kepentingan-kepentingan tertentu yang kerap bersifat materialistik dan menafikan kemajuan bersama.
Namun demikian perlu ditelaah pula, beberapa masalah yang masih potensial memicu konflik atau friksi antara kedua negara. Hal-hal yang potensial merenggangkan hubungan RI-RRC itu diantaranya adalah : persoalan etnis Cina, kemungkinan konflik dalam masalah klaim Kepulauan Spratly, serta adanya akses hubungan antara Jakarta-Taipei. Jika RRC mengubah kebijakannya berkenaan dengan etnis Cina- lalu terlibat dalam masalah-masalah Cina perantauan, andai Cina memutuskan untuk memakai kekuatan bersenjata dalam kasus kepulauan Spratly, friksi antara kedua negara bisa kembali melebar. Belum lagi “kebijakan Dua-Cina”- ketika Jakarta mempererat hubungan dengan Taipei- yang tentu dapat memengaruhi pandangan Beijing terhadap Jakarta (Suryadinata : 154, LP3ES).
*Penulis adalah redaktur pelaksana cyberMQ
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghoa 14356