Budaya-Tionghoa.Net | Sungguh kebetulan waktu pertama kali ke Beijing kurang lebih 15 tahun yang lalu mendapat kamar hotel yang dapat melihat perempatan antara Sanhuan (ringroad ke 3) dan Jianguomen Dongdajie dan satu perempatan lain yang lebih kecil. Setiap pagi selama beberapa hari mendapat suguhan keadaan dua perempatan ini.
Perempatan yang satu sedang ada kegiatan membuat simpang susun, sehingga terlihat ruwet dan berantakan, Sedang perempatan yang lain setiap pagi menyuguhkan serombongan orang yang naik sepeda dan memakai jaket biru biru.
Setiap kali lampu lalu lintas berubah dari merah ke hijau, terlihat pemandangan yang menarik, ratusan orang dengan pakaian yang hampir seragam biru2 terlihat melintas dengan sepedanya dari timur ke barat dan barat ke timur. Lebih banyak yang ke barat, karena disanalah letak pusat kota. Jumlah sepeda susah dihitung, sedang jumlah mobil yang melintas bisa dihitung dengan jari.
Sudah sejak kedatangan pagi itu dan naik taksi dari airport selalu melihat suguhan perempatan yang hampir seragam. Waktu itu perjalanan dari airport menuju hotel terasa panjang dan lama, dan melintasi beberapa perempatan dan setiap kali harus menunggu lampu lalu lintas, karena belum ada jalan bebas hambatan.
Di setiap perempatan selalu terlihat banyak sekali orang naik sepeda dan mereka memakai semacam jaket biru biru, yang waktu itu disebut jaket mao. Dan di satu dua perempatan masih terlihat ayam yang lepas berlari ke jalanan. Di sepanjang Sanhuan, terlihat kegiatan membuat membuat jalan dan simpang susun.
Waktu itu peristiwa TianAnMen baru saja lewat 2-3 tahun, di bawah permukaan masih terasa ada yang tegang. Untuk turis pun masih berlaku mata uang yang khusus bukan renminbi yang biasa. MacDonald baru saja buka di WangFuJing. Makan bebek peking di Wangfujing tidak perlu antri seperti sekarang.
Karcis masuk ke Forbidden city dibedakan antara turis lokal dan turis mancanegara. bayarnya juga dengan renminbi khusus untuk turis. Mengunjungi Greatwall di Badaling terasa jauh, di jalan beberapa kali berhenti di pusat kerajinan supaya tidak bosan. Belum ada jalan bebas hambatan BeiDa (Beijing Datong) yang melewati Badaling sekarang.
Kalau dibandingkan dengan Jakarta, sebenarnya sejak dari airport terasa benar Jakarta mempunyai airport yang lebih baik dan jalan menuju ke airport yang lebih baik. Rasanya pergi ke Beijing waktu itu seperti kembali ke Jakarta sepuluh lima belas tahun sebelumnya.
Melihat kembali buku travel guide yang waktu itu dibawa, peta Beijing masih terbatas ke erhuan (ringroad ke 2). Summer Palace masih terlihat jauh di tepi kota. Sekarang Summer Palace terletak diluar sihuan (ring road ke 4)
Waktu terus berjalan, Beijing sekarang sudah memiliki Ringroad hingga yang ke 5, sedang ringroad yang ke 6 dalam penyelesaian di bagian barat. Lima belas tahun terakhir mereka telah membuat ringroad ketiga, ke empat dan kelima, sekarang sedang menyelesaikan ring road ke 6.
Dan terutama mereka tidak tangung2 membuat simpang susun di setiap perempatan. Tidak terlihat lagi rombongan orang naik sepeda yang banyak sekali seperti dulu di setiap perempatan. Sekarang jumlah mobil susah dihitung dan jumlah sepeda bisa dihitung dengan jari. Untuk melewati Ringroad orang tidak perlu membayar tol. Bukan berarti tidak ada kemacetan di Beijing sekarang.
Hanya saja kalau mereka tidak melakukan pembangunan jalan seperti yang sudah dilakukan sekarang, mungkin merekapun mengalami kemcetan luar biasa. tetapi itu tidak terjadi karena mereka sudah mengambil keputusan yang tepat.
Bagaimana di Jakarta? Bertahun tahun masalah pembebasan tanah tidak bisa diselesaikan di Cikunir, sehingga outer ringroad terlambat beberapa tahun. Jalan bebas hambatan yang seharusnya bersifat arteri ke dalam kota belum juga dibangun. Tidak ada sistim transportasi umum yang cukup memadai. Banyak kebijaksanaan terasa tambal sulam.
Terasa benar di Beijing mereka membangun dengan sekali jadi, misalnya soal smpang susun. Sedang disini dengan alasan uang tidak ada, simpang susun dibangun secara bertahap. Dan tidak tuntas.
Seorang teman memberi perhitungan, paling tidak dia bisa menghemat biaya bensin sebesar 100 ribu rupiah perminggu jika jalan di Jakarta sedikit lebih lancar. Kalau ada 1 juta mobil di Jakarta pemborosan itu bernilai 100 ribu rupiah kali 50 minggu kali 1 juta mbil dan sama dengan 5 triliun per tahun. Berapa kilometer jalan bebas hambatan yang bisa dibangun dengan uang 5 triliun? Dan berapa jumlahnya kalau hitungan pemborosan teman itu lebih besar lagi?
Ini belum dihitung dengan pemborosan waktu yang terbuang karena harus duduk di mobil dari satu tempat ke tempat yang lain. Dan ini tidak hanya terjadi di Jakarta. Bayangkan jika orang harus menempuh jarak kurang dari 50 km antara Cibadak Ciawi selama lebih 2 jam.
Kemacetan lalu lintas ini tidak hanya terjadi di Jakarta, juga di Surabaya, Bandung, Medan, Semarang dan hampir semua kota besar di Indonesia. Berapa jumlah bensin yang diboroskan oleh masyarakat secara nasional? Bisa jadi angka itu menjadi 10 triliun per tahun secara nasional.
Berapa uang yang diboroskan masyarakat karena digunakan membeli kendaraan pribadi karena tidak ada angkutan umum yang memadai? Sampai kapan rasa aman bisa dibangun di angkutan umum? Sampai kapan preman bisa berkurang? Panjang sekali pertanyaan yang bisa disusun.
Ini jauh sekali jika dibandingkan dengan kemajuan di Tiongkok, jalan bebas hambatan yang dibuat di Tiongkok sudah lebih 30,000 km sedang di Indonesia belum lewat 1000 km. Kenapa bisa demikian?
Apakah karena alasan klasik, pemerintah tidak punya uang untuk membangun jalan? Atau karena pemimpin yang tidak mempunyai visi ke depan? Apakah karena pejabat pejabat teknis di departemen yang kurang mampu? Apakah karena korupsi? Untuk apakah surat utang negara dibelanjakan uangnya?
Kenapa RRT bisa melakukan demikian? Apakah karena negara otoriter? Atau karena pemimpinnya mempunyai visi ke depan? Apakah karena pejabat pejabat teknis di departemen adalah dipilih dari mereka2 yang mempunyai kemampuan? Apakah tidak ada korupsi di Tiongkok? Darimana pemerintah mendapat anggaran belanjanya? Apakah dari pajak?
Apakah karena mereka negara komunis? Apakah karena mereka mengabaikan hak2 warga negara? Apakah pertanyaan2 seperti ini bukan hanya untuk memghibur diri saja karena tidak mampu melakukan yang sama? Apakah karena budaya masyarakatnya?
Seorang teman lain bercerita, bagaimana tidak banyak perusahaan hengkang dari Indonesia karena banyak hal memang tidak efisien, contohnya soal jalan. Belum yang lain2.
Teman yang lain mengutarakan pendapatnya, bukan hanya korupsi yang jadi masalah di negara kita, juga banyak jabatan diisi oleh orang yang tidak mampu.
Bisa panjang yang ditulis membandingkan dua negara, yang jelas sanhuan dibangun pada waktu masih banyak orang yang naik sepeda
Berita macetnya penyeberangan di merak bakaheuni sungguh terasa aneh dan fantastis. Apakah sebenarnya masih ada sekat sekat budaya yang membedakan pengambilan keputusan di Beijing dan Jakarta? Masih adakah sekat2 budaya? Masih adakah perbedaan karena mereka Tiongkok dan ini Indonesia? Atau karena orang si pengambil keputusan saja yang berbeda? Pengambil keputusan disana mampu sedang
yang disini tidak? Bukankah ini semata mata hanya keputusan manajemen biasa saja.
salam,
harry alim
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua