Budaya-Tionghoa.Net | Legenda-legenda Tiongkok kuno mengungkapkan sedikit penjelasan bagaimana masyarakat pada jaman itu hidup. Pada masa itu agar dapat bertahan hidup orang harus hidup bersama dan memanfaatkan kemampuan bersamanya untuk menghadapi kondisi alam yang tidak bersahabat. Mereka bekerja bersama dan saling membagi makanan yang mereka dapatkan. Orang yang mampu dan berkualitas kemudian diangkat untuk memimpin kelompok masyarakat tersebut, dimana pada jaman tersebut belum dikenal sistim pewarisan kepemimpinan turun temurun.
|
Mereka tidaklah digantikan oleh keturunan mereka, melainkan oleh orang lain yang dianggap sama mampunya. Hal ini misalnya, diabadikan dalam legenda Tiongkok mengenai kaisar-kaisar legendaris yang melimpahkan kekuasaannya pada orang yang mereka anggap mampu dan tidak pada keturunannya sendiri.
Kaisar Yao yang mewariskan kekuasaannya pada Shun dan Shun pada gilirannya menunjuk Yu dan seterusnya. Untuk mempertahankan hidupnya terhadap berbagai bencana alam serta penyerbuan suku-suku dari luar, orang pada jaman itu harus berjuang keras.
Legenda Tiongkok mencatat pula mengenai Yu yang harus berjuang keras menangani bencana banjir besar yang sedang melanda Tiongkok saat itu. Ia menggali saluran-saluran yang dalam sehingga banjir dapat dialirkan ke laut. Saluran-saluran yang digalinya kemudian menjadi empat sungai besar Tiongkok, yakni Huanghe, Yangzi, Han, dan Huai.
Yu menunaikan tugasnya dengan sebaik- baiknya. Untuk menyelesaikan hal tersebut ia memerlukan waktu tiga belas tahun. Dalam masa pekerjaan tersebut, telah sering ia melewati rumahnya sendiri, namun ia tidak pernah singgah sekejap pun. Bahkan pada saat itu ia baru saja menikah selama empat hari dan dikisahkan pula bahwa Yu tidak pulang ke rumahnya, meskipun ia mendengar suara tangis anaknya yang baru lahir.
Tsui Chi, seorang ahli sejarah Tiongkok dalam bukunya yang berjudul A Short History of Chinese Civilisation berpendapat bahwa kisah mengenai Yu tersebut berdasarkan suatu peristiwa yang benar-benar terjadi. Dari kisah tersebut dapat disimpulkan bahwa Yu adalah seorang kepala pemerintahan atau seorang pembesar berkedudukan tinggi dan merupakan ahli dalam bidang pengairan. Ia telah dapat menggali dasar-dasar sungai yang telah tertimbun, sehingga air dapat mengalir kembali dengan lancar, sehingga dengan demikian negeri terhindar dari banjir.
Peristiwa sejarah ini kemudian lambat laun berubah menjadi dongeng. Salah satu dongeng tersebut terdapat dalam Kitab Huai Nanzi yang ditulis pada abad kedua sebelum Masehi. Menurut dongeng tersebut, Yu biasa mengubah dirinya menjadi beruang. Kala istrinya datang membawakan makanan, maka ia tidak boleh langsung menjumpai suaminya. Haruslah terdengar bunyi tambur terlebih dahulu, barulah ia dapat berjumpa dengan suaminya, oleh karena bunyi tambur tersebut sebagai isyarat bahwa Yu telah berubah kembali menjadi manusia.
Suatu kali tatkala masih menjadi beruang, Yu tersandung sebuah batu dan jatuh menimpa tambur tersebut. Akibatnya terdengarlah suara tambur dan istrinya mengira bahwa hal tersebut sebagai isyarat bahwa ia telah boleh datang berjumpa suaminya. Ternyata Yu masih belum sempat berganti wujud dan ia merasa malu melihat wujud suaminya yang berupa beruang tersebut. Karena malu ia melarikan diri ke kaki Gunung Sunggao dan berubah menjadi sepotong batu padas, padahal saat itu ia sedang hamil. Yu sangat bersedih atas hal tersebut dan memohon pada batu tersebut agar anaknya dikeluarkan. Menurut dongeng, batu padas tersebut kemudian merekah dan dari dalamnya keluar seorang anak.
Lambat laun, sistem penggantian kekuasaan semacam itu digantikan oleh sistem pewarisan kekuasaan berdasarkan keturunan. Tatkala Kaisar Yu sudah tua ia bermaksud menyerahkan kepemimpinannya pada Bo Yi. Namun putera Yu yang bernama Qi, berhasil membunuh Bo Yi dan merampas kekuasaan, semenjak itu mulailah sistim pemerintahan secara turun temurun yang bertahan selama lebih dari 4000 tahun (hingga tahun 1911). Dinasti yang didirikan Qi dinamakan Xia (2205- 1766 SM). Sima Qian seorang ahli sejarah belakangan mencatat bahwa Dinasti Xia memiliki tujuh belas orang raja. Meskipun pada akhirnya sistim pemerintahan berdasarkan pelimpahan kekuasaan secara demokratis digantikan oleh sistim pemerintahan otokrat, tetap saja hal ini menunjukkan kemajuan dalam kehidupan sosial Bangsa Tionghoa. Selama pemerintahannya yang berlangsung kurang lebih sekitar 400 tahun tersebut, terjadilah kemelut terus menerus yang berupa agresi dari luar serta konflik internal. Raja terakhir Dinasti Xia, yakni Jie adalah seorang penguasa yang lalim. Pada saat negaranya dilanda
kekacauan ia malah bersenang-senang dengan cara memerintahkan pembangunan istana yang besar bagi kepentingannya sendiri. Tang, seorang penguasa Shang, sebuah negara kecil, berhasil menumbangkan Dinasti Xia, dan mendirikan dinasti baru, yakni Shang. Keberadaan dinasti Xia ini masih diragukan, dan sering dianggap sebagai bagian dari jaman legenda namun peninggalan dari Kebudayaan Longshan serta Erlitou menyediakan bahan yang melimpah bagi penelitian mengenai Dinasti Xia yang misterius. Sebagai tambahan sebagian para ahli telah menyepakati untuk mengasosiasikan peninggalan dari Kebudayaan Long Shan tersebut dengan Dinasti Xia.
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua