Budaya-Tionghoa.Net |Pada tahun 1945, empat orang etnis Tionghoa turut serta merancang UUD RI dan menjadi anggota Dokuritu Zunbi Tyoosa Kai atau Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan seorang menjadi anggota Dokuritu Zunbi Inkai atau Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Pada masa perjuangan bersenjata untuk mempertahankan kemedekaan, tidak boleh dilupakan peranan etnis Tionghoa, antara lain dalam membantu supplai bahan-bahan makanan dan menyelundupkan senjata dari Singapore untuk keperluan para gerilyawan.
Dalam pertempuran Surabaya melawan pasukan Inggris pada bulan November 1945, tidak sedikit peranan pemuda-pemuda Tionghoa. Wartawan “Merah Putih” yang terbit di Jakarta menyatakan di Surakarta mengenai kunjungannya ke medan pertempuran Surabaya antara lain, seorang pemimpin Tionghoa telah berpidato di depan corong Radio Surabaya tentang kekejaman yang dilakukan tentara Inggris terhadap rakyat Surabaya. Pidato tersebut ditujukan kepada
pemerintah Tiongkok di Chungking, dan sebagai jawabannya Radio Chungking menyerukan kepada para pemuda Tionghoa agar bahu membahu bersama rakyat Indonesia melawan keganasan tentara Inggris. Seruan ini akibat pemboman pasukan Inggris yang mengakibatkan lebih dari seribu orang Tionghoa menderita luka-luka dan meninggal dunia. Menyambut seruan tersebut pemuda-pemuda Tionghoa mengorganisasikan diri ke dalam pasukan bela diri di bawah bendera Tiongkok. Mereka merebut senjata dan berangkat ke front pertempuran untuk melawan pasukan Inggris.
Berkenaan dengan pertempuran Surabaya, pada tanggal 12 November 1945, Bung Karno mengucapkan pidato antara lain : “Ratusan orang Tionghoa dan Arab yang tidak bersalah dan suka damai, yang datang di negeri ini untuk berdagang, terbunuh dan luka-luka berat. Kurban di pihak Indonesia lebih banyak lagi. Saya protes keras terhadap pemakaian senjata modern, yang ditujukan kepada penduduk kota yang tidak sanggup mempertahankan diri untuk melawan”.
Demikian juga perlu dicatat peranan etnis Tionghoa dalam perjuangan politik untuk mempertahankan kemerdekaan. Pada kabinet Sjahrir ke-2, Mr.Tan Po Gwan diangkat menjadi Menteri Negara Urusan Tionghoa. Ketika Amir Sjarifoeddin membentuk kabinetnya, Siauw Giok Tjhan diangkat menjadi Menteri Negara yang mewakili etnis Tionghoa dan Dr.Ong Eng Die dari PNI sebagai Wakil Menteri Keuangan.
Dalam perundingan di kapal USS- Renville di Teluk Jakarta, Dr.Tjoa Siek In ditunjuk menjadi anggota delegasi, demikian juga dalam Konperensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Dr.Sim Kie Ay diikutsertakan oleh Drs.Moh.Hatta sebagai anggota dan penasihat delegasi RI. Sebagai hasil KMB dibentuk pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS) dan pada tanggal 15 Pebruari 1950 dibentuk parlemen. Enam orang di antara anggota parlemen RIS adalah peranakan Tionghoa. Dua orang mewakili pemerintah Republik yaitu Siauw Giok Tjhan dan Drs.Yap Tjwan Bing, seorang mewakili Negara Indonesia Timur yaitu Mr.Tan Tjin Leng, dua orang mewakili Negara Jawa Timur yaitu Ir.Tan Boen Aan dan Mr.Tjoa Sie Hwie dan Tjoeng Lin Sen mewakili Negara Kalimantan Barat.
Di masa Demokrasi Parlementer (1950-1959), delapan orang etnis Tionghoa menjadi anggota DPRS yaitu : Siauw Giok Tjhan, Tan Boen Aan, Tan Po Gwan, Teng Tjin Leng, Tjoa Sie Hwie, Tjoeng Lin Sen (pada bulan Agustus 1954 diganti Tio Kang Soen), Tjung Tin Jan dan Yap Tjwan Bing (pada bulan Agustus 1954 diganti Tony Wen alias Boen Kim To). Di dalam kabinet Ali Satroamidjojo I Dr.Ong Eng Die ditunjuk menjadi Menteri Keuangan dan Lie Kiat Teng menjadi Menteri Kesehatan. Dalam DPR hasil Pemilihan Umum tahun 1955 terpilih beberapa orang etnis Tionghoa yaitu Oei Tjeng Hien (Masjumi), Tan Oen Hong dan Tan Kim Liong (NU), Tjung Tin Jan (Partai Katholik), Lie Po Joe (PNI), Tjoo Tik Tjoen (PKI) dan Ang Tjiang Liat (Baperki). Sedangkan di Konstituante terpilih sebagai anggota antara lain Siauw Giok Tjhan, Oei Tjoe Tat, Yap Thiam Hien, Go Gien Tjwan, Liem Koen Seng, Oei Poo Djiang kesemuanya dari Baperki, Tony Wen dari PNI, Oei Hay Djoen dan Tan Ling Djie dari PKI.