Budaya-Tionghoa.Net | Baru saja selesai menonton wayang orang di Opera House Sydney. Mungkin ada yang bertanya lantas apa hubungannya dengan milis budaya Tionghua ?
Pada waktu duduk menonton wayang orang di Opera House, tiba tiba pikiran terbawa ke hari hari sebelum Oktober tahun 1965, itulah hari hari di masa kecil dulu. Hari hari dimana komik wayang Mahabarata sebanyak 40 jilid menjadi komoditi yang penting dan berpindah tangan di banyak keluarga dan banyak tangan. Inilah hari hari dimana banyak anak anak membaca komik wayang, Siti Gahara, Panji Semirang dan cerita silat.
|
Itulah hari hari dimana pada musim kering sekitar bulan Juli dan Agustus selalu ada pasar malam selama hampiir atau bahkan lebih dari sebulan. Itulah hari hari dimana setiap siang akan ada dokar keliling desa dan dengan bunyi-bunyian gong dan kempul memberitahukan cerita yang dimainkan malam itu. Itulah hari hari banyak anak anak membujuk orangtuanya pergi ke pasar malam untuk menonton wayang orang. Apalagi kalau ceritanya adalah favorit.
Banjaran Gatotkaca termasuk cerita favorit. Di jaman itu tentu saja tidak ada cerita Banjaran Gatotkaca, tetapi yang ada adalah 3 hari berturut turut cerita tentang Gaotokaca. Biasanya malam pertama Lahirnya Gatotkaca, malam kedua Pergiwa dan Pergiwati dan malam ketiga Gugurnya Gatotkaca. Dan kalau ada cerita favorit seperti ini sudah pasti banyak yang akan datang menonton.
Di kalangan orang Tionghoa di jawa Tengah dan Jawa Timur, wayang orang adalah salah satu tontonan favorit. Sampai dengan tahun 1965, bukan sesuatu yang aneh jika satu keluarga Tionghoa menikahkan anaknya , maka pertunjukan wayang kulit yang dipakai untuk menghibur para tamu. Biasanya keluarga yang mampu akan menggelar pertunjukan wayang kulit sampai sekian hari, sedang yang kurang mampu bisa jadi cuma menggelar gamelan dengan sinden saja tanpa menggelar wayang kulit.
Walaupun wayang kulit ataupun gamelan bukan satu2nya pilihan karena pertunjukan keroncong juga menjadi pilihan, biasanya pertunjukan wayang kulit lebih dekat di hati masyarakat. Dan kedekatan orang Tionghua di jawa Tengah dan Jawa Timur tidak berhenti hanya pada menggunakan budaya wayang ini sebagai pertunjukan untuk sesuatu kegiatan, justru banyak keluarga yang mampu, memiliki seperangkat gamelan adalah menjadi symbol kemapanan (status symbol). Kalaupun tidak mampu mempunyai seperangkat lengkap gamelan, ya paling tidak punya gambang kayu.
Dan tidak hanya berhenti sampai disitu, statusnya akan lebih naik lagi jika bisa memainkan alat music terutama gambang. Seseorang yang bisa mempunyai waktu memainkan gambang di satu siang atau satu sore benar benar mapan dan tentu saja harus cukup berada, karena kalau secara finansial tidak mampu mana bisa punya waktu belajar musik ?
Sampai dengan tahun 1965 tidak terlihat aneh kalau sekelompok pemuda Tionghua berkumpul di keluarga yang mempunyai gamelan dan belajar menabuh gamelan. Itu kegiatan yang dilakukan mengisi hari hari remaja, walaupun sudah pasti ada yang menggunakan kesempatan itu untuk berpacaran. Itulah kesempatan buat muda mudi untuk berkumpul dan bercanda.. Sambil menyelam minum air. Juga beberapa anak yang berangkat remaja ataupun berumur 10 atau 11 tahun pun mungkin sudah mulaimengikuti kegiatan belajar menabuh gamelan.
Kegemaran orang Tionghua di Jawa Tengah dan Jawa Timur ini agaknya bukan timbul karena ingin mengusung jargon-jargon yang bersifat nasionalistik seperti menumbuhkan kecintaan kepada budaya nasional atau dibebani niatan untuk membaur dan sebagainya , melainkan sesuatu yang sudah biasa yang juga dilakukan orang tua mereka dulu. Kalau mereka menggelar wayang kulit waktu menikahkan anaknya itu juga karena merekapun digelarkan wayang kulit waktu menikah dulu. Begitu juga memiliki gamelan adalah satu cita-cita yang terkadang untuk menunjukkan sudah menjadi orang.
Tentu saja sebagai Tionghua, di Jawa Tegah dan Jawa Timur merekapun merayakan unsur budaya Tionghua seperti rangkaian ritual yang dimulai dari Sincia, Cengbeng, PehCun, Sembahyang Rebutan, Sembahyang TiongCiuPia dan Tangcek. Dan bertukar makanan dengan tetangga pada hari raya. Mengirim makanan ke tetangga pada hari raya Sincia dan hari Raya lainnya dan menerima kiriman makanan pada hari Raya Lebaran dan Qurban dan hari Raya lainnya.
Kalau mendirikan rumah atau merayakan hari hari tertentu seperti kelahiran atau selapanan atau yang lainnya akan mengadakan selamatan dan memanggil modin untuk mendoakan buat keselamatan.
Semua berubah sejak Oktober tahun 1965, bagi banyak orang bisa jadi tiba tiba menjadi Tionghua adalah salah. Dan hari hari seperti yang disebutkan di atas tiba tiba hilang.
Tepuk tangan gemuruh penonton di Opera House membawa pikiran kembali ke masa sekarang. Sungguh indah lakon Banjaran Gatotkaca yang dibawakan oleh banyak pemain dari Wayang Orang Barata Jakarta. Kembali Jaya Suprana dengan beberapa sponsornya membawa pertunjukan indah wayang orang ke Opera House Sydney yang indah dan monumental ini.
Penonton terpingkal pingkal waktu goro goro digelar. Walaupun pertunjukan digelar dalam bahasa Jawa, dalam momen momen penting , selain narasi dari booklet juga ada narasi yang membantu penonton untuk mengerti.
Ya siapakah penonton hari ini ? Mereka yang berumur 15 tahun di tahun 1965 sudah berumur 60 tahun hari ini. Mereka yang berumur 20 tahun dan sedang berpacaran dan main gamelan di tahun tahun sebelum 1965 sudah berumur lebih 65 tahun sekarang. Agaknya tidak banyak yang berumur sekitar 65 tahun di antara penonton, mungkin lebih banyak yang sekitar umur 40 sampai 55 tahun dan mereka yang lebih muda, pelajar dari Indonesia yang sedang belajar di Sydney.
Agaknya lebih dari 50 persen penonton hari ini adalah orang Tionghua Indonesia yang tinggal di Sydney, sudah pasti mereka tidak hanya datang dari jawa Tengah dan Jawa Timur. Banyak penonton yang dibesarkan di daerah Jawa Barat atau luar Jawa.
Hanya sedikit mungkin yang hari ini terkenang bagaimana tembang Gatotkaca yang sedang gandrung ke Pergiwa menyihir banyak muda mudi di jaman itu. Hanya sedikit mungkin yang bisa ikut menangisi kematian Gatotkaca karena terpanah pusaka Kunta. Sebuah adegan yang selalu menyedihkan jika seorang pahlawan yang melawan kebatilan gugur di medan laga.
Sambil berjalan pulang menatap dan tersihir oleh lengkung Opera House dan lengkung Harbour Bridge, walau udara sedikit dingin, dan udara laut seperti membawa aroma yang memabukkan, biarpun dentum lagu di bar opera di pinggir pantai pun tidak sanggup mengalihkan, sungguh pikiran jadi mudah terbawa ke angan angan. Oh alangkah indahnya kalau tembang gandrung Gatotkaca bisa menjadi aria dan tembang tangis Perrgiwa yang menyayat hati meratapi kematian Gatotkaca menjadi encore, menjadi penutup opera Banjaran Gatotkaca. Alangkah indahnya.
Ya kenapa tidak, Armonia Choir telah membuka pertunjukan dengan apik dengan meracik lagu gambang suling dan jaranan menjadi enak di dengar dan enak dilihat.
Ya itu semua harus dimulai dari kecintaan. Kalau kecintaan itu dulu bisa ada, bukan karena sarat dengan jargon jargon nasionalistik, kenapa hari ini tidak bisa ada ?
Oh Kecintaan kepada kesenian, datanglah engkau kembali.
salam,
Harry Alim
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua