Budaya-Tionghoa.Net | ADALAH Sun Go Kong si kera sakti. Lahir dari belahan batu dan tidak ada orangtua yang mendidik. Keliaran dan keberaniannya menyebar onar di Nirwana. Buku nasib yang berisi daftar jatah waktu hidup di dunia dicoreti supaya ia bisa hidup abadi. Karena nakalnya, dewa menjatuhkan hukuman. Supaya impas, haruslah ia mencari Kitab Tripitaka.
|
DEMIKIAN, ringkasan lakon Sun Go Kong Membuat Onar di Nirwana yang dibawakan Subur dengan fasih dari balik kio, serupa panggung mini bernuansa serba merah. Dari depan, panggung itu tak ubahnya sebuah jendela.
Subur, dalang wayang potehi itu dan rombongannya yang biasa bermain di kelenteng-kelenteng, pekan lalu unjuk gigi di auditorium Universitas Kristen Petra. Mereka memenuhi panggilan para mahasiswa Jurusan Sastra Tionghoa yang tengah menyelenggarakan Pekan Kebudayaan Tionghoa.
Subur dengan lihai menggerakkan sebuah boneka seukuran telapak tangan yang disarungkan ke tangannya. Kepala boneka mini itu terbuat dari kayu dengan tubuh berjubah kain berornamen khas Negeri Tirai Bambu. Di dekat pria berkulit hitam itu terentang sebuah tali. Puluhan wayang lain tergantung siap dimainkan.
Kelihaian tangan Subur membuat boneka Sun Go Kong terasa hidup. Kedua tangannya bergerak-gerak sesuai dengan adegan dan kepalanya terangguk-angguk.
Bahkan, ketika tiba adegan pertarungan, si kera sakti mini tersebut dapat dengan tangkas memainkan golok panjangnya. Dua boneka saling berkelabatan. Irama dari alat musik khas Cina semakin mengeras.
Ada yang memainkan siauw ku (kecer besar), membunyikan al hu (musik gesek mirip rebab), memukul dong kauw (semacam ketipung), dan meniup terompet. Mengiringi dua buah boneka mini yang tengah berperang.
Umumnya, musik wayang potehi mengalunkan lagu khas Tionghoa, seperti lagu syahdu pak syen ko hai yang digunakan untuk mengiringi adegan para dewa serta lagu lain, misalnya, se cie ke atau empat musim.
WAYANG potehi yang mulai marak kembali dipertunjukkan, sebenarnya mempunyai sejarah yang panjang di negeri asalnya, Tiongkok.
Seni budaya yang ada kemiripan dengan wayang golek tersebut lahir pada masa Dinasti Jin, yakni pada pertengahan abad ke-3 sampai awal abad ke-5. Kemudian berkembang pada masa Dinasti Song antara abad ke- 10 dan ke-13.
Jauh pada masa Dinasti Ming, abad ke-16, wayang potehi tersebar ke Provinsi Taiwan dan negara Asia lainnya. Wayang potehi diduga masuk ke Indonesia mulai abad ke-16 sampai kira-kira pertengahan abad ke- 19.
Pada Seminar bertajuk “Warna Budaya Tionghoa dalam Mosaik Budaya Indonesia dalam Kesenian dan Musik”, Prof Dr Leo Indra Ardiana mengungkapkan dalam makalah berjudul Wayang Potehi:Identitas Dan Fungsi. Masuknya orang Tionghoa ke Indonesia setidaknya terdiri dari empat suku bangsa, yakni Hokkien, Teo-Chiu, Hakka, dan Kanton.
Mereka membawa kebudayaan suku bangsanya masing-masing dengan perbedaan bahasanya. Wayang potehi diduga masuk bersama dengan mereka. Bagi keturunan Tionghoa, pertunjukkan tersebut selain
mempunyai fungsi hiburan, pendidikan, dan kritik sosial, juga sarat fungsi ritual.
Leo mengungkapkan, di Kelenteng Kampung Dukuh, Surabaya, misalnya, pementasan wayang potehi dilaksanakan hampir setiap hari dalam rangka bagian ritual tridharma.
Umat tridharma dalam mengekspresikan ritualnya memanfaatkan wayang potehi sebagai penyampai segala hal yang berhubungan dengan Sang Pencipta, seperti pengaduan gagal usaha, penderitaan, dan
kegembiraan hidup.
Pementasan ritual tersebut tidak membutuhkan penonton karena ditujukan kepada yang kuasa. Pementasan di Kelenteng Kampung Dukuh, misalnya, sering dilaksanakan tanpa penonton.
Struktur pementasan wayang tersebut tidak rumit seperti halnya wayang kulit dan wayang orang. Diungkapkan Leo, pertunjukan dibuka dengan musik yang lazim disebut lo tay yang dimainkan hampir
setengah jam lamanya. Kemudian berlanjut dengan penceritaan.
Pada pertunjukan di kelenteng, cerita didahului semacam ritual yang disebut ke kwan, yang menggambarkan adegan dewa sedang bersembahyang di kelenteng.
Adegan ini mencerminkan penghormatan kepada para dewa. Pertunjukan diakhiri dengan adegan penutup berupa dua boneka laki-laki dan perempuan dengan busana merah, lambang kegembiraan, memberikan penghormatan kepada penonton atau sang dewa.
Cerita yang dimainkan dalam pertunjukkan di kelenteng kebanyakan dari Tiongkok, seperti legenda Dinasto Tong, Dinasti Song, dan Dinasti Ming.
Sedangkan untuk pertunjukkan di luar kelenteng, dalang dapat mengambil cerita di luar legenda Si Jin Kui, pendekar gunung Liang San, bahkan cerita seperti legenda kera sakti, dan Sam Pek Eng Tay.
Hal serupa diakui Subur, sang dalang. Ia mengatakan, cerita yang sangat digemari penonton di antaranya adalah kisah Jenderal Sie Djin Koei dan legenda kera sakti, Sun Go Kong. Subur sendiri setidaknya menguasai tiga belas lakon.
Cerita dalam potehi, kata Subur, biasanya dibawakan secara serial. Ada kisah yang setelah tiga bulan disampaikan baru selesai secara keseluruhan.
Sesomo, salah seorang dalang wayang potehi lain yang telah bergelut dengan kesenian tersebut sejak tahun 1950-an mengatakan, memainkan potehi harus mengikuti pakem yang ada.
“Pernah saya membuat variasi baru yakni dengan membawakan cerita Koo Ping Hoo. Yang muda-muda senang dengan variasi tersebut. Hanya saja penonton yang sudah berumur umumnya protes karena merasa bukan begitu sebenarnya kisah dalam potehi,” katanya.
PADA masa pemerintahan Orde Baru, wayang potehi seperti halnya kebudayaan Tionghoa lainnya mengalami tekanan. Sesomo mengatakan, wayang potehi sempat mengalami masa kesuraman sekitar tahun 1970- 1990-an berkaitan dengan pelarangan pemerintah terhadap kebudayaan Tionghoa.
“Pada waktu itu, para dalang potehi sangat sulit untuk mendapat kesempatan bermain. Terkadang ada yang telah menyediakan dana, tetapi justru perizinannya sulit keluar, “katanya.
Subur juga berkata hal yang senada. Ia mengatakan, ada juga daerah yang mengizinkan wayang potehi mengadakan pertunjukan dengan persyaratan kelenteng ditutupi seng agar tidak terlihat oleh pribumi.
Angin segar reformasi yang berembus pada tahun 1998, sejak dicabutnya larangan pemerintah terhadap budaya Tionghoa, tak dapat dimungkiri membuat kebudayaan Tionghoa kembali bergeliat. Termasuk wayang potehi.
[Foto Ilustrasi : Bromokusumo , Citraland , Jakarta , Januari 2011]
Setelah keterbukaan tersebut, Subur dan Sesomo serta para pemusik tidak pernah sepi order. Sepanjang tahun 2002, misalnya, 75 persen waktunya dihabiskan memainkan wayang potehi, berkeliling kelenteng. Hampir seluruh daerah di Pulau Jawa pernah merasakan keandalannya mendalang. Juga di luar pulau seperti Sumatera dan Kalimantan.
Bulan tiga atau sagwee hingga bulan sepuluh merupakan masa-masa ramai permintaan pertunjukan wayang potehi. Hal itu antara lain karena banyaknya kelenteng yang berulang tahun.
“Biasanya, pengurus kelenteng terlebih dahulu akan mendaftar jumlah umat yang ingin menanggap wayang potehi untuk selametan. Kemudian, kami bermain sesuai dengan jumlah pendaftar tersebut,” ujarnya.
Terkadang, karena ramainya umat yang ingin mementaskan wayang itu, Subur dan rombongannya kerap harus tinggal berbulan-bulan di satu kelenteng. Pada saat ia bermain di sebuah kelenteng di Tuban, Subur tinggal tujuh bulan lamanya dan setiap hari memainkan wayangnya.
Sekali pentas, Subur memasang tarif Rp 2-3 juta. Penghasilan tersebut dibagi untuk tiga orang pemain musik dan seorang asisten.
Komunitas potehi di Jawa Timur sendiri menurutnya berkembang dengan baik dan jumlahnya jauh lebih benyak di banding daerah lain, seperti Semarang, Jakarta, dan Sumatera.
Uniknya, sebagian besar para dalang tersebut bukan keturunan Tionghoa, termasuk Subur. Kedekatan pria asal Madura itu dengan potehi terjadi lantaran tempat tinggalnya berdekatan dengan Kelenteng Dukuh.
Sehingga, ia pun akhirnya berkenalan dengan komunitas wayang potehi di sana. “Dari melihat dan ada pula yang mengajari, kelamaan saya jadi bisa mendalang,” ujarnya. Ia mengatakan, hanya menekuni kegiatan tersebut sebatas sebagai pekerjaan.
Jangan bayangkan ada yang namanya sekolah ndalang atau kursus potehi. Regenerasi di komunitas tersebut terjadi, diungkapkan Subur karena spontanitas.
Uniknya, Sesomo, seorang dalang lainnya ketika ditanya mengapa memilih menjadi dalang potehi hanya menjawab,” sudah kodrat”.
(Indira Permanasari)