Budaya-Tionghoa.Net | “We got this invitation, seems interesting”. Itu yang disampaikan istri di minggu ke 2 April. Sementara istri bercerita darimana dia mendapat undangan itu, aku membukanya dan melihat kapan acara berlangsung, acara apa dsb.
Ternyata acaranya adalah peringatan 60 tahun hubungan diplomatik Indonesia – China. Serta merta otak berputar: “ah, mosok 60 tahun?” Minimal hubungan Indonesia – China sudah berbilang ratusan tahun. Dua atau tiga tahun lalu di Semarang saja merayakan 600 Tahun Cheng Ho Mendarat di Semarang (red liat catatan tambahan dibawah) , lha ini kok 60 tahun? Sampai dengan acara selesai, pertanyaan ini tak terjawab. Entahlah menghitungnya mulai dari tahun mana…
Daripada sibuk berhitung sendiri, pikiranku segera berpikir ini kayaknya liputan bagus.Akhirnya tanggal 26 April tibalah. Setelah bersiap cepat-cepat sore itu, berangkatlah kami ke Jakarta. Jalan tol sore itu sungguh bersahabat, dan hanya butuh waktu sekitar 35 menit dari Serpong ke Senayan – di mana acara akan berlangsung.
Karena terlalu cepat sampai Jakarta, kami berbelok ke Plaza Senayan untuk sekedar membuang waktu dan mencari sekedar pengganjal perut sebelum ke tempat acara untuk mengantisipasi apakah di acara tsb ada makan atau tidak, jika ada model makannya dsb, mengingat anak-anak juga ikut jadi untuk urusan makan sungguh kami perhatikan.Dari Plaza Senayan, kami meluncur ke Istora Senayan yang berjarak hanya sepelemparan batu saja. Sampai di Istora waktu masih menunjukkan sekitar pukul 18:30, satu jam lebih cepat dari jadwal acara.Setelah mencari posisi strategis, aku mulai menjepret-jepret selagi ruangan masih kosong dan juga panggung masih kosong. Mondar mandir ke sana kemari, keluar masuk ruangan utama, melihat suasana di luar. Riuh rendah suara tetabuhan barongsai mulai terdengar seiring dengan makin banyaknya tamu yang mengalir datang.
Di panggung mulai terlihat ada kesibukan. Aku pikir para VVIP sudah datang, eh, ternyata belum juga dan kesibukan itu adalah kelompok musik yang berpakaian serba merah mulai memasuki panggung. Peralatan musik yang jelas sekali khas Indonesia, dari kendang, ketipung, angklung bahkan ada juga drum di situ. Lagu-lagu daerah, lagu Indonesia, dan beberapa lagu lain mengisi suasana yang makin meriah karena makin banyaknya tamu yang hadir.
Mungkin memang sudah pakem protokoler di Indonesia, keterlambatan minimal 30 menit dari waktu yang dijadwalkan kayaknya sudah biasa. Tepat pukul 20:00 nampak di pintu masuk utama meriah sekali, dan iring-iringan wartawan yang menenteng camera ikut berhamburan masuk. Nampak Andi Mallarangeng, Menteri Pemuda dan Olahraga beriringan dengan Duta Besar RRC untuk Indonesia, Mrs. Zhang Qiyue, dan nampak juga dalam rombongan Ketua PB Wushu, Master Supandi Kusuma serta Ketua Umum KONI, Ibu Rita Subowo.
Acara segera dimulai dengan penampilan pembukaan yang apik. Dan setelah usai, tampillah sepasang MC. Tak menunggu lama, segera Master Supandi Kusuma dipersilakan naik ke panggung memberikan kata sambutan. Setelah Master Supandi Kusuma, Duta Besar RRC dipersilakan untuk juga memberikan kata sambutannya.
Surprise!! Beliau berpidato full dalam bahasa Indonesia yang walaupun aksennya terdengar sedikit kaku dan sedikit melihat teks yang dibawanya, beliau menuntaskan seluruh pidato dalam bahasa Indonesia yang diiringi beberapa kali tepuk tangan riuh dan sorakan dari para hadirin.
Setelah Mrs. Zhang Qiyue, giliran Andi Mallarangeng yang berpidato memberikan sambutannya. Lebih surprise lagi, Andi Mallarangeng berbahasa Mandarin! Dengan ucapan yang cukup pas di telinga, lafal dan aksen yang cukup standard, Pak Andi membuka pidato beliau dengan bahasa Mandarin. Hanya di tengah pidato beliau kembali berbahasa Indonesia.
Pidato Pak Andi yang ditutup dengan kalimat: 印尼 中国 加油 – Yin Ni Zhong Guo jia you – Indonesia China semangat!! sungguh menggugah semangat.
Disambung dengan pemberian tanda mata kepada para VVIP…
Dimulailah perayaan kebangsaan dari dua bangsa besar di Asia ini yang ditandai dengan dinyanyikannya lagu kebangsaan masing-masing, Indonesia Raya dan 义勇军进行曲 (Yìyǒngjūn Jìnxíngqǔ – March of the Volunteer). Dua lagu kebangsaan berkumandang bergantian, dinyanyikan oleh seluruh hadirin sesuai kebangsaan masing-masing.
Sungguh merinding setelah sekian tahun aku tidak pernah menyanyikan Indonesia Raya. Malam itu sungguh istimewa karena aku menyanyikan lagu kebangsaan berdampingan dengan istri yang ikut menyanyikannya walaupun tidak lancar dan kemudian istri juga menyanyikan lagu kebangsaan “mantan” negerinya. Sementara anak-anak tentu saja ikut menyanyikan Indonesia Raya bersama. Berbagai perasaan campur aduk.
Acara demi acara bergulir apik, luar biasa!
Akhirnya sampailah di salah satu mata acara yang disebut dengan “Untaian Zamrud Khatulistiwa”. Pertama aku bingung acara apa, bentuknya bagaimana. Sepasang MC memersilakan group musik yang bernama Nanfeng Nusantara untuk bersiap. Wow! Nanfeng Nusantara, sungguh unik sekali namanya. Kalau tidak salah tebak, nanfeng artinya angin selatan, sementara nusantara kita semua tahu artinya.
Alat musik yang mereka gunakan adalah alat musik khas China, yaitu guzheng atau kecapi, kemudian erhu – alat musik gesek 2 senar atau sering disebut mandolin dan juga pipa – mungkin disebut rebab (?).
Video penampilan Nanfeng Nusantara: http://www.youtube.com/v/9DqHc26H6js&hl=en_US&feature=player_embedded
Musik mulai berbunyi apik dengan alunan khas alat musik China namun lagu yang dibawakan adalah lagu-lagu daerah dari beberapa tempat di Indonesia. Di layar yang ada di kanan kiri panggung tertayang peta Indonesia. Dan seiring dari narasi musik, tayangan presentasi dari provinsi Aceh berjalan terus sampai ke ujung timur seiring dengan lagu daerah yang dibawakan oleh Nanfeng Nusantara.
Surprise lagi!! Dari penonton berkumandanglah nyanyian rancak mengiringi musik ciamik dari kelompok Nanfeng Nusantara. Lagu-lagu daerah seperti Jali-jali, Ampar-ampar Pisang, Yamko Rambe Yamko, Anak Kambing Saya, dsb silih berganti bergulir rampak dan rancak diiringi nyanyian bersemangat dan tepuk tangan yang mengiringi lagu dari arah penonton. Lagu yang dulunya terdengar “biasa” di malam itu jadi sungguh spesial. Penonton bersorak dan bernyanyi: “hey, hey” pada waktu “caca marica hey, hey” dan paduan suara “ampar-ampar pisang…” juga “heeee yamko rambe yamko…”
Luar biasa!! Sungguh luar biasa malam itu! Para pemusik Nanfeng Nusantara nampak surprise juga melihat sambutan penonton yang begitu antusias, bersambut dengan makin bersemangatnya mereka memainkan alat musik mereka.
Setelah lagu terakhir selesai, tepuk tangan berkepanjangan dari penonton serasa tak henti-hentinya.
Tiba-tiba lampu menjadi gelap seluruhnya. Pelahan di panggung mulai terlihat ada cahaya temaram. Suara MC menghantarkan penyanyi kondang dari Surabaya, Alena yang multi languages muncul dari balik panggung. Berbalut busana cheong sam warna merah, melantunkan lagu Hening ciptaan Presiden SBY! Aku yang belum pernah mendengarkan lagu Hening cukup terperangah! Alunan melodinya sungguh mendayu dan apik serta membawa ke keheningan dan ketenangan.
(Lagu Hening yang dibawakan oleh Alena malam itu dan kebetulan dapat juga dari youtube lagu yang sama tapi dalam bahasa Mandarin yang dibawakan oleh Alena juga dalam acara Perayaan Capgomeh 2010)
http://www.youtube.com/v/NaiH6-9vMYg&hl=en_US&feature=player_embedded
http://www.youtube.com/v/0ibYOwOKKEU&hl=en_US&feature=player_embedded
Dan tibalah puncak acara malam itu. Acara malam itu yang diselenggarakan oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga ingin mengajak semua orang untuk membangun persahabatan dan menjembatani perbedaan dengan olahraga. Olahraga wushu sudah dikenal lama di Indonesia dan atlit-atlit wushu Indonesia sudah banyak menorehkan prestasi internasional juga.
Mulai dari pembukaan berombongan, taichi, toya, pedang, golok, tombak, rantai, tongkat golok, tangan kosong berbagai aliran, sampai dengan kungfu kera sakti ala Sun Go Kong juga ada malam itu.
Tulisan ini sengaja aku simpan untuk hari ini, 14 Mei 2010, tanggal di mana 12 tahun lalu merupakan salah satu hari terkelam dalam sejarah bangsa ini. Hari di mana perbedaan etnis meruncing dan pecah menjadi kerusuhan rasial yang berujung jatuhnya kekuasaan Soeharto. Apapun alasan dan latar belakangnya, aku merasa sudah bukan waktunya untuk mengenang terus menerus, meratapi, menyesali bahkan menyumpahi hari itu.
Sudah saatnya kita semua komponen bangsa bergandengan tangan bersama menyongsong masa depan! Memang pahit, tapi dari peristiwa itu, titik balik keterbukaan yang belum pernah terjadi selama sejarah republik ini menjadi nyata! Salah satu contoh adalah perayaan kebangsaan seperti malam itu, kemudian banyak lagi keterbukaan dan penerimaan satu sama lain berbagai komponen bangsa yang berbeda etnis, beda agama, beda budaya yang makin nyata dari hari ke hari.
Let’s move on…forgive? Yes! Forget? Jelas tidak bisa…tapi…aku memilih untuk not to remember or trying to let it go!
God Bless Indonesia!!
***
Tambahan :
Setau saya itu armada Zheng He mendarat di tuban , gresik , tidak mendarat di Semarang (Ardian) http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/message/51645
———————–
Artikel Terkait
{module [26]}
———————–
Sumber :
- Tulisan ini disumbangkan oleh pemilik situs dibawah ini untuk web dan mailing-list Budaya-Tionghoa
-
http://baltyra.com/2010/05/14/60-tahun-hubungan-diplomatik-indonesia-china/
- Bahwa ada perbedaan tulisan dan gambar tidak mengurangi esensi dari tulisan ini.
Photo Credit :