Budaya-Tionghoa.Net | TTM BT semuwah, Hai, apakabar? Sudah makan? Kemaren-nya (Rabu) saya diberkahi kesempatan, diajak Bung Andipo dan seorang anak muda fotografer NGI , maen-maen bertandang ke kampung Cukanggalih, ke rumah keluarga Oen dan satu lagi (lupa) dari sisa-sisa warga Cinbeng – Cina Benteng yang masih bertahan di sana. Sudah banyak warga yang tergusur karena lahannya dipakai untuk real estate.
|
Di kampung Pondok Jagung, Rawa Kutuk masih tersisa beberapa keluarga juga sih. Kemaren itu kerana kesorean cuma sebentar saja mampir di keluarga Loa di Pondok Jagung. Dan, pas Imlek-nya siang saya dibagi dodol keranjang oleh seorang kerabat nyonyah yang boleh beli di satu keluarga Cinbeng di Rawa Kutuk – tetangga Alam Sutera, masih memakai daun pisang sebagai pembungkusnya.
Kemaren dalam menyambut Imlek mereka bersembahyang menyajikan masakan bagi arwah leluhur dan yang mendahului mereka.
Menu wajib untuk sembahyang ini adalah: sam-seng, tiga hewan domestik yang mewakili darat, laut dan udara. Darat diwakili oleh babai, sekerat daging bagian samcian, aka samcan, seekor ayam bekakak utuh berikut darah marusnya yang ditarok di atas punggungnya, dan seekor ikan bandeng. Ketiganya cuma dikukus atau ditim, dengan sedikit garem sahaja.
Kabarnya, di kalangan yang mampu, suka ada yang memakai babai utuh seekor ditim polos begitu sebagai wakil ‘angkatan’ darat, hanya saja diperlukan meja altar yang lebih besar lagi. Apalagi kalau mereka mau memakai bekakak kalkun atau burung unta sebagai wakil ‘pasukan’ udaranya, dan untuk angkatan laut-nya memakai ikan lele super jumbo-dumbo raksasa dari sungai Mekkong.
Kata samseng, menurut Babah William Gwee dari Singapore, berasal dari kata sam = tiga, seng = hewan (xing). 2006 William Gwee Thian Hock A Baba Malay Dictionary 173 sam-seng [三牲] Baba-prayer sacrificial offering of a blanched pork, a whole duck and chicken].
Sila lihat link-nya ini: http://www.singlishdictionary.com/singlish_S.htm
Entah mengapa, kata ‘samseng’ koq lantas menjadi kata lain untuk ‘preman’ aka ‘ganster’, khususnya di Malaysia. Yang lantas disetarakan dengan Mafia Mob di Italia dan AS, dan Yakuza di Jepang. http://ms.wikipedia.org/wiki/Samseng
Selain tiga menu wajib samseng tsb., mereka mempersembahkan juga nasi dan lauk-pauk kegemaran mereka yang sudah mendahului berangkat ke ‘daerah timur'(?) akherat sono. Jumlah mangkuk atau piring nasi disesuaikan dengan jumlah keluarga yang sudah mendahuli itu. Juga, sirih pinang lengkap bako + kapurnya (buat ema, makco) dan rokok kelobot dan kawung (buat engkong, kongco) disajikan, juga arak beras putih dalam botol.
Lauk-pauknya apa saja?
Sebagaimana lauk-pauk yang biasa dimakan sehari-hari: ada bakmi goreng, bakso sup dengan sayuran, ayam goreng, lodeh santen kental (dengan terubuk tebu), babai-cin (masak kecap), ayam masak kecap, pindang bandeng, dan lain-lain.
Dari 3 keluarga yang kami datangi, ketiganya sama-sama menyajikan pula tiga menu ‘wajib’ yang nampaknya ala Cinbeng punya: pare isi (daging cincang ala bakso, mirip siomai), bakciang (keratan kentang + daging + pete masak kecap) dan…. ayam kelowak.
Ayam kelowak atau keluwak, itu memakai bahan rempah yang sama: biji kelowak aka keluwek sebagai bahan rempah utama, seperti yang dipakai untuk masak Rawon (Jatim) dan Gayus, eh Gabus Pucung (Betawi). Sama, berkuah juga, dengan penampakan keruh soklat-tua-kekuningan, hanya saja tidak begitu berminyak seperti pada rawon daging sapi itu, jeh!
Di Singapura, menu ayam keluwak ini sudah dianggap sebagai makanan khas otentik asli Peranakan Singapura – belum lama ini ada satu episode dalam program TV di TLC – Travel & Living Channel yang menampilkan Bobby Chin sang PA-nya ketika dijamu seorang nonyah Singapore masak ayam keluwak, beli biji keluwak-nya di pasar. Mereka gak tahu ajah bahwa sisa-sisa Cinbeng di Cukanggalih sudah sejak berratus tahun lalu memasaknya sebagai menu ‘wajib’ untuk persembahan Imlekan, dan mereka gak pernah klaim bahwa itu menu otentik khas Cinbeng, jeh!
Juga buah-buahan seperti pisang, rambutan (sesuai musim), jeruk Bali, apel, pear, dan tidak lupa… dodol keranjang yang ditumpuk dari ukuran garis tengah besar sekitar 25 cm, makin mengecil, mengerucut, yang diberi hiasan, ada yang dari kertas warna crepe merah muda, atau dari mote-mote berwarna merah-tua dan merah-muda yang dibuat khusus untuk keperluan itu, membungkus dodol keranjang satru demi satu, setelah disusun akan membentuk piramid bundar dengan puncak berronce, sekilas mirip pohon Natal mini.
Di samping dodol keranjang, juga dodol Tangerang (Ny. Lauw gak mau produk dodolnya disebut dodol Betawi), kuwih muwih yang wajib tentu saja kuwih mangkuk (ada yang memang dicitak pake mangkuk nasi, besar) dan ada yang mestinya sih lebih pas disebut kue cawan aka cup cake kerana dicitak pake cawan (cangkir teh) yang berukuran besar dan kecil. Ukuran ini katanya untuk membedakan persembahan diberikan kepada siapa, tergantung tingkat ‘hirarki’ leluhur mereka. Gula yang mereka pakai adalah gula Jawa yang warnanya kesoklatan – sehingga warna kue mangkoknya tentu saja soklat, bukan gula pasir yang diberi sumbo (pewarna) pink itu.
Yang punya lumbung padi, menyajikan pula sesajen dalam tampah bambu dengan alas daun pisang, isinya sirih-rokok kretek dan kawung, sekerat dua dodol Tangerang, dodol keranjang dan kue mangkuk kecil, tumpengan nasi mini (ukurannya), dan lauknya kepala dan kaki ayam goreng, juga bakso + sayur-mayur. Digantung di bawah atap sudut kiri lumbung. Ketika ditanya oleh Bung Dipo, mengapa mesti digantung – apakah ada makna khusus untuk itu, jawabnya sederhana saja: lha, kalau ditarok di tanah sih, atuh ya diembat ama ayam dan anjing yang berkeliaran di kebon, euy!
Begitulah saja kira-kira ya… Kionghi, kionghi, thiam-hok thiam sui – bagi anda yang merayakan Imlek! Salam makan enak dan sehat,
Ophoeng
Foto-foto bisa dilihat di blog Multiply (MP) saya nih: http://ophoeng.multiply.com/
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua 55779