Contoh mekanisme repetitif adalah pembahasan memamah biak kembali masa lampau , yang lebih menyerupai mengindoktrinasi massa. Alih – alih mencegah terjadinya perulangan peristiwa negatif seperti kerusuhan Mei , dan kerusuhan lainnya , tetapi hanya menumbuhkan prasangka. Jika di tarik mundur terus ke belakang , inilah penyebab terjadinya perang sepanjang masa. Karl May dalam “Et Pax In Terra” mengatakan ,” Pada mulanya prasangka. Tentu kita melihat hasil tersebut dalam konflik abadi Sinhala dan Tamil yang berusia ratusan tahun. Dan konflik Israel – Arab yang telah berusia ribuan tahun. Prasangka tumbuh besar dan ‘sehat’ menjadi dendam , permusuhan abadi.
Martin Heideger dalam Discourse of Thinking mengatakan. Massa tidak pelupa , tetapi tidak berpikir . Dalam ketidak berpikiran , massa tidak hanya melupakan , tetapi juga mengingat. Bagian dari ketidak berpikiran adalah prasangka. Dalam pembahasan Nanking . Disini pembahasan yang sempat marak di milist ini lebih menonjolkan emosi daripada rasio. Begitu pula dalam pembahasan lain seperti Soeharto , Cina vs Tionghoa , Kamp konsentrasi . Orang berlomba mengklaim mengetahui sejarah , dan memanfaatkan sejarah untuk menuding pihak
lain , memanfaatkan sejarah untuk menghibur diri (produk kebudayaan Tionghoa yang banyak dicuri oleh barat).
Saya menangkap adanya impotensi dalam menangkap makna sejarah. Berandai – andai dalam dunia yang sempit , andaikan Soeharto tidak begini maka Aku tidak akan begitu. Padahal ada keterkaitan antara peristiwa yang satu dengan yang lain. Dalam kasus Nanking , ataupun agresi Jepang. Yang disorot adalah dampak kekejamannya saja. Kenapa perandaian tidak diperluas jauh lebih kompleks. Andaikan Jepang tidak menyerbu Tiongkok , Chiang Kai Sek
tetap bercokol di Tiongkok , dan Tiongkok segera akan di pengaruhi Barat.
Dalam kausalitas yang sangat kompleks, agresi Jepang menyebabkan Tiongkok semakin kuat. Kenapa tidak dipikir sampai kesana? Dalam kasus Hitler – Yahudi pun demikian , andai tidak terjadi holocaust , negara Israel tidak akan berdiri , dan Amerika Serikat masih tertinggal dari Eropa. Mengingat banyak sekali ilmuwan yahudi yang kabur ke Amerika. Sebenarnya saya bisa menulis jauh lebih kompleks lagi , tetapi tulisan takutnya akan sangat panjang. Intinya adalah , Ada Makna dibalik Penderitaan , betapapun kejamnya
Dalam kasus Tionghoa Indonesia. Andaipun etnis Tionghoa di bonsai , entah itu tangannya , budayanya , bahasanya , agamanya. Itu adalah proses yang pahit yang harus di lewati. Setiap budaya dan entitas budaya mengalami apa yang di namakan ujian. Sama seperti panca indera
manusia . Mata yang buta akan menjadikan indera pendengaran dan peraba menjadi semakin peka dan kuat. Dan ketika matanya sembuh , dia menjadi manusia super. Begitu juga dengan Tionghoa , segala handicap yang dialami di masa lampau , membuat tionghoa bergerak di sektor bisnis. Dan ketika kebebasan yang dirintis oleh Gus Dur , maka Tionghoa semakin kuat. Hal ini yang harus di renungkan.
Terkadang ada makna dibalik hukuman. Dostoyevsky sendiri pernah mengalami hukuman, justru mendukung adanya hukuman. Luchenetsky menulis dalam “Prison Herald”. ” Kegelapan membuat manusia lebih sensitive pada terang, aktivitas yang dipaksakan dalam penjara membuat dia haus akan hidup, gerak dan kerja. Kesunyian membuat dia merenungkan dalam-dalam “Aku”-nya, sehingga ia memandangnya berdasarkan kondisi sekitarnya, masa lalunya dan kekiniannya, dan memaksanya untuk berpikir tentang masa depan. Lev Tolstoy memang benar ketika dia bermimpi masuk penjara. Pada saat-saat tertentu, orang besar itu kehilangan kata-kata. Dia membutuhkan penjara seperti kemarau membutuhkan hujan.[Solzhenytsin, Gulag]
Saya melihat Tionghoa mengalami trauma.Dan solusi yang harus diberikan adalah detraumatisasi. Menghapus kontak dengan masa lampau yang terlalu berlebihan, emosional, menyalahkan pihak lain dan berulang-ulang atas nama sejarah . Apa benar demikian?. Karena itu hanya menumbuhkan prasangka baru. Atau malah Tionghoa menjadi paranoid. Dan rencana sang pelaku kerusuhan berhasil. Usaha men – trauma-kan Tionghoa telah
berhasil sukses, dan dibantu secara tidak langsung oleh tionghoa-tionghoa pandir yang sok berada digarda terdepan diantara Tionghoa. Dan permasalahan tidak akan selesai. Justru dengan cara demikian , peristiwa negative bisa terulang lagi. Berhentilah menggunakan cara kompulsif , apalagi menyudutkan “cina” dengan interupsi yang sangat “kasar”–, kasta.
Gunakan cara yang lebih simpatik. Upaya hukum tentu harus dilakukan terhadap pelaku – pelaku kerusuhan. Adolf Eichmann, pencetus “Solusi Final” bagi Yahudi pun menerima ganjarannya walaupun telah bersembunyi di ujung dunia. Jadi saya yakin pelaku kerusuhan juga akan mengalami ganjaran serupa , jika kekuatan hukum tidak berhasil menyentuhnya ,
mereka akan mengalami ganjaran setimpal lewat mekanisme kekuatan lain , hukum alam misalkan.
Mengetahui sejarah adalah penting , tapi tanpa kemampuan untuk memahami , kontemplasi , dan menggali makna dibalik sebuah “hukuman” adalah sia – sia saja. Ini adalah garis batas tegas antara kita orang dewasa dengan anak sekolah . Remaja memilki ingatan kuat dalam menghapal sejarah , tetapi kematangan berpikir belum memadai untuk memahami sejarah. Kaum remaja juga dengan mudah terjebak dalam kubu pro dan anti. Berteriak paling kencang dan revolusioner. Bayangkan kalau ada seorang remaja “garda merah” sebagai agen suatu gagasan , dan melakukan praktek kasta terhadap kaum “Cina”. Menerjemahkan gagasan “utopis” penyeragaman istilah Tionghoa dengan interupsi yang kasar, semestinya menyadari pula mekanisme yang sama yang di lakukan para diktator lain.
***
Regards Dada
———————–
Artikel Terkait
{module [184]}
———————–
Link Internal :