Budaya-Tionghoa.Net | Fu Yong Hai yang ‘asli’ sudah punah, ‘Hai’nya sudah terlupakan dan diganti oleh ‘bak’. Bak (daging)nya bisa daging apa ajah: babai, ayam, udang (masih mending) atau sapi. Yang belum pernah denger: domba, kambing ataupun kuda, apalagi unta or jerapah or buaya. Kalau pie (kura) sih eman-eman, masih lebih layak dimasak oh atau ditim dong ya?
Kalau sausnya memang bisa bervariasi, umumnya saus asam manis dengan
kacang polong, tapi ada juga yang pakenya ‘brown’ sauce berwarna soklat, dengan
tambahan kecap Inggris(?) yang aromanya khas itu.
Seorang teman FB (Facebook) saya bilang, saudaranya yang buka depot (resto) di Serbejeh (Surabaya) pernah dikomplain oleh pelanggannya yang pesen Fuyong-hai. Pasalnya, si pelanggan mendapati fuyong-hainya tipis, amis aroma kepiting. Padahal selama ini dia mendapat menu dengan nama fuyong-hai adalah tebal, garing, banyak sayurnya, dan tidak beraroma kepiting yang agak amis-amis begitu.
So? Memang dunia makin aneh. Yang bener jadi salah, yang salah jadi bener. Fuyong-hai yang sesuai ‘pakem’nya, memakai melulu daging kepiting suwir + telur ayam, dengan sedikit tepung dan subalan sayur yang mestinya merupakan pakem yang baik dan bener, justru disalahkan. Karena mereka sudah biasa terpapar sekian lama dengan Fuyong-bak: dengan daging apa saja, banyak sayur, banyak tepung – sebagai usaha menekan COGS dan menaikkan cwan-nya, jeh!
Contoh lain sehubungan dengan ‘replika’ aka KW-1 dalam menu kuliner cinta, eh, China, yang ada hubungannya dengan si ‘hai’ adalah topping shu-mey seperti saya dah bilang sebelumnya. Itu topping yang otentik, asli, pakem yang baik dan bener sesuai resep karuhun jaman baheula pisan. Semestinya sih memakai telur kepiting. Lantas diganti dengan cincangan bortel yang berwarna sama oranye, dengan alasan takut amis (hanyir) aromanya, padahal demi menekan COGS juga tuh, euy!
Tapi, sekarang, kalau anda makan shu-mey (bukan siomai yang ditaburi saus kacang
+ cabe itu) di resto, umumnya ya sekedar replika aka KW-1. Tidak ada atau jarang yang mau memakai telur kepiting beneran sebagai topping-nya. Antara lain, sebab konsumennya juga merasa ‘aneh’, koq shu-mey-nya beraroma khas kepiting gitu ya?
Kalau sudah begitu, anda semestinya juga tidak akan kaget bahwa saus tomat dan saus
sambal botolan itu, ternyata banyak yang membuatnya dengan tidak menggunakan tomat atau cabe. Dan justru dibuat dari onggok – ampas proses pembuatan tepung tapioka, yang
dulunya merupakan pakan ternak. Dan kecap manis yang dulunya diajarkan kakek moyang mesti dibuat dari kedele item yang di’busuk’kan (fermentasi), eh, sekarang banyak yang memilih jalan pintas agar tidak berlama-lama menunggu sang bakteri untuk memecah belah sel kedelai yang liat dan alot tersebut . Sebagai gantinya menggunakan ampas (again!) proses pembuatan tebu (tetes tebu – pakan ternak juga!) yang kental,
item, dan aromanya mirip-mirip.
Begitulah sahaja kira-kira ya…
Salam makan enak dan sehat,
Ophoeng