Budaya-Tionghoa.Net | TAKHAYUL tentang Dewi Uban yang seluruh rambut panjangnya memutih, berkeliaran di barat laut Hepei, perbatasan dengan Sansi dan Cahar, di pedalaman Tiongkok. Dewi ini menyatroni kelenteng tua di luar dusun dan mengangkut sesajian dari penduduk.Sampai tibalah Tentara Route Ke-8 (nama baru Tentara Merah) yang membebaskan penduduk dari kekuasaan tuan tanah. Dua tentara muda menjebak dan menembak ‘hantu’ itu. Si hantu yang berdarah lari bersembunyi dalam gua. Terungkap sebenarnya ia seorang wanita dusun yang teraniaya.
Berdasarkan kisah nyata itulah tumbuh pameo, “Masyarakat lama mengubah manusia menjadi ‘hantu’, masyarakat baru mengubah ;hantu’ jadi manusia!” Dua seniman muda dari Akademi Sastra dan Seni Lu Hsun yang berasaol dari Shantung, yakni He Tjing-ce dan Ting Ji kemudian menggubahnya menjadi lakon opera lima babak. Pada bulan April 1945 untuk pertama kalinya dipertunjukkan di Yenan. Ternyata mendapat sambutan luar biasa hingga pagelaran diulangi sampai 30 kali. Lagu-lagunya pun menjadi masyhur.
Duka cerita diawali pada musim dingin tahun 1934 di dusun Yangke, Hepei. Kawasan ini masih dikuasai Kuomintang. Rakyat jelata hidup menderita sebagai buruh tani di sawah ladang milik Tuan Tanah Huang. Petani pagersari Yang tak mampu membayar hutangnya yang bunga-berbunga pada Huang. Maka Huang dan tangan kanannya, Kuasa Mu, menyita Si-Er, putri tunggal Jang. Si petani tua malang tewas dalam upaya mempertahankan putrinya.
Alih-alih diperbudak sebagai pelayan Ibu Huang, ibu si tuan tanah, gadis remaja itu diperkosa Huang sampai hamil. Ketika kandungannya berusia tujuh bulan, Si-Er hendak dihabisi Huang dan Mu. Namun berkat bantuan babu tua, Bibi Tjang, ia bisa melarikan diri. Dikejar-kejar dan disangka jatuh ke sungai, padahal sebenarnya bersembunyi dalam gua di perbukitan.
Bertahun-tahun memendam duka dan tak berani keluar siang hari membuat seantero rambut Si-Er memutih. Ia hanya menyatroni kelenteng untuk mencuri sesaji makanan di malam hari. Dari sinilah asal-usul legenda Dewi Uban.
Sementara itu Jepang menyerbu. Kuomintang tak mampu bertahan. Sampai tampil pasukan Tentara Route ke-8 dari Barat. Jepang diusir. Rakyat mengelu-elukan. Ternyata seorang perwiranya, Ta-Tjun adalah pacar Si-Er yang dulu terusir akibat ulah Huang.
Ta-Tjun jugalah yang kemudian membuka rahasia Dewi Uban dan memboyong Si-Er turun gunung. Tibalah hari pengadilan bagi Tuan Tanah Huang yang tak mampu mungkir lagi atas semua kelalimannya di masa lalu. Semua harta dan tanahnya disita untuk dibagi-bagikan secara adil pada rakyat jelata.
Tak bisa dipungkiri terasa sekali propaganda komunis dalam cerita rakyat tersebut namun He dan Ting berkukuh kalau lakon mereka ditulis berdasarkan kisah nyata. Hakekatnya kisah-kisah serupa juga ada di Indonesia, misalnya dalam sandiwara Lenong Betawi (petani miskin dipaksa menyerahkan gadisnya untuk tuan tanah pada zaman penjajahan Kompeni-Belanda)
Kesuksesan pagelaran operanya membuat He dan Ting dianugrahi Stalin Prize pada tahun 1951. Karya mereka dialihkan ke bahasa Indonesia oleh sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Diterbitkan pertama kali oleh Pustaka Bahasa Asing, Peking, pada tahun 1958. Cetakan kedua yang direvisi diterbitkan Lentera Dipantara, Jakarta, 2003. Dilampiri tiga lagu; Angin Utara, Kutunggu Ayahku, dan Pita Merah, dalam bahasa Mandarin, lengkap dengan not balok. Tak banyak buku mengenai lakon drama, apalagi yang berlatar budaya Tionghoa, selain Sam Pek & Eng Tay (versi Teater Koma,.karya N. Riantiarno). Jadi bagi grup sandiwara yang berminat memainkan Opera Peking modern ini bisa memanfaatkan bukunya.
Yan Widjaja , 15820
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua