Budaya-Tionghoa.Net | Apalah yang terkenang dari kota Tianjin? Belasan tahun yang lalu, waktu memutuskan untuk mampir ke Tianjin, sedang dalam perjalanan menuju ke ThaySan, hanya karena tertarik berdasar beberapa lembar ungkapan yang ditulis oleh buku travel guide itu. Mungkin karena baca buku sejarah, mungkin karena teringat film ‘55 days in Peking‘ yang dilihat waktu kecil dulu di kota Malang?
Perjalanan ke Tianjin dengan bus waktu ini untuk sejarak kurang lebih 180 km memakan waktu tiga jam, melalui padang padang persawahan yang kelihatan panas di awal musim panas. Agak membosankan memang. Dan Tianjin masih terlihat kumuh, walaupun buku travel mengatakan banyak pabrik industri tertentu berada di sekitar kota ini. Tiga obyek yang dilihat, mesjid di dekat stasiun Tianjin barat, drum tower dan sebuah kelenteng di tengah kota yang tersembunyi di perumahan yang terlihat dari jaman jauh sebelumnya. Dan tentunya berjalan jalan di tempat yang disebut pusat kota waktu itu. Tidak banyak kesan yang timbul, apalagi baru datang dari kota BeiJing yang megah.
Bagaimana kota Tianjin sekarang? Kenapa pemerintah membangun kereta cepat dari Beijing ke Tianjin, sehingga nantinya jarak itu hanya akan ditempuh 30 menit saja? Itu pertanyaan yang timbul dihati, dan jawabannya tidak ada di buku travel guide. Harus datang melihat sendiri.
MeiZuo, itu jawaban petugas di belakang loket penjual karcis. Nggak ada kursi? Padahal begitu banyak jumlah kereta yang melayani Beijing TianJin. Begitu ramaikah jalur ini?
Jadilah selama 1 jam 12 menit berdiri di dalam kereta yang penuh sesak, walaupun ini kereta type D yang termasuk tercepat saat ini Tiongkok. Agaknya demand tidak terlayani oleh supply. Kalau tidak ya harus berangkat sore nanti, apa boleh buat.
Kereta meninggalkan Beijing jam 9 tepat. Di tengah jalan papan raga menunjukkan kereta melaju dengan kecepatan 165 km per jam. Track terasa mulus, karena tidak terasa goncangan lateral, horizontal maupun vertikal, dan sambungan rel pun terasa hanya beberapa kali dalam perjalanan. Itupun kalau diperhatikan dengan sungguh2, kalau tidak ya sambungan itu akan benar-benar tidak terasa. Sebetulnya melelahkan berdiri selama itu, tetapi kekaguman membuat pergi rasa lelah.
Bagaimanapun pengalaman berdiri menyesakkan, sehingga tiket kembali ke Beijing langsung dibeli begitu tiba. Untung sesuai schedule, bisa mendapatkan tiket bertempat duduk jam 5.30 sore.
Dengan taksi menuju ke pusat kota. Taksi segera meluncur meninggalkan stasiun dan berada di elevated highway. Tentu saja elevated highway ini tidak ada dulu pada awal tahun 90’an. Menurut supir taksi highway ini sudah ada kurang lebih 10 tahun, dibangun akhir 90’an. Memandang keluar mencoba mencari obyek yang masih dikenali. Susah sekali. Bahkan sesudah sampai di tempat tujuan pun, masih belum ada obyek yang bisa dikenali. Semua serba baru, memory yang ada di benak ternyata tidak bisa ditemukan lagi.
Akhirnya terpikir untuk pergi ke Bank of China, tempat menukar uang dulu. Dilihat dari depan gedungnya saja yang masih sama, sedang lingkungannya sudah berubah. Tentu saja interior dalamnya sudah berubah sama sekali. Setelah puas berjalan jalan di pusat kota lama, timbul keinginan melihat obyek yang dulu dilihat.
Tidak usah dikatakan sepanjang jalan susah untuk menemukan obyek yang masih bisa di ingat. Tepatnya sama sekali tidak ada. TianHouGong sekarang jadi tertata rapi, kalau tidak masuk ke dalam kelenteng, mudah untuk terlupa. Sekarang berada di pertokoan, yang mengingatkan kuil Asakusa di Tokyo sana.
Begitu juga Drum Tower. Sekarang berdiri megah di pertamanan dan deretan toko yang dipersiapkan untuk menyambut turis dengan segudang souvenir. Agaknya Tianjin ini masyhur dengan barang seni terbuat dari kertas yang digunting, yang sering menjadi hiasan waktu sincia.
Begitu banyak bangunan tinggi sekarang menghias langit TianJin, beberapa bangunan lama yang berarsitektur kolonial masih dipertahankan menghias beberapa sudut kota. Selebihnya hutong-hutong yang lama sebagian sudah diratakan dengan tanah, dan berganti dengan bangunan pencakar langit.
Dan kejutan yang terakhir adalah sejumlah apartemen yang menggantikan daerah yang tadinya ditempati oleh mesjid Tianjin dan hutong diseitarnya. Sebuah mesjid baru yang mungkin tiga kali lebih besar dan sejumlah apartemen mencakar langit setinggi sekitar 30 lantai lebih.
Taksi menuju ke stasiun utama melewati daerah TianJin yang penuh dengan bangunan tinggi di kiri kanan nya. Terlihat beberapa tmpat yang dipagar karena ada pembangunan subway. Begitu cepat Tiongkok berubah, dalam belasan terakhir seperti ditunjukkan kota Tianjin ini. Orang orang yang terlihat hilir mudik di mall mall memakai mode winter yang mungkin tidak kalah lagi dengan padanannya di negara maju lainnya. Lihat ke mall yang lebih upscale (tingkat atas) atau ke mall yang lebih rendah, tuntutan berbusana musim dingin disambut dengan mode yang sepadan sesuai dengan penghasilan mereka. Cukup modis. Apakah itu pertanda penghasilan mereka sekarang sepadan?
Taksi tiba tepat waktu kereta 5.30 berangkat di stasiun, sehingga tentu saja tak bisa lagi mengejar masuk kereta. Untung masih dapat tempat duduk di kereta berikutnya tanpa perlu menambah biaya. Kereta ke Beijing malam ini lebih longgar, penuh tetapi tidak nampak orang berdiri berjejal di selasar seperti kereta ke Tianjin tadi pagi. Lampu lampu berkelebat diluar, kereta melaju dengan kecepatan 165 km per jam.
Bagaimana mereka melakukan ini semua? Tentu saja untuk beberapa gedung tinggi seperti perkantoran, mall atau hotel sudah pasti modal swasta masuk. Beberapa apartemen yang mewah dengan modal swasta. Bagaimana dengan pembangunan infrastruktur? Apakah anggaran pemerintah daerh TianJin (daerah otonom) mampu membiayai semua itu?
Apa yang terlihat di Tianjin sekali ini demikian membekas. Diluar dugaan di berita televisi besok malamnya diceritakan kunjungan presiden Hu ke Tianjin paginya. Pagi itu sang presiden mengunjungi beberapa keluarga yang kurang mampu yang mendapatkan bantuan rumah apartemen dari negara seluas kurang lebih 50-70 m2.
Rumah itu bisa ditempati oleh suami isteri sampai meninggal tetapi tidak bisa diwariskan dan akan kembali ke negara kemudian. Tetapi dengan tersedianya rumah, pasangan yang kurang mampu bisa membesarkan anak (kalau masih muda) dan menyekolahkan mereka hingga diharapkan kemudian mampu berdikari. Atau jika sudah memasuki usia pensiun atau hampir pensiun dan anak-anak sudah meninggalkan rumah, dapat mengisi hari tua dengan lebih tenang. Wajar saja keluarga yang dikunjungi oleh sang presiden menangis terharu.
Cuaca Tianjin cukup menggigit tulang di musim dingin, suhu turun di bawah titik beku. Rumah menjadi persyaratan yang harus dimiliki untuk bisa melewati musim dingin.
Bagaimana mereka bisa melakukan ini semua? Apakah karena mereka negara komunis, sehingga menggusur hutong bisa dilakukan dengan mudah? Apakah pemikiran seperti itu bukan negatif saja? Memojokkan saja? Ya sekali ini Tianjin dan perubahannya demikian membekas.
Sampai dengan saat pesawat mendarat di Jakarta, yang terpikir adalah alangkah bagusnya kalau pemukiman kumuh bisa diremajakan seperti itu. Apa yang harus dilakukan Jakarta, supaya bisa meremajakan kotanya, membangun infrastruktur, menyelesaikan masalah kemacetan, membangun subway? Apakah karena tidak ada rencana? Atau karena berebut kue pembangunan? Atau karena tidak pernah dipimpin dengan benar?
Hari Alim , 31401
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua