[Karikatur Tiongkok sebagai “Sickman of The East”
yang sedang dibagi-bagi oleh para great power termasuk Jepang ]
Budaya-Tionghoa.Net | Joshua Fogel dalam “On Japanese Expression for China”[1] memang menulis bahwa term “Zhina” semula netral , dan bangsa Jepang sendiri lebih menyebut nama Dinasti , seperti To [Dinasti Tang] , So [Dinasti Song] , Min [Dinasti Ming] , Shin [Dinasti Qing]. Tetapi fokus tulisannya adalah mencermati bagaimana kata “Zhina” yang semula netral , bahkan sampai Sato Nobuhiro menggunakan term Zhina untuk memberikan pujian bagi dinasti Qing di tahun 1808 . Tetapi lima belas tahun kemudian , menggunakan term yang sama untuk menggambarkan objek yang layak untuk dianeksasi dan dikuasai. Penggunaan Zhina ini mulai populer sesudah Restorasi Meiji. sebelum Sino Japanese War I. [Fogel , p1]
|
Guo Moruo [1892-1978] yang sangat mengenal Jepang , di tahun 1936 berargumen bahwa ekspresi Shina tidak menjadi masalah besar , sampai orang Jepang menggunakannya dengan cara yang mungkin lebih buruk daripada orang Eropa menggunakan term “Jew” untuk kaum Yahudi. [Fogel , p7]. Hal ini dapat dibandingkan dengan Geofrey Hughes yang mengutip JL Dillard , bahwa term “Black” tidak ofensif terhadap warga keturunan asal Afrika sampai bangsa Barat menggunakan cara yang menghina.
In his piece (mentioned above) of September 1936, Guo Moruo (who knew Japanese well) argued that the expression Shina was not evil in and of itself, nor did it have pernicious origins. But, when used by Japanese, it was comparable, indeed worse, than the derogatory way in which Europeans often spoke the word “Jew” (or “Juif” or “Jude”).
J.L. Dillard points out, “even nigger was not offensive to Blacks until whites used it in a derogatory way†(1977, 96).
Penghinaan etnis bisa menimpa ras mana saja , kadang juga muncul dari konjungsi agama dan etnis . Irving Allen mencatat ada 240 term yang ditujukan terhadap “black”. Kata bisa semula netral . Bisa berupa warna , bisa berupa nama besar macam Buddha [Buddha Head , olok2 yang juga ditujukan terhadap chinese] , warna kulit [yellow bastard , yellow peril , yellow belly] , ciri khas fisik [ quaint eyes] , permainan kata asal [chinkie-1876 , chink -1890, ching-chong , chinaman , chinee], kebetulan yang sama seperti term paddies [itu bisa ditujukan untuk orang yang berasal dari Tiongkok dan Irlandia].
“Kebiasaan buruk” seperti mengisap candu yang juga sebenarnya ulah Barat , juga memunculkan istilah “opium smoker”. Irving Allen menyebutkan di Amerika Serikat saja ada 38 nicknames untuk chinese.Seberapa dampak sebuah term yang ditimbulkan. JL Dillard menekankan seperti ini.
The Chinese greatly dislike the terms Chinaman and Chinee, just as the Japanese dislike Japânese (1945, 374).
***
Sebuah Kronologis : Zhina dan “Si Sakit Dari Timur”
Di masa Tokugawa / Bakufu diperkenalkan sebagai pengantar . Tiongkok masih dipandang secara positif [model apapun bagi Jepang] , disisi lain sebagai rival politik yang sudah dimulai sebelum era Tokugawa dengan aksi militer Hideyoshi di Korea. Usaha lepas dari bayang-bayang Tiongkok dengan menciptakan model sendiri , model Jepang , kultur Jepang dan juga meniru peran sentral Tiongkok di kawasan sekitar dalam konteks Middle Kingdom , Sinosentris , ke tatanan mereka sendiri , sampai juga “meniru” konsep isolasinya. Mungkin dari sini bisa ditelusuri kenapa beberapa produk budaya Tiongkok menjadi identik dengan budaya Jepang , sampai sekarang.
Ketika Arai Hakuseki menggunakan term Zhina di tahun 1713 , masih mengandung konotasi positif. Begitu juga saat Sato Nobuhiro menggunakan term yang sama di tahun 1808 untuk melayangkan pujian yang tinggi terhadap Tiongkok. Pada saat itu Tiongkok belum jauh dari masa emas Dinasti Qing [1800]. Fogel mencatat bahwa limabelas tahun kemudian , sekitar tahun 1823 , Sato menggunakan term yang sama untuk sebuah objek yang layak untuk dianeksasi. Pada saat itu Inggris merayakan sukses penjualan opium yang berlipat ganda sampai Opium War I [1839-1842].
Yoshida Shoin mengulang seruan yang sama dalam suratnya . Yoshida menggunakan term Zhina sebagai objek yang harus dikuasai di tahun 1855 , setahun menjelang Opium War II [1856-1860]. Dimasa ini penggunaan term Zhina terus meningkat dan konotasinya mulai menurun.
Restorasi Meiji ditahun 1866 , membawa perubahan besar bagi Jepang yang semula menekankan praktek isolasi dimasa Tokugawa. Masalah Sentralitas “Middle Kingdom” Tiongkok kemudian menjadi pertanyaan , apa cukup pantas ? Jepang dimasa Meiji , kebijakan luar negrinya berfokus kepada Tiongkok , menantang Tiongkok dalam perebutan superioritas di Asia Timur. Dan itu perlu agar Jepang dapat “join to the club” yang bisa berdiri sama tinggi dengan Barat. Ini motivasi pertama dari agresivitas Jepang.
Dimasa awal Meiji , kebijakan politik Jepang didominasi oleh sifat kompetisi terhadap Tiongkok. [Zachman , p13]. Penjelasannya , hukum internasional pada masa itu “menyaratkan” Jepang untuk mencapai level peradaban yang lebih tinggi , kemampuan self-defence , efisiensi pemerintahan dan seterusnya , agar dapat “sejajar” dengan Barat yang sedang menguasai dunia. . Konsekuensi kalau tidak sejajar memungkinkan unequal treaty , seperti yang diderita Dinasti Qing . Untuk itu Jepang memandang perlu klaim sebagai satu2nya negara paling beradab di Asia Timur [menantang Tiongkok] .
Dalam kondisi ini pula , dimasa awal Meiji , teksbook sekolah dasar di Jepang dan surat kabar sering menggunakan term Zhina , yang ditulis “Shina”dengan berbagai variasi, Chaina , Kara, Nankin dan Shina.
Di tahun 1871 , Date Munenari membawa agenda untuk membuat unequal treaty dengan Tiongkok yang diwakili Li Hongzhang , tetapi kondisi belum memungkinkan , dan tetap mencapai equal treaty. Ini adalah treaty modern pertama berdasarkan Hukum Internasional Barat bagi Jepang terhadap negara di kawasan Asia Timur. Treaty ini juga dipandang curiga oleh Barat sebagai usaha aliansi Sino – Japanese yang membahayakan. Insiden Ekspedisi Taiwan 1874 , menjadi indikasi bahwa Jepang mulai agresif , tidak hanya sebatas Ryukyu [sekarang : Okinawa] , tapi juga area Taiwan.
Mentri pertama Tiongkok bagi Jepang , He Ruzhang memperingatkan Li Hongzhang , jika Tiongkok tidak aktif di Korea , akan mengalami hal yang sama dengan Ryukkyu[Okinawa] yang dianeksasi Jepang. Sebaliknya Jepang juga khawatir dengan menguatnya militer Tiongkok pasca Restorasi Tongzhi [1861-1875]. Masalah Korea , bagi Jepang dianggap penting karena sebuah kawasan yang berbatasan langsung dengan dua kekuatan , Tiongkok dan Russia . Sementara Tiongkok menganggap Korea sebagai negara tribut terpenting.
Melalui berbagai kemelut di Korea antara kedua negara , terbersit ide dari Tiongkok untuk mengamankan Korea dengan cara meng-internasional-kan Korea , dengan mendorong Korea menjalin hubungan diplomasi dengan Barat , dan menjadi negara netral seperti Swiss.Ambisi militer Jepang terlihat dari budget militer yang meningkat 25 persen [1886] , 31 persen [1890]. Tiongkok sebaliknya terus memperkuat diri [ziqiang yundong] mencapai kemajuan yang baik walau masih terkonsentrasi pada fortifikasi.
Perang Tiongkok dengan Perancis di front Vietnam memberikan kesempatan bagi Jepang untuk menggoyang Korea. Publik Jepang juga lebih mendukung Perancis daripada memberikan simpati bagi Tiongkok.
Fukuzawa Yukichi memulai satu provokasi
Little or no intellectual progress has been made by the Chinese for thousands of years, and we have hundreds of millions of people living like ‘so many soulless automata,’ as our writer puts it, and ‘dreaming away their existence in careless oblivion of the great world just beyond the border.’ This idea is enlarged upon with much skill, and we fully endorse the assertion, which follows, that the chronic conservatism of the Chinese will be incurable ‘until they are made forcibly and unpleasantly aware of the irresistible power against which they are trying to stand.’ And it is this to which, in the belief of the Jiji Shimpo, the Chinese are now gradually being brought.
Sino-Japanese War I meletus dan Jepang benar2 berada diatas angin , menang mudah . Korban tewas Jepang ribuan sedangkan korban tewas di sisi Tiongkok ratusan ribu. Histeria melanda Jepang , propaganda bergaya “Film Rambo” bermunculan di Jepang. Hasil Treaty of Shimonoseki benar2 kombinasi penyerahan wilayah secara signifikan dan indemnities yang besar. Sebuah negri dengan penduduk 40 juta berhasil mengalahkan musuh yang berjumlah 400 juta.. Muncul istilah baru bagi Tiongkok dengan nickname “Sick Man of The Far East” . Miyake Setsurei , ko-editor Nippon menambahkan minyak secara sinis :
Learn the skills of diplomacy from China! That China’s skills of warfare are poor, I have thought before, but that they are like that, I have not dared to think. That China’s skills of diplomacy are strong, I have thought before, but that they are like that, I have not dared to think. ‘The chanchan bozu of China is a rather weak fellow’ That is absolutely true, but: ‘Li Hongzhang of China is a rather stupid fellow’ That is certainly a lie. Thus, if we can teach them the skills of warfare, should we not learn from them the skills of diplomacy?
Kebudayaan Tiongkok walau Jepang sudah mulai beralih ke Barat , masih mendapat status tinggi di masa Meiji [setelah sebelumnya menjadi stimulus di masa Tokugawa [Zachman , p18, p20] Jadi kondisi yang sama di masa Tokugawa , rivalitas politik dan “kekaguman budaya Tiongkok” masih ada pada era Meiji tapi makin ekstrim . Rivalitas ini didukung oleh teori Sosial Darwinisme melalui pengaruh Herbert Spencer.
Disatu sisi Jepang menganggap Tiongkok sebagai saingan. Hal ini terjadi dua tahap , pertama Tiongkok dijadikan batu loncatan , harus ditaklukan oleh Jepang , untuk klaim sentralitasnya “middle kingdom” dan Jepang menjadi satu2nya negara paling beradab di Asia TImur , dengan ini Jepang berharap bisa sejajar dengan Bangsa Barat . Tahap berikutnya , kemenangan Jepang terus menerus memunculkan sentimen , kecurigaan dari Barat .
Pandangan bangsa Jepang terhadap Tiongkok juga menjadi rendah , dari semula menjadi model Jepang [pengaruh kultural Tiongkok yang sedemikian besar , kemudian mulai beralih ke Barat] dan kemudian disusul dengan merosotnya prestise Tiongkok karena kekalahan terus menerus [bisa ditelusuri dari unequal treaty dengan beberapa great power dunia seperti Inggris , Russia , Jerman , Perancis dan seterusnya] . Saya rasa ini juga berkorelasi dengan penggunaan term Shina yang juga makin populer [?]
Kekalahan Tiongkok dalam Sino Japanese makin membuat pandangan Jepang terhadap bangsa Tiongkok semakin rendah. Si Sakit Dari Timur ini perlu “diselamatkan” Jepang [Shina Hozen]. Dari yang semula Tiongkok menjadi model Jepang menjadi berbalik bahwa Jepang adalah model dari Tiongkok. [Reformasi 100 hari misalkan]. Beberapa point dari Jepang adalah , termasuk juga beberapa doktrin Okuma.
- Untuk melindungi integritas dan stabilitas di Tiongkok [ Shina o hozen su ]
- Untuk membantu perkembangan Tiongkok [ Shina no kaizen wo josei su ]
- Untuk melakukan investigasi terhadap masalah Tiongkok dan memutuskan langkah yang sesuai.
- Untuk membangkitkan opini publik [kokuron o kanki su]
- Kekaisaran Jepang memiliki kewajiban untuk membantu dan melindungi Tiongkok [Shina no hozen fushoku]
Caroline Rose dalam “Interpreting History Sino Japanese Relations” menulis bahwa pandangan negatif terhadap Tiongkok semakin akut di awal abad 20 . Dan secara sistematis memasukannya kedalam kurikulum pendidikan mereka :
Negative views of China were introduced in government-written school textbooks of the early 1900s which imparted to Japanese schoolchildren images of a rude, arrogant and weak China that failed to `recognize Japan’s true desire to promote peace and enlightenment in East Asia’.
Jadi bukan sekedar provokasi dari para tokoh di Jepang , pandangan Jepang terhadap Tiongkok yang negatif sudah diperkenalkan dalam pendidikan mereka. Dan kalau memperhatikan masa 1900an itu sesudah Boxer , Tiongkok melawan Sisa Dunia , yang hasilnya ?
Reaksi masyarakat Tiongkok dari kekalahan di Sino Japanese War I , berbeda dengan reaksi masyarakat pasca berdirinya Republik Tiongkok . Kecurigaan Tiongkok terhadap ambisi Jepang yang kemudian memanas pasca Versailles , masalah Shandong , 21 tuntutan , dan muncul sentimen anti Jepang. [kemaren ubek2 bahan kalau ini juga dianggap sebagai penghinaan bangsa , wuwang guochi , lupa dimana tapi halaman mana buku yang mana]
Kapan penggunaan Zhina mulai populer ? Yah sejak Restorasi Meiji. Ini dari pihak bangsa Jepang.
These four genres of writings demonstrate that Shina had already become entrenched in popular Japanese usage by the mid-1880s, certainly well before the Sino-Japanese War. Sato thus successfully supersedes the argument made some years ago by Saneto Keishu ~(1896-1985) that Shina came into general use only after the first Sino-Japanese war.
Kesimpulan
Perang Dunia I ,memunculkan masalah baru , “Masalah Shandong” , “21 Tuntutan ” dan berpuncak pada gerakan sentimen anti Jepang. Disini awal mula sentimen anti-Jepang di Tiongkok bukan lagi sekedar pemikiran tokoh di Tiongkok , tetapi dalam wujud gerakan luas. Sesaat sesudah Dinasti Qing jatuh , berdirinya Republik Tiongkok , nama resmi Zhonghua Minguo tidak diadopsi secara luas di Jepang dalam dokumen resmi Jepang tetap menggunakan Shina Kyowakoku. Baru nanti tahun 1930 “terpaksa” pemerintah Jepang mengadopsi nama tersebut. Dan baru tahun 1946 , pemerintah Jepang dipaksa untuk mengakhiri penggunaan term “Zhina” oleh Tiongkok [Tentunya bukan PRC yang berkuasa saat itu].
Penghinaan terhadap etnis bermula dari term yang semula netral, merupakan manifestasi xenophobia dan prasangka yang memunculkan genre “swearing” , yakni ethnic slurs. Term juga bisa mengalami perubahan arti seiring jaman. Penggunaan term Yankee saja terus bergeser dari yang semula ditujukan pada penduduk asal Belanda di AS , kemudian ditujukan terhadap pihak Union dalam Civil War di AS , dan kemudian ditujukan terhadap serdadu AS di masa berikutnya. [Geofrey Hughes , p326]. Penggunaan istilah Zhina yang semakin populer seiring dengan semakin kuat dan agresifnya Jepang pasca Meiji dan merosotnya wibawa Tiongkok dimasa Dinasti Qing. Penggunaan term di teksbook sekolah dasar juga menunjukkan adanya usaha sistematis pada generasi muda sejak dini. Rivalitas antara Jepang dan Tiongkok , dimana Jepang terus berada diatas angin menjadi wajar melakukan semacam usaha sistematis meniadakan kesan “Middle Kingdom” dan berusaha mempopulerkan term “Shina”
[Dada]
Referensi :
- Joshua Fogel , “On Japanese Expression for China” , University of California , Santa Barbara.
- Urs Matthias Zachman , ” China and Japan In The Late Meiji Period , Routledge
- Geofrey Hughes , “An Encyclopedia of Swearing , The Social History of Oaths , Profanity , Foul Languange and Ethnic Slurs in The English Speaking World”
- Caroline Rose , “Interpreting History In Sino Japanese Relations”