Saudara ibu diberi nama ‘ragum’ dan ‘garpu’, mereka lahir awal tahun 1900’an. Apakah ayah mereka sudah terpengaruh oleh konsep yang disebut Indonesia? Tentu saja tidak
Ada teman teman saudara perempuan yang lahir sekitar tahun 30’an dan juga sebelum tahun 1945, banyak yang memakai nama melayu, seperti ‘terima’, ‘kasih’ atau bahkan jawa seperti ‘bati’, tetapi banyak juga yang memakai nama sedikit barat seperti ’emmy, erna, elly atau anna’. Apakah ayah mereka sudah terpengaruh oleh konsep yang disebut ‘Indonesia’?
Kakek sepertinya mempunyai kebiasaan memberi nama ‘jawa’ ke cucu-cucu nya, baik yang lahir sebelum 1945 maupun yang lahir setelah 1945. Ada semacam kebiasaan memang, nama jawa dipakai di lingkungan rumah dan keluarga dekat, sedang nama Tionghoa dipakai di sekolah atau di tempat resmi lainnya. Walaupun demikian memang saudara ayah ada yang memilih nama barat untuk anaknya seperti betty atau benny.
Pada waktu kakak perempuan kawin, hiburan yang dipilih orang tua adalah gamelan. Juga tetangga yang mantu di akhir 50’an dan awal 60’an ada yang memakai wayang kulit untuk hiburan. Di awal tahun 60’an dan di akhir 50’an tidak aneh remaja remaja Tionghoa berlatih gamelan.
Bahkan bukan hal yang aneh di banyak kota di Jawa Timur dan Jawa Tengah, keluarga Tionghoa yang cukup berada, yang mampu; mempunyai seperangkat gamelan dan bahkan sepeti wayang kulit. Dan tentu saja keris dan pusaka yang lain.
Seorang tetangga, tentu saja juga orang Tionghua, teman ayah, cukup sering main gambang di rumahnya yang asri, pada waktu sore atau juga selepas jam sepuluh pagi, sebelum makan siang. Bahkan tetangga yang lain, juga seorang Tionghua, kegemarannya membuat wayang kulit, benar benar menggambar, menatah kulit dan melukisnya.
Setiap kali datang musim kemarau, sekitar Agustus, pasar malam selalu datang, dan datang juga rombongan wayang-wong nya, dan ini adalah hari hari menonton wayang wong di malam, bisa seminggu tiga kali bahkan bisa lebih, tergantung lakon yang dimainkan.
Pergi ke Solo pasti tidak melewatkan wayang wong Sriwedari, kalau ke Semarang barulah pas kalau ke Ngesti Pandowo.
Waktu setahun berjalan, kehidupan berputar. Datang awal tahun, datang SinCia. Ke rumah kakek, sembahyang sehari sebelumnya dan memberi selamat tahun baru besoknya. Datang Ceng Beng, naik delman pergi ke kuburan, sepupu jauh berdatangan, dan tentu saja banyak kue. Datang peh-cun datang bak cang dan kue-cang. Datang bulan tujuh, pergi kelenteng sembahyang rebutan. Datang bulan sembilan, ada bapak bapak yang selalu datang setiap tahun menjual kue Tiong Tjioe Pia. Dan kemudian datang bulan dua belas, datang sembahyang ronde. Ditambah lagi pada bualn ketiga atau bulan tertentu adalah she-jit nya makco atau kong-co tertentu, dan bisa jadi melancong keluar kota untuk datang ke kelenteng tertentu. Ah waktu Natalpun juga datang ikut ke gereja.
Ini gambaran kehidupan sebelum tahun 1965.
Kehidupan berubah setelah tahun 1966, pertama muncul keharusan ganti nama. (Mungkin bukan keharusan, tetapi terasa sebagai keharusan bagi banyak orang Tionghua). Dan tiba tiba semua terasa lebih sempit untuk orang Tionghua. Tiba tiba semua orang berbagi cerita, pengalaman susah mencari bangku universitas. Dan itu menjadi cerita di hampir semua orang Tionghoa, kesulitan tidak bisa menjadi pegawai negeri, kesulitan tidak bisa menjadi polisi atau tentara, kesulitan ini dan itu.
Waktu bergulir, muncul generasi baru yang lahir setelah tahun 1965, generasi yang lahir dengan identitas ke Tionghoa an yang di tanggalkan, paling tidak nama Tionghoa yang tidak dipakai lagi. Seorang keponakan pada waktu berusia 11-12 tahun satu hari pernah bertanya, apakah kita orang Cina?
Beberapa keponakan yang dilahirkan di Australia setelah tahun 1965 dan dibesarkan disana juga, mereka menyebut dirinya orang Australia. Tetapi mereka lebih senang dikelompokkan sebagai berasal dari Indonesia, terutama untuk membedakan dengan kelompok yang dari ‘mainland’ china. Karena satu hal dua hal mereka merasa lebih dekat dengan kelompok yang datang dari Singapura atau Malaysia.
Ketika berjalan jalan di Tiongkok, tentu saja kalau memperkenalkan diri adalah orang dari Indonesia. Di dalam satu kereta, jika berdiam saja, tentu saja mereka juga tak bisa membedakan apakah ini dari propinsi utara, timur, tengah atau selatan atau dari barat. Dan di benak mereka apakah terpikirkan etnisitas? Mungkin mereka lebih memikir mencari nafkah, menghidupi keluarga, membesarkan anak, menyekolahkan anak,
menyiapkan anak untuk masa depan.
Tentu saja cerita di atas bisa jadi cuma mewakili sekelompok orang saja atau bahkan tidak sama sekali. Tetapi yang ingin ditonjolkan dari cerita di atas adalah munculnya konsep tentang etnisitas.
Membaca koran hari ini, tentang sesorang Tionghoa dari Sumatera yang berusaha mengatasi diskriminasi yang di alaminya. Tentu saja ini adalah berita karena apa yang dialaminya, karena terjadi. Membaca majalah hari ini tentang prasangka yang timbul orang provinsi Timur di Tiongkok ke orang dari provinsi Hunan, ah merekabanyak kriminalnya. Prasangka ada dimana mana, dan sepertinya biasa.
Memandang ke jendela, orang orang yang berangkat bekerja dengan naik bis atau berjuang dengan motor menembus macetnya jalan raya. Terpikirkah mereka akan etnisitas? Apakah mereka lebih memikir mencari nafkah, menghidupi keluarga, membesarkan anak, menyekolahkan anak, menyiapkan anak untuk masa depan? Memandang poster yang terpasang di dinding dinding tembok. Merekalah para politisi. Akankah mereka menggunakan etnisitas untuk memenangkan pertarungan politik? Akankah mereka tetap menggunakan politik ‘kita dan mereka’? Akankah mereka tetap menggunakan politik eksklusif, bukan inklusif? Akankah masyarakat tetap memilih mereka ‘yang penting dari golongan kita’ bukan ‘siapa yang bisa menyediakan pekerjaan’
Cobalah tanya kepada penduduk Hunan, kenapa mereka migrasi pindah ke propinsi pesisir di timur? Mencari penghidupan jawabnya. Kenapa pindah ke Nan-yang ? Mencari penghidupan. Kenapa pindah ke Amerika? Mencari penghidupan. Bukankah semua orang sekedar mencari penghidupan?
Perbatasan negara, nasionalisme dan etnisitas boleh dikatakan muncul sebagai produk abad ke 20, di abad abad sebelumnya orang bisa melintasi perbatasan negara lebih mudah, dan nasionalisme lebih longgar. Dan bisa jadi orang belum memikirkan etnisitas. Situasi politik dunia juga menyumbang banyak pemikiran pemikiran sesaat, seperti misal jatuhnya cina ke tangan komunis, menimbulkan phobia dikalangan akademisi dan politisi Amerika yang takut Asia Tenggara akan jatuh ke tangan komunis melalui efek domino, dengan orang Tionghoa sebagai salah satu agennya.
Seperti diungkap di beberapa buku, Indonesia sudah lahir seperti ini jadinya, mungkin diluar dugaan para penggagasnya, orang2 Tionghoa di tahun 1860’an atau orang2 Indo di tahun 1860’an. Mungkin juga diluar dugaan pemerintah kolonial Belanda sekalipun.
Negara barat dengan cepat belajar kesalahan masa lalunya, dan mereka sekarang memperkenalkan muti-kultural-isme. Australia dari white policy, bahkan sampai awal 70’an, sekarang juga multi-kultural. Bahkan pemilik apotik pun lebih senang punya pegawai yang multi-kultual sekarang. Masyrakat barat cepat berubah, mereka sekarang lebih senang pergi ke food court di mall yang menyediakan masakan dari mana saja.
Bisa jadi ini semua hanya kenangan saja, dan semoga semua hanya kenangan masa
lalu saja, yang pahit.