Budaya-Tionghoa.Net | Anda masih ingat iklan minuman energi yang diputar beberapa tahun silam? Dalam salah satu adegan kita lihat Dik Doank duduk termangu. ”Kapan ya Indonesia bisa ikut Piala Dunia?,” kata Dik Doank yang membintangi iklan itu bersama dengan bintang sepak bola Italia, Alessandro Del Piero.
Pertanyaan Dik Doank itu sepatutnya menjadi cambuk bagi Indonesia untuk dapat menjawabnya. Namun, apa mau dikata pertanyaan itu hingga kini belum mampu dijawab. Prestasi sepak bola Indonesia jauh dari kata memuaskan. Tampil Piala Dunia masih berupa mimpi.
Judul : Tionghoa Surabaya dalam Sepak Bola 1915-1942
Penulis : R.N. Bayu Aji
Pengantar : Freek Colombijn
Penerbit : Ombak, Yogyakarta 2010
Tebal : 141 hal + xxiBegitu carut-marutnya kepengurusan dan sistem pembinaan sepak bola kita semakin mengaburkan harapan atas pertanyaan Dik Doank tersebut. Hingga berpuncak pada aksi Hendry Mulyadi, seorang penonton yang masuk ke lapangan pada laga Indonesia melawan Oman bulan Januari lalu. Aksi Hendry seolah mengukuhkan dan mewakili rasa frustasi para penggemar sepak bola Indonesia.
Krisis prestasi dan kepengurusan sepak bola di Indonesia ini pun mengundang perhatian Pemerintah Indonesia hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengusulkan kepada PWI-KONI untuk menggelar kongres sepak bola nasional. Dalam menyambut kongres tersebut tampaknya buku Tionghoa Surabaya dalam Sepakbola 1915-1942 karya R.N. Bayu Aji patut menjadi perhatian.
Seperti yang diungkapkan oleh Freek Colombijn dalam kata pengantarnya, buku ini merupakan buku penting karena sepak bola adalah bagian penting dalam keseharian masyarakat kolonial (Hindia). Bahkan, mampu menarik perhatian media berupa koran lokal yang memberitakan pertandingan sepak bola di kota-kota tertentu (hal. xviii) Sepak bola, tulis Colombijn, memang tidak hanya menarik perhatian tetapi juga mampu mengumpulkan orang-orang dari berbagai latar belakang etnis yang berbeda: Eropa, Tionghoa dan Arab yang tergabung dalam tim nasional – Hindia-Belanda (hal.xix)
Satu fenomena yang menarik adalah menurut sejarah sebenarnya sepak bola Indonesia lahir bukan karena alasan kebugaran atau kesehatan jasmani tetapi justru politik. Sepak bola kerap digunakan untuk menumbuhkan rasa nasionalisme. Oleh karena itu nama-nama tokoh founding-father Indonesia seperti MH.Thamrin, Ki Hajar Dewantara, hingga Soekarno-Hatta tak dapat dilepaskan dengan kemunculan klub sepak bola di Hindia. Bahkan dalam biografi politik tentang Sjahrir, Sjahrir: Politics and Exile (1994), Rudolf Mrazek menuliskan kegemaran Sjahrir pada si kulit bundar sekaligus kepiawaian mengolahnya. Sjahrir bahkan dikenal sebagai penyerang tengah yang handal. Ketika berada di Bandung ia tercatat sebagai anggota Club Voetbalvereniging Poengkoer dan Luno.
|
Hal lain yang tak kalah menarik adalah ternyata orang Tionghoa memiliki peran penting dalam olahraga Indonesia, khususnya sepak bola. Namun, seiring jalannya waktu kiprah mereka lebih banyak pada olahraga lain seperti bulu tangkis, tenis meja, bola basket, dan bola voli.
Dalam Politik dan Sepakbola Di Jawa 1920-1942 karya Srie Agustina Palupi (2004) dijelaskan alasan awal masuknya orang Tionghoa di sepak bola di Hindia-Belanda yaitu akhir abad ke-19 karena sentimen ras. Ketika itu orang Tionghoa enggan disebut sebagai warga kelas dua oleh pemerintah Hindia-sehingga sempat muncul Chineesche Java Voetbalbond (CJV) pada awal abad ke-20. Tahun 1912 saja di Batavia muncul lima klub sepak bola Tionghoa.
Kota Surabaya yang kini terkenal dengan klub sepak bola Persebaya ’Bajul Ijo’ plus boneknya menorehkan catatan sejarah awal tentang dibentuknya bond (perkumpulan) sepak bola. Perintis perkumpulan sepak bola di Surabaya atas jasa seorang pemuda Belanda, John Edgar mendirikan bond Victoria pada 1895. Disusul kemudian dengan bond-bond lain seperti Sparta (1896), SIOD (Scoren Is Ons Doel – mencetak gol adalah tujuan kami), Rapiditas, THOR (Tot Heil Onzer Ribben). Pertumbuhan perkumpulan-perkumpulan ini merangsang pertumbuhan perkumpulan sepak bola di kalangan Tionghoa dan Bumiputera (hal.57).
Keberadaan perkumpulan sepak bola Tionghoa di Surabaya tak lepas dari peranan POR –Perkumpulan Olahraga –Gymnastiek en Sportvereeniging Tiong Hoa yang didirikan pada 31 Desember 1908 (hal.79). Para leden (anggota) perkumpulan ini pada awal 1915 berkeinginan mendirikan afdeling voetbal (cabang sepak bola) dengan Oei Kwie Liem yang menjadi pelopornya. Pada tahun 1915 itulah cabang sepak bola menjadi olah raga populer. Tak jarang kerusuhan antarsuporter terjadi tetapi itu bukan hambatan untuk membina sepakbola (hal.81)
Namun, jangan bayangkan ketrampilan sepak bola mereka sehebat sekarang. Sepak bola di kalangan Tionghoa ketika itu masih sekedar asal menendang bola dengan kemampuan seadanya. Yang terpenting adalah bagaimana mencetak gol ke gawang lain. Terlepas dari persoalan teknik atau bagaimana bermain cantik, Surabaya khususnya sepak bola Tionghoa Surabaya pernah menjadikan kota tersebut menjadi kiblat sepak bola Hindia di awal abad ke-20. Kejuaraan dengan penyelenggara CKTH (Comite Kampioenwedstrijden Tiong Hoa) yang didirikan pada 1927 dan HNVB (Hwa Nan Voetbal Bond) yang didirikan pada 1930 kerap dimenangkan oleh Tionghoa Surabaya.
Sepak bola Tionghoa, sebelum memiliki organisasi tertinggi – HNVB – ternyata telah mampu menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan pertandingan antarkota seperti perpanjangan waktu 7, 5 menit dan dilanjutkan dengan undian jika kedudukan tetap berimbang (hal.73). Permasalahan pun juga ada yaitu pemimpin yang mampu mempersatukan dan memajukan sepak bola serta sarana lapangan sepak bola. Bahkan, masalah lapangan ini sempat menjadi persoalan serius ketika lapangan sepak bola Quick di Pasar Turi akan dijadikan stasiun (hal.85). Akhirnya persoalan itu mampu teratasi setelah tempat berlatih baru didapat yaitu lapangan Cannalaan (hal.87).
Persoalan lain yang tak kalah serunya adalah perselisihan antara NIVB – Nederlandsch Indische Voetbal Bond yang telah berubah menjadi NIVU – Nederlandsch Indische Voetbal Unie dengan PSSI melalui pembatalan gentlement’s agreement pada 1938 menjelang Piala Dunia di Prancis. Pihak PSSI bersikeras bahwa wakil di Piala Dunia adalah PSSI bukan NIVU tetapi yang diakui oleh FIFA adalah NIVU yang mewakili Hindia Timur. Perselisihan ini ’dimanfaatkan’ oleh kalangan sepak bola Tionghoa di Hindia dan Tionghoa Surabaya. Akibatnya, pemain Tionghoa Surabaya dapat ikut serta dalam rombongan pemain (NIVU) ke Piala Dunia mewakili Hindia Timur (hal. 87). Pemain Tionghoa Surabaya yang ikut adalah Tan ’Bing’ Mo Heng dan Tan Hong Djien. Mereka bergabung dengan 16 pemain lainnya yang terdiri dari orang Belanda dan Bumiputra (hal.88)
Satu hal yang sepatutnya dicontoh dari perkumpulan sepak bola Tionghoa Surabaya yaitu pembinaan pemain muda. Mereka memiliki sistem pembibitan pemain muda yang lebih intensif dibanding dengan perkumpulan-perkumpulan lain. Perkumpulan juga memberikan kesempatan bermain lebih banyak kepada para pemain junior sehingga para pemain muda memiliki pengalaman, mental bertanding yang kuat (hal.90)
Sekarang, tinggal bagaimana kita menyikapi persoalan yang melilit sepak bola Indonesia. Saya membayangkan suatu hari nanti kita memiliki kesebelasan yang tangguh, terdiri dari berbagai suku di Indonesia yang memiliki semangat dan motivasi mengharumkan nama bangsa Indonesia. Semoga.
Achmad Sunjayadi
TAUTAN LUAR :
Pihak yang ingin mempublikasi ulang tulisan dalam web ini diharapkan untuk menyertakan link aktif : www.budaya-tionghoa.net , NAMA PENULIS dan link aktif yang berada didalam tulisan atau membaca lebih jauh tentang syarat dan kondisi . Mempublikasi ulang tanpa menyertakan tautan internal didalamnya termasuk tautan luar , tautan dalam , catatan kaki , referensi , video , picture , sama dengan mengurangi konten dalam tulisan ini.