Budaya-Tionghoa.Net | BAHWA Cina adalah sebuah negeri yang “besar” rupanya memang sebuah takdir. Tidak saja hamparan tanahnya yang luas dan jumlah penduduknya yang besar (lebih dari semiliar jiwa), tetapi juga memiliki impian yang sangat besar dan kemampuan mewujudkannya. Banyak fakta yang dapat dipaparkan berkaitan dengan pernyataan tersebut. Artefak yang mencengangkan, seperti The Forbiden City, Great Wall, Lapangan Tiananmen, Istana Musim Panas, dan sejumlah monumen lainnya, sekaligus merupakan fakta social (socifact) dan fakta mental (mentifact) yang tak terbantahkan yang menunjukkan kebesaran negeri dan bangsa Cina.
.
|
Pada hari ke-14 kunjungan saya ke Cina, saya berkesempatan menonton pertunjukan kelompok akrobat Du Shi Feng Qing di Gedung Shanghai Acrobatic World yang terletak di Nomor 2266, Gonghexin Road, Shanghai. Gedung berarsitektur unik dan indah dengan ruangan berkapasitas sekitar 3.000 orang itu malam tersebut hampir penuh dengan penonton domestik maupun turis asing. Suasana menjadi hangat dan penuh getaran pesona ketika babak demi babak pertunjukan-merupakan bagian dari kegiatan The Fifth China Shanghai International Art Festival-dimainkan. Saya tercengang menyaksikan performance kelompok yang telah meraih enam penghargaan internasional (antara lain China Wu Qiao International Acrobatics Festival Award, French Paris Tomorrow Acrobatics Festival Special Award, dan Monte Carlo International Acrobatics Festival Award) dengan segenap kepiawaiannya. Sebuah hiburan yang nyaris sempurna: tata gerak, tata cahaya, tata suara, berpadu dengan kelenturan, keterampilan, akurasi, dan nyali. Pendeknya, anak-anak muda yang cantik-cantik, sebagian tampan, sebagian besar berusia belasan tahun, itu menunjukkan puncak pencapaian olah tubuh, kekompakan, presisi dan akurasi, serta olah nyali. Uji nyali mereka pertontonkan dengan mengagumkan, bahkan mencerahkan (menumbuhkan kesadaran bahwa semuanya memerlukan proses rumit, keras, liat, dan panjang) bukan seperti siaran aneh penuh mistik yang cenderung membodohkan penonton seperti di televisi swasta Indonesia.
Integritas – Profesionalisme
Ya, semuanya pasti melalui proses keras, ketat, dan mempertaruhkan integritas. Para pemain akrobat itu, entah bagaimana caranya, seperti mewarisi semangat para kaisar dalam hal “menguasai” (kemampuan diri sendiri). Secara umum, apa yang tengah terjadi di kota-kota besar di Cina adalah semangat kerja yang tinggi. Pembangunan gedung, atau jalan-jalan tol, cenderung selesai lebih cepat dari target karena dikerjakan 24 jam nonstop setiap harinya (yang sering terjadi di Indonesia cenderung molor dari waktu yang telah disepakati). Hampir pada setiap ekspresi kebudayaan masyarakat Cina dapat ditemukan jejak-jejak semacam itu. Dari jalan raya hingga kesenian.
Seni pertunjukan, seni rupa, seni musik, teater, dan sastra, baik dalam tataran praksis maupun teoretis, berkembang dengan meyakinkan hingga memasuki percaturan internasional. Gedung teater/pertunjukan, museum, galeri, menara, dibangun dengan fasilitas standar. Seluruh barang dari kebutuhan rumah tangga hingga teknologi informasi, semua diproduksi dengan menunjukkan penguasaan teknologi serta target pasar yang jelas. Memang, kesemuanya itu masih bersanding dengan kebiasaan jorok sebagian anggota masyarakat, yang sesungguhnya cukup mengganggu kenyamanan. Jangan terperangah jika kita menemukan WC yang sangat kotor dan bau atau orang meludah di sembarang tempat.
Semua pencapaian itu menggambarkan watak perjuangan individu, masyarakat, dan yang pasti visi serta leadership para pemimpinnya. Kerja para pemimpin, masyarakat yang bekerja, menunjukkan etos yang tinggi, menampakkan keyakinan yang meyakinkan, dan memperhitungkan (logika) yang cemerlang. Pendidikan, kebudayaan, kesenian, teknologi-baru saja astronot ruang angkasanya kembali ke Bumi-informasi, pariwisata, dibangun dengan sangat sungguh-sungguh dan dengan skala yang besar.
Saya kira stabilitas juga menjadi kata kunci mengapa Cina sekarang dapat melakukan itu semua dengan gegap gempita. Politik? Reformasi telah bergulir di lapangan Tiananmen. Potret Mao terpampang megah di dinding tembok balkon, persis di tepi lapangan. Siang malam pengunjung berjubel. Perguruan tinggi, ruang-ruang pendidikan formal dan nonformal, terus berkutat dengan sejumlah disiplin secara sungguh-sungguh. Ketika saya berkunjung ke Academy of Arts & Design, Tsinghua University, memasuki ruang-ruang kelas dan studio, menemukan para mahasiswa bekerja hingga sore hari, mengerjakan tugas-tugas kuliah. Jangan kaget, terdapat banyak kelas yang mempelajari seni lukis tradisional Cina hingga “khatam” sebelum mereka memasuki ingar-bingar dunia seni rupa kontemporer, atau memilih jalan sebagai pelukis tradisional Cina. Jangan kaget pula, para mahasiswa desain, dengan perangkat komputer masing-masing, tetap mengolah desain-desain yang bersumber dari khazanah kesenian tradisional Cina. Itulah mengapa-jawaban sementara yang saya simpulkan-ekspresi kesenian Cina, apa pun mazhab dan zamannya, senantiasa “berwarna dan beraroma” Cina dengan kental. Modernisasi Cina pada dasarnya tetap disangga oleh tradisi mereka. Mungkin menarik melemparkan pertanyaan pada kaum mudanya, seberapa paham mereka sesungguhnya dengan kesenian dan tradisi Cina?
Semangat Turis
Mengapa Cina bisa cepat mewujudkan impian-impiannya itu? Mengutip pendapat Aa Kustia, Duta Besar Republik Indonesia di Beijing, Cina, saat bincang-bincang tidak resmi (pada acara makan malam di Wisma Duta Besar bersama para pelukis Indonesia, Yayasan Seni Rupa Indonesia, dan para (veteran) atlet tenis, 23 Oktober 2003), masyarakat Cina sudah lelah dan bosan miskin, juga lelah dan bosan bertengkar antara kelompok yang berbeda kepentingan. Para pemimpinnya berhasil menanamkan semangat dan keyakinan pada rakyatnya untuk bekerja keras, silakan (boleh) kaya, jujur, bersih, menegakkan hukum secara konsekuen, dan menanamkan kebanggaan sebagai bangsa Cina.
Apa yang saya saksikan di Tiananmen, Great Wall, Forbiden City, Ming Tombs (makam keluarga Dinasti Ming), Istana Musim Panas, tentang Biennale Internasional Seni Rupa Beijing 2003, tentang para pemain akrobat, tentang Shanghai Art Museum, tentang menara (radio dan televisi) Shanghai Oriental Pearl yang berdiri menjulang setinggi 468 meter di atas area 10 ribu meter persegi di wilayah Pudong (baca: Butong) di tepi Sungai Huangpu, pastilah hanya karena mimpi, nyali, dan kesungguhan mewujudkannya. Di wilayah-wilayah itu, tiap hari selalu padat dengan wisatawan domestik maupun mancanegara. Mereka rela antre untuk membeli tiket guna menyaksikan dan merasakan jejak ethos, pathos, dan logos sebuah masyarakat, juga sebuah bangsa.
Investasi-dalam pengertiannya yang luas-meliputi ekonomi, politik, sosial, dan budaya, terus dilakukan oleh para pemimpin Cina. Bersamaan dengan itu, kini Cina telah mulai memetik buahnya: kredibilitas semakin mantap, hampir semua negara merasa sangat berkepentingan dengan Cina.
Bersamaan dengan itu, sambil menikmati panorama Shanghai di waktu malam dari dua pertiga ketinggian menara Shanghai Oriental Pearl yang spektakuler, dengan udara dingin yang semakin menggigit, terbayang jelas wajah Kota Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Surabaya, Padang, Denpasar, Medan, Makassar, Balikpapan, Manokwari, dan sebagainya yang tak kunjung jelas (wajah dan karakternya). Terbayang jelas ruang publik seperti Galeri Nasional Indonesia Jakarta, Museum Nasional, dan Taman Budaya yang kumuh dan miskin. Terbayang jelas pula wajah para pemimpin saya (yang sibuk juga sebenarnya¡K), para anggota DPR yang sibuk dan ngotot membela kepentingan kelompoknya, dan seterusnya. Begitu terjaga, saya mengumpat diri saya sendiri: dasar turis, sok, mudah terpesona, mudah kaget, dan mudah kepingin. Sudahlah! Nikmati sajalah! Twe, twe, twe! La-la-la¡K!
****
Suwarno Wisetrotomo Dosen Fakultas Seni Rupa & Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, menulis dari Shanghai, Cina
Budaya-Tionghoa.Net |
SUMBER :
Arsip Milist Budaya Tionghoa
Pihak yang ingin mempublikasi ulang tulisan dalam web ini diharapkan untuk menyertakan link aktif : www.budaya-tionghoa.net , NAMA PENULIS dan LINK aktif yang berada didalam tulisan atau membaca lebih jauh tentang syarat dan kondisi . Mempublikasi ulang tanpa menyertakan tautan internal didalamnya termasuk tautan luar , tautan dalam , catatan kaki , referensi , video , picture , sama dengan mengurangi konten dalam tulisan ini.