Budaya-Tionghoa.Net| Bagi orang yang berkecimpung di dalam dunia jurnalistik, terutama dalam beberapa zaman sebelum diwujudkannya Orde Baru (1966-1998), nama Tan Hwie Kiat bukanlah sesuatu yang asing.
|
Tan Hwie Kiat — meninggal secara mendadak di hadapan isteri dan anaknya tercinta pada tanggal 22 Agustus yang baru lalu di negeri Belanda – memainkan beberapa peranan penting di dalam pengembangan dunia jurnalistik di tanah airnya. Dan peranannya bernuansa politik dan erat berkaitan dengan upaya luhur – perwujudan nasion Indonesia yang ber Bhineka Tunggal Ika.
Tan termasuk salah seorang “anak didik” Siauw Giok Tjhan yang setia dan penuh integritas. Ia bertemu dengan Siauw di kota Malang sebagai seorang pemuda pada awal kemerdekaan Indonesia. Hubungan pribadi dekat ini kemudian mendorongnya untuk terjun di dalam dunia jurnalistik.
Ketika Siauw Giok Tjhan pindah ke Jakarta pada tahun 1950 dan mendirikan yayasan Persatuan yang mengelola beberapa publikasi berkala, Tan dan Njoto adalah orang orang pertama yang membantunya. Bahkan mereka berdua bukan saja bekerja di kantor percetakan Persatuan yang terletak di daerah Kota – Jakarta, tetapi bersama keluarga Siauw juga tinggal kantor tersebut – Malamnya tidur di atas meja meja kerja mereka.
Dari tahun 1950 hingga 1953 Siauw Giok Tjhan memimpin majalah mingguan yang ia namakan Sunday Courier. Tan menjadi salah seorang jurnalis utama di Sunday Courier yang ia ingat sebagai majalah mingguan yang menyebar luaskan pandangan-pandangan politik yang mendorong komunitas Tionghoa untuk menerima Indonesia sebagai tanah airnya. Tan sering bercerita bahwa walaupun Sunday Courier penuh dengan artikel-artikel politik yang “berat”, tetapi di awal penerbitannya, ia lebih populer daripada Star Weekly. Sayangnya, ingat Tan, Siauw terlalu kaku dalam menghempas cerita-cerita yang dianggapnya tidak berbobot sehingga pada akhirnya Star Weekly lebih disukai oleh para pembaca.
Oleh Siauw, Tan ditugasi memantau perkembangan politik nasional. Ruang lingkup jurnalistik ini lebih bersifat nasional ketika Siauw menerbitkan majalah mingguan Suara Rakyat pada tahun 1951, yang kemudian pada tahun yang sama diubah menjadi harian yang dinamakan Harian Rakyat. Njoto yang kemudian menjadi tokoh PKI, bersama Tan sangat berperan di dalam pengembangan Harian Rakyat. Kehadiran Njoto di sana ternyata mendorong pengambil alihan Harian Rakyat oleh PKI. Sejak tahun 1952, Harian Rakyat resmi dikelola oleh PKI.
Ketika Siauw dan kawan-kawan mendirikan Baperki – Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia pada tahun 1954, Tan segera terjun dan aktif membantu perkembangannya, terutama di dalam bidang informasi dan penerangan. Bersama Oey Hong Lee almarhum, Tan juga memainkan peranan penting dalam Harian Republik, terompet Baperki yang terbit dari tahun 1957 hingga tahun 1960.
Dekatnya Tan dengan Siauw memungkinkannya bertemu dengan banyak tokoh nasional – terutama mereka yang menjadi anggota parlemen. Dan ini memperluas ruang lingkup Tan yang dengan cepat berkembang sebagai seorang jurnalis senior yang dihormati dan disegani, baik oleh para politikus maupun para jurnalis lainnya. Ia diterima sebagai teman seperjuangan dan ke Tionghoaannya tidak dimasalahkan. Attributes inilah yang menyebabkan Tan diturut sertakan di dalam Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sebagai salah seorang pemimpinnya.
Ketika Harian Republik ditutup oleh pemerintah – atas desakan pihak militer karena menerbitkan sebuah artikel yang menyimak peristiwa Madiun – Baperki memutuskan untuk tidak menerbitkan sebuah harian atau majalah berkala yang khusus menyuarakan aspirasi Baperki.
Dalam hal ini Siauw berpendapat bahwa Baperki akan memperoleh dukungan lebih luas bilamana para kader seniornya aktif memimpin berbagai surat kabar dan majalah berkala yang bernuansa nasional. Kebijakan inilah yang mendorong Tan aktif dan menjadi salah seorang pemimpin senior di harian Warta Bhakti hingga ia ditutup oleh rezim Soeharto. Sejarah mencatat bahwa kehadiran Tan sebagai pemimpin di surat kabar ini memungkinkan berbagai kebijakan dan garis Baperki disebar luaskan dan secara langsung membantu upaya perwujudan proses Integrasi Wajar yang di era modern ini lebih dikenal sebagai proses Multi-Culturalism.
Peristiwa G-30-S pada tahun 1965 mengubah kehidupan politik di Indonesia. Dan ini berdampak pula untuk Tan dan keluarganya. Tan terpaksa hidup di luar negeri sebagai seorang pelarian politik dan baru kembali ke tanah air yang dicintainya sebagai pengunjung dan sebagai seorang yang berstatus asing berpuluhan tahun kemudian.
Akan tetapi ia tetap mengikuti perkembangan di tanah air dengan penuh optimisme dan tidak pernah menanggalkan jiwa perjuangannya. Sejarah akan mencatat bahwa Tan Hwie Kiat berperan dalam mengembangkan jurnalisme di Indonesia – sebuah bagian sejarah yang sangat penting.
Kepergiannya secara mendadak tentunya sulit untuk diterima oleh kita semua. Akan tetapi kita akan mengenangnya sebagai seorang pejuang yang turut berperan di dalam sejarah Indonesia dan pejuang berintegritas tinggi.
Selamat jalan Tan Hwie Kiat!!
Arsip Mailing List Budaya Tionghoa no 6219 : Diposkan oleh HKSIS
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghoa 6219