Budaya-Tionghoa.Net| Di bawah ini adalah naskah ceramah almarhum Siauw Giok Tjhan di Seminar P.P.I. di Negeri Belanda pada bulan September 1981. Siauw Giok Tjhan, yang pernah ditahan selama 13 tahun oleh rejim Soeharto tanpa proses pengadilan, adalah seorang tokoh pejuang kemerdekaan nasional Indonesia sejak awal tahun 1930-an. Dedikasinya kepada perjuangan rakyat, kepada kesatuan dan persatuan nasional bangsa Indonesia, diwarnai oleh integritas moral dan politik. Siauw pernah jadi menteri R.I. yang bertugas mengumpulkan ‘funds and forces’ pada tahun-tahun pertama Republik proklamasi, pernah jadi anggota DPRGR, MPRS dan DPA. Almarhum adalah pemimpin Baperki, pendiri Universitas Res Republica. Ceramah ini diberikan beberapa bulan sebelum Siauw meninggal dunia di Negeri Belanda.
|
MENUJU INDONESIA YANG BAIK DENGAN TER-REALISASI-NYA ‘BHINEKA TUNGGAL IKA’
Oleh: Siauw Giok Tjhan
PENDAHULUAN
Ketika Utusan Presidium Perhimpunan Pelajar Indonesia (P.P.I.) di Belanda menghubungi saya untuk memberi ceramah pada Seminar ini, Seminar yang bertema ‘Menuju Indonesia Yang Baik’, implikasi sosial ekonomi bangsa terhadap kedudukan minoritas, saya telah menyanggupi untuk menceritakan pengalaman saya. Pengalaman seorang yang pernah mengenal dari dekat berbagai tokoh perintis pejuang kemerdekaan dan setelah proklamasi kemerdekaan diikut sertakan untuk mewujudkan cita2 yang telah ditetapkan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Dan sekarang generasi muda, calon2 pemimpin Indonesia harus bisa melanjutkan perjuangan generasi tua yang belum selesai itu, untuk menjadikan Indonesia sebagai negara anggota masyarakat dunia yang baik.
Kalau menurut cita2 saya sendiri, kwalifikasi ‘yang baik’ seharusnya ditingkatkan menjadi ‘yang dibanggakan’. Dibanggakan sebagai sumbangannya pada umat manusia didunia dalam mewujudkan masyarakat yang bersih dari penindasan dan penghisapan, mewujudkanmasyarakat yang adil dan makmur. Sebagaimana rumusan tegas dari tekad Rakyat Indonesia yang ditetapkan dalam ‘Pembukaan’ UUD 1945, yaitu: ‘…….. ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…….’ Dalam hubungan dengan pernyataan itu, baik juga dikemukakan pengalaman saya sebagai salah seorang anggota utusan RI pada permulaan tahun 1947 ke Inter Asian Conference pertama di New Delhi-India.
Tindakan Rakyat Indonesia untuk memprokla-masikan kemerdekaan nasional-nya dengan disertai pernyataan tersebut, ternyata benar2 dikagumi oleh utusan2 Rakyat2 berbagai negeri Asia yang hadir dalam musyawarah itu. Setiap kali delegasi Indonesia memasuki ruang sidang, memperoleh sambutan yang luar biasa hangatnya. Sehingga menimbulkan rasa bangga pada setiap anggota delegasi RI. Karena Rakyat Indonesia dianggap sebagai pelopor di Asia untuk memproklamasikan Kemerdekaan dan dengan kesanggupannya membantu Rakyat2 negara lain untuk membebaskan diri dari penindasan kolonialisme, mencapai perdamaian abadi yang bersih dari nafsu saling tindas menindas dengan melaksanakan keadilan sosial merata didunia. Peristiwa yang membanggakan ini, tentu harus disertai dengan tantangan untuk mempertahankan penghargaan yang telah diperolehnya itu. Selanjutnya, Presidium P.P.I di Belanda dalam suratnya menyatakan, supaya saya bisa membahas kedudukan minoritas umumnya dan suku Tionghoa khususnya dalam masyarakat Indonesia di jaman pemerintah Soekarno dan di jaman pemerintah Soeharto sekarang ini. Kalau menurut surat itu, pembahasan hendaknya menjawab problem2 sebagai berikut:
- Apakah perbedaan gerak ekonomi dari suku Tionghoa dalam jaman Soekarno dan jaman Soeharto? Apakah ada pengaruh dari kapitalisme?
- Bagaimana kedudukan suku Tionghoa yang ekonomi lemah dalam kedua jaman tersebut?
- Bagaimana sebaiknya pemecahan masalah tersebut dilihat dari segi formal, konstitusi dan hukum?
Membaca surat tersebut, saya menjadi gembira. Gembira, karena salah satu hasil perjuangan Badan Permusyawaratan Kewarga-Negaraan Indonesia, yang lebih dikenal sebagai BAPERKI, ternyata diakui dan dikokohkan. Baik dikemukan, bahwa istilah ‘SUKU’ bagi peranakan Tionghoa untuk pertama kali digunakan oleh Presiden Soekarno, dalam pidato sambutannya pada pembukaan Kongres BAPERKI di Jakarta, tanggal 13 Maret 1963. Bung Karno sebagai Presiden RI per-tama, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia dan diakui sebagai Penggali Pancasila, tentu adalah orang yang paling competent untuk memberi penjelasan kedudukan golongan peranakan Tionghoa di Indonesia sebagai salah satu SUKU dari banyak SUKU yang hidup di Indonesia. Golongan peranakan Tionghoa sebagai salah satu SUKU dari masyarakat Indonesia, merupakan satu kesatuan tubuh masyarakat Indonesia yang tidak bisa dipisahkan.
Sebagai salah satu SUKU, peranakan Tionghoa wajibdiperlakukan sama sebagaimana suku2 lainnya yang ada di Indonesia. Dengan sikap inilah Bung Karno menegaskan: bahwa yang terpenting adalah mengerahkan seluruh kemampuan suku2 untuk mempercepat pembangunan masyarakat adil dan makmur, yang secara merata dengan memperkokoh perasaan diperlakukan sama antara semua warganegara Indonesia. Ganti nama dan kawin campuran yang sekarang dikatakan kawin silang adalah masalah pribadi masing2 orang berdasarkan kemauan dan keinginan pribadi masing2. Pemerintah tidak seharusnya ikut campur dalam masalah pribadi ini.
Sengaja penjelasan Presiden Soekarno ini dikemukakan dalam pendahulan, karena penjelasan itu dijadikan landasan pendirian2 sebagai berikut:
- Masalah minority ethnik adalah masalah nasional dan oleh karenanya tidak bisa diselesaikan oleh golongan minority bersangkutan secara tersendiri.
- Untuk mencapai penyelesaian bijaksana, baik dan efektif bagi persoalan minority ethnik perlu pengerahan kemampuan untuk mewujudkan kemakmuran dan keadilan merata dengan terbentuknya imbangan kekuatan2 politik nasional yang sanggup merealisasi kedaulatan ditangan Rakyat secara effektif dengan selalu mendahulukan kepentingan Rakyat secara keseluruhan diatas kepentingan golongan atau pribadi yang manapun juga.
- Karena didalam pengalaman sering terbukti, bahwa masalah minority ethnik dapat digunakan sebagai ‘dongkrak’ untuk menimbulkan persoalan2 yang merugikan kepentingan nasional, maka perlu adanya usaha2 untuk menciptakan iklim internanasional, sebagai faktor ekstern, yang favourable bagi penyelesaian masalah minority ethnik, terutama timbulnya iklim politik internasional yang menguntungkan dipertegak-kokohkan hak2 azasi manusia dan pelaksanaannya secara effektif.
Dengan landasan pendirian demikian inilah, saya akan mencoba membahas apa yang diminta oleh Presidium PPI sebagaimana suratnya yang dikutip diatas, walaupun dengan urutan persoalan yang mungkin bisa menyimpang.
Catatan Admin : Tulisan ini terdiri dari 10 bagian
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghoa 2346