Politik Identitas dalam Potret Sastra Kontemporer
Sangat sukar untuk tidak mengatakan bahwa dalam tiga dekade terakhir, sastra Tionghoa telah mati tenggelam. Ibarat “fosil tua”, sastra ini hanya meninggalkan jejak-jejak yang kini mencoba dirunut kembali, meski semuanya memang tak seutuh dulu. Bahkan, kalau pun penilaian ini tidak benar, boleh dikatakan bahwa sastra Tionghoa cuma menempati posisi “subkultur”, yang keberadaannya setara dengan genre sastra lokal, yang kini sedang merevitalisasi-diri.
Apalagi, pada zaman Orba, dengan struktur politik yang mencengkeram, masyarakat Tionghoa sendiri mendapat perlakuan minor dan diskriminasi yang sengit. Ini tentu menyulitkan lahirnya kepedulian pada khazanah sastra mereka yang kaya. Dikenangnya kembali literatur sastra Tionghoa akhir-akhir ini menandai perlunya suatu rekonstruksi atas segala hal yang berhubungan dengan sejarah masa lalu mereka, sehingga semuanya tak gampang hilang tanpa bekas. Untuk melakukannya, kita tentu tak dapat mengabaikan apa yang direpresentasikan oleh teks-teks sastra kontemporer dewasa ini, dalam penggambarannya terhadap sejarah pergumulan masyarakat Tionghoa.
Tentang hal ini, saya merasakan bahwa ada sejumlah novel yang punya daya cerita yang kuat, yang dikarang oleh sastrawan-sastrawan pribumi sendiri. Seorang skilled-writer yang layak disebut tentu saja adalah Pramoedya Ananta Toer. Dalam roman sejarahnya, Hoakiau di Indonesia, yang terbit dan segera menjadi bacaan kontroversial yang memukau itu, Pram menceritakan berbagai penderitaan yang menimpa minoritas Tionghoa, dan juga peran mereka dalam proses asimilasi budaya dengan penduduk setempat. Ada sekian perlakuan tak wajar yang memang seolah menjadi “kodrat” yang harus mereka terima sebagai kenyataan sejarah. Isu-isu rasialisme, misalnya, adalah salah satu fakta pahit yang selalu merebak dan tentu melibatkan, dalam batas-batas tertentu, politisasi “identitas”, di mana kaum pribumi merasa perlu memisahkan-diri dari masyarakat Tionghoa, atau bahkan membuat jarak dengan adat-istiadat yang dianggap asing oleh kultur lokal. Kadangkala hal ini berujung pada pengerahan kekerasan fisik dan upaya pembasmian etnik (ethno-genocide).
Pram mengerti betul, bahwa dengan menghadirkan kenyataan di atas, seseorang tak akan mudah melupakan apa yang telah terjadi di masa lalu. Dalam kapasitasnya yang penuh beban identitas semacam ini, teks-teks sastra tak ayal menjadi sasaran tuduhan, prasangka, dan sarkasme, sehingga ia dicap subversif dan menghasut.
Namun, pada saat yang lain, dalam tetralogi Buru-nya, Pram menuliskan karakter tokoh-tokoh berkebangsaan Tionghoa secara simpatik. Ia dengan gayanya yang khas memang mengkritik dan menentang mentalitas feodal yang dipertunjukkan tokoh-tokoh beretnik Jawa, tapi ini tidak dilakukannya terhadap orang-orang Tionghoa. Mungkin yang teristimewa bagi Pram adalah karakter masyarakat Tionghoa yang terbuka, egaliter, dan responsif terhadap dunia pergerakan. Dalam karya-karyanya, memang terbaca kebencian Pram pada kultur aristokratis yang dipertontonkan para ambtenaar dan kaum priyayi Jawa. Novelnya, Arok-Dedes, adalah suatu tipikal ekspresi Pram terhadap kehidupan dan weltanschauung (alam pikiran) Jawa yang sarat dengan mitologi kekuasaan dan kekerasan. Pram tampaknya lebih menyukai sifat-sifat orang Tionghoa yang santun tapi berkemauan keras dibanding watak orang Jawa yang senang berbasa-basi tapi ambisius dan licik._(6)
Dalam konteks politik identitas, perbedaan tindak-tanduk dan pembawaan watak, seperti tersirat jelas di tangan Pramoedya, antara masyarakat Tionghoa dengan kelompok-kelompok lainnya harus jeli dibaca sebagai perspektif sastra Indonesia modern mengamati bentuk-bentuk pergesekan yang terjadi pada lingkup sosial-budaya yang lebih luas. Selama ini, harus diakui, Pram merupakan satu-satunya sastrawan yang berhasil mengangkat imaji identitas ke-Tionghoa-an dalam kualitas cerita yang kental dan pekat dengan intrik-intrik politis yang mencengangkan. Dan kenyataannya, imaji itu berhasil direpresentasikannya sesuai fakta dan realitas sejarah yang terjadi di masa lampau. Representasi Pram, dalam konteks ini, menjadikan fakta sebagai inspirasi bagi terciptanya fiksi yang benar-benar “menyejarah”._(7)
Karya sastra lainnya yang cukup berharga adalah novel Remy Sylado, Ca-bau-kan_(8), yang terbit baru-baru ini. Novel sejarah yang mengambil background periode penjajahan kolonial ini dengan baik menggambarkan peran sebagian masyarakat Tionghoa dalam proses perjuangan dan pergerakan mencapai kemerdekaan. Cuma, yang segera terbetik dalam benak saya, bukanlah alur cerita yang luar biasa cerdas, tetapi justru “pendekatan” Remy yang berusaha meneropong bagaimana dua identitas pribumi dan non-pri saling bermain dan mengisi, tanpa ada kecemasan dan kecemburuan memandang identitasnya masing-masing.
Dalam novel ini, politik identitas menjadi sebuah keniscayaan, yang diwujudkan dalam adegan percintaan antara Tan Peng Liang dan Tinung alias Siti Nurhayati. Di sini, yang nampak bukanlah identitas yang eksklusif, tapi, sebaliknya, sebuah keterbukaan untuk menghargai perbedaan dan membuang jauh-jauh segala prasangka. Justru, di sisi lain, politik identitas terjadi secara ekstrem di tengah-tengah kaum Tionghoa sendiri. Alasan yang melatarbelakanginya adalah persaingan bisnis dan prestise, sehingga lahirlah pelbagai macam pertentangan, konflik, dan upaya menjatuhkan reputasi. Hal inilah yang melekat dalam perwatakan pejabat Kong Koan atau Raad van Chinezen: Oey Eng Goan, Thio Boen Hiap, Mr. Liem Kiem Jang, Lie Kok Pien.
Tetapi, ada satu kesamaan yang mencolok dalam novel ini, dan juga karya-karya sastra lain yang menceritakan kehidupan orang Tionghoa_(9), yaitu kenyataan bahwa kaum perempuan selalu terkurung dalam ketertindasan dan nasib yang malang. Pertanyaannya sekarang: apakah ini mencerminkan bahwa politik identitas juga berlangsung pada wilayah gender? Saya khawatir, jangan-jangan sedang terjadi marjinalisasi besar-besaran terhadap perempuan, sehingga samar-samar identitas “keperempuanan” pun dibunuh dan dicampakkan, tanpa sepenuhnya kita sadari-silent victimization.***
Catatan Kaki:
- Termuat dalam Marcus AS-Pax Benedanto (peny.), Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan, Jilid II, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, cet I 2001), 157-255.
- Benedict Anderson, “Politik Kamus (Bukannja Camus Lho!)”, TEMPO (11-17 Maret 2002: 48-9).
- Dede Oetomo, “Soal Melaju dan Omong Melaju (Merondai Sang Siluman Sesudah 400 Tahun…)”, TEMPO (25-31 Maret 2002: 100-1).
- Faktor kelisanan tidak hanya menjadi ciri-ciri sastra Tionghoa, tetapi juga sastra Indonesia pada awal perkembangannya. Secara umum lihat, Will Derks, “Pengarang Indonesia sebagai Tukang Sastra”, Jurnal Kebudayaan Kalam 11, (1998), 90-100.
- P. Swantoro, Dari Buku ke Buku: Sambung-Menyambung Menjadi Satu, (Jakarta, Kepustakaan Populer Gramedia, Cet I 2002) 39-56.
- Benedict R.O’G. Anderson, “Sembah-Sumpah: Politik Bahasa dan Kebudayaan Jawa”, dalam Yudi Latif-Idi Subandy Ibrahim (eds.), Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru, (Bandung: Mizan, cet II 1996), 265-317.
- Tentang teori dan konsep representasi dalam sastra, lihat, Ignas Kleden, “Fakta dan Fiksi tentang Fakta dan Fiksi: Imajinasi dalam Sastra dan Ilmu Sosial”, Jurnal Kebudayaan Kalam 11, (1998), 5-35. Bandingkan, Ihsan Ali-Fauzi, “Fiksi dan Sejarah dalam Karya Pramoedya”, Kompas, (1 Maret 2002: 37).
- Remy Sylado, Ca-bau-kan (Hanya Sebuah Dosa), (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, cet IV 2001).
- Yang terbaru misalnya kumpulan cerpen Veven Sp. Wardhana, Panggil Aku Pheng Hwa (KPG 2002), yang mengisahkan penderitaan warga negara minoritas Tionghoa (waniktio) pada saat kekisruhan sosial-politik Mei 1998. Dan di sini lagi-lagi perempuan yang menjadi korban.
(*Muhammad Al-Fayyadl, pemerhati sastra, menulis kritik sastra alumnus Ponpes Nurul Jadid Probolinggo, sementara tinggal di Madura).
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghoa 2415