Budaya-Tionghoa.Net | Saya pun sangat setuju dengan hindari sikap ekstrimist ini, seharusnya begitulah semua kita yang hidup didunia ini, agar dunia bisa dipertahankan dalam suasana damai-damai dan tentram, tidak terjadi gontok-gontokan, kerusuhan dan bahkan perang berdarah yang menimbulkan banyak korban jiwa itu. Tapi, kita hidup dalam kenyataan yang selalu menghadapi ada saja segelintir orang yang bersikap ekstrimist, baik kelewatan kiri maupun kelewatan kanan. Dan celakanya, seringkali yang bersikap ekstrimist itu berkedudukan tinggi, sehingga berkemampuan untuk merekayasa dan mengorganisasi sekelompok manusia bergerak melaksanakan tujuan politiknya. Kenyataan inilah yang harus kita akui adanya, yang harus kita hadapi dan harus kita lawan, untuk menghindari jatuhnya korban atau sedapat mungkin memperkecil jatuhnya korban.
|
Sekali lagi saya menegaskan pendapat semula yang pernah saya ajukan sebelumnya, sebenarnya saja, kalau dilihat dari kesenangan pribadi orang-perorang, biarkanlah dia lebih suka menyanyikan lagu apa saja. Baik lagu barat, laku Tionghua, lagu Jawa, keroncong maupun klasik opera, terserah. Itu adalah masalah pribadi seseorang yang tidak bisa dilarang, kita seharusnya memberikan kebebasan selama tidak mengganggu orang lain ketika dia bernyanyi. Lalu, kalau dia mau maju menyanyi dalam satu acara, tentu seharusnya tunduk pada pengaturan panitia acara, sesuai dengan acara diselenggarakan dalam rangka apa, seharusnya lebih baik menyanyikan lagu apa, dong. Nah, dalam hal ini harus ada toleransi dari kedua belah pihak, pribadi orang yang suka nyanyi dan panitia penyelengara acara. Hendaknya kedua belah pihak tidak bersikap ekstrimist, dan acara bisa dilangsungkan dengan lancar, sehinga semua pihak bergembira-ria. Inilah harapan terbaik.
Ada betulnya juga yang mengatakan, seandainya acara itu untuk memperingati ulang tahun-Sekolah Tionghua kenapa tidak boleh hanya menyanyikan lagu-lagu Tionghua? Sebagaimana juga orang Jawa, orang Batak, orang Maluku ketika merayakan hari besar-nya, hanya menyanyikan lagu-lagu Jawa, Batak dan Maluku. Dan dengan hanya mengajukan acara ke-sukuan demikian ini tidak berarti mereka melupakan kebudayaan nasional-nya, karena acara memang sedang merayakan ke-suku-annya. Tidak salah! Seharusnya itulah terjadi didalam kehidupan masyarakat yang harmonis, dimana benar-benar semboyan Bhineka Tunggal Ika sudah menjadi kenyataan, diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia. Tapi kita masih menghadapi satu kenyataan pahit, dimana tetap saja ada segelintir yang dinamakan “pribumi” baik dikalangan massa maupun dan terutama pejabat-tinggi pemerintah itu berpandangan rasialis, yang dengki, benci bahkan selalu berusaha menyingkirkan yang etnis Tionghoa ini. Oleh karenanya, akan lebih baik dan bijaksana kalau kita yang etnis Tionghua ini lebih bersikap hati-hati dan mawas diri. Dalam posisi dipihak minoritas yang lemah, tidak seharusnya mengambil sikap menantang dan melawan yang akan merugikan diri sendiri bahkan etnis Tionghoa secara keseluruhan. Jadi, saya juga perpendapat, bagi etnis Tionghoa Indonesia, pada saat menyelengarakan acara-terbuka akan lebih baik dan bijaksana dalam menyusun acara bisa 70% kebudayaan nasional dan tidak lebih 30% acara budaya Tionghua. Jangan terbalik, apalagi menjadi 100% hanya budaya Tionghoa saja yang dipentaskan. Hanya dengan demikian, disatu pihak, kita tetap boleh mempertahankan budaya Tionghoa, budaya leluhur kita yang dianggap baik dan mau diteruskan, dipihak lain kita tidak memberi kesempatan pada pihak ekstrimist yang dinamakan “pribumi” itu untuk menyerang dan menuduh kita eksklusif, yang hanya mempertahankan budaya leluhur itu.
Begitu juga mengenai masalah membuka kembali sekolah-sekolah Tionghua seperti dijaman sebelum tahun 65 itu, menurut saya salah dan tidak seharusnya ada pikiran demikian. Pertama, sekolah-sekolah Tionghua pada waktu itu benar-benar dibuka hanya untuk yang ber-Warganegara Tiongkok, artinya status warganegara asing, Tiongkok. Kedua, mengingat mayoritas mutlak Tionghua-Indonesia sudah menjadi warganegara Indonesia, sudah seharusnya anak-anaknya masuk sekolah yang ada di Indonesia, dan tidak menuntut atau mendirikan sekolah tersendiri yang khusus untuk etnis Tionghua. Hanya karena masih rendahnya sistim pendidikan di Indonesia, kurangnya ruang klas dan guru-guru yang baik, dari etnis Tionghua boleh dan bisa saja mengulurkan tangan memberi bantuan dibidang pendidikan, termasuk mendirikan sekolah-sekolah. Tapi jangan khusus untuk etnis Tionghua, apalagi dengan kurikulum bahasa Tionghua sebagai bahasa pengantarnya. Bahasa Tionghua di sekolah-sekolah bisa saja dijadikan salah mata-pelajaran disekolah itu, sebagaimana bahasa Inggris, Jerman atau bahasa asing lainnya.
Saya kebetulan di-tv HongKong melihat diperkenalkan seorang etnis Tionghua Indonesia yang sekolah di Singapure dan kembali di Jakarta mendirikan taman kanak-kanak dengan pengantar bahasa Tionghua. Anak-anak etnis Tionghua di taman kanak-kanak itu berkumpul bermain dengan mengucapkan bahasa Tionghua, orang-tua mereka yang masih keras berkeinginan anak-anaknya bisa berbahasa Tionghua mungkin merasa senang, tujuannya bisa tercapai. Tapi, saya rasa dengan cara demikian mereka mendidik anak-anak hidup menyendiri dan akan menghadapi kesulitan besarnya untuk menyatu dengan yang mayoritas yang dinamakan “pribumi” itu. Bahasa pasti lebih mudah dipelajari daripada si anak besarnya harus merubah kebiasaan pergaulan didalam masyarakat yang jauh berbeda.
Bahasa Tionghua boleh saja diajarkan dirumah saja, ketika si bayi belajar ngomong gunakanlah bahasa Tionghua, misalnya. Sebagaimana juga yang Jawa dan Minang, orang tuanya dirumah bisa saja ngajak ngomong anak-anaknya dengan bahasa Jawa atau Minang. Atau, bahkan setelah di SMP atau SMA (kalau bisa bahasa Tionghua dijadikan satu mata pelajaran) belajar bahasa Tionghua sebagai satu bahasa asing tambahan juga tidak terlambat. Seperti saya bertemu dengan anak seorang teman yang masuk Univ. Beijing baru setahun labih. Wah, bahasa Tionghua yang diucapkan jauh lebih pas (standar logat Beijing) dari saya yang terbawa logat Indonesia-nya ini. Kalau sejak kanak-kanak sehari-harinya sudah hidup terbiasa didalam lingkungan sangat sempit, saya kuatir, setelah besar akan ada kesulitan terjun didalam masyarakat yang beraneka-ragam dan lain sama sekali. Mudah-mudahan saja tidak, ya. Setiap anak dan setiap orang bisa menyesuaikan diri dengan perubahan keadaan, kan.
Nah, sementara ini saja tambahan pendapat saya. Mudah-mudahan bisa dimengerti dengan baik.
CHAN CT
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghoa 8239
Pihak yang ingin mempublikasi ulang tulisan dalam web ini diharapkan untuk menyertakan link aktif : www.budaya-tionghoa.net , NAMA PENULIS dan LINK aktif yang berada didalam tulisan atau membaca lebih jauh tentang syarat dan kondisi . Mempublikasi ulang tanpa menyertakan tautan internal didalamnya termasuk tautan luar , tautan dalam , catatan kaki , referensi , video , picture , sama dengan mengurangi konten dalam tulisan ini.