Photo Credit :
Lukisan Yugong Yishan ,
Xu Beihong [1895 -1953]
Budaya-Tionghoa.Net|Zaman dahulu kala, di sebuah dusun hidup seorang kakek yang oleh penduduk setempat dikenal dengan sebutan Yugong atau Kakek Dungu. Ia tinggal di Huabei Tiongkok Utara, karena itu ia biasa disebut juga Huabei Yugong atau Kakek Dungu dari Huabei.
|
Ia tinggal di sebuah dusun, rumahnya menghadap selatan. Di depan rumah menghalang dua buah gunung yang tinggi yang bernama Taihang Shan (Gunung Taihang) dan Wangwu Shan (Gunung Wangwu). Kedua gunung itu menghalangi jalan dari dusun ke kota, sehingga penduduk dusun yang mau ke kota untuk berbelanja kebutuhannya, dan menjual hasil buminya, harus mendaki gunung itu dan kemudian menuruninya lagi. Setiap kali mereka pergi ke kota dan pulang ke kota, jalan yang sulit dan melelahkan tersebut mau tak mau harus di tempuh.
Kakek Dungu mempunyai maksud mengajak anak cucunya menggunakan cangkul untuk menggali gunung itu dan memindahkannya. Kalau kedua gunung itu sudah tiada, bukan saja keluarganya, tapi semua pnduduk dusun, bahkan penduduk dusun lain akan mudah pergi dan kembali dari kota. Segera ia mengumpulkan mereka dan membicarakan maksudnya yang ternyata mendapat dukungan yang antusias.
Mereka mulai bekerja, cangkul dan sekop tak pernah berhenti, tanah mulai diangkut dan dipindahkan. Berita ini telah tersiar luas, banyak penduduk datang ramai-ramai membantunya. Konon ada lagi seorang kakek yang terkenal karena pintarnya, orang-orang menyebutnya Zhisou atau Kakek Pintar. Kakek pintar tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar berita Kakak Dungu ini. Ia datang mengunjungi dan mencari Yugong . Ia berkata: “Kalian benar-benar tidak pakai otak, dengan mengandalkan tenaga beberapa puluh orang, bagaimana bisa memindahkan gunung sebesar itu? Sudahlah, jangan mengerjakan hal yang tidak mungkin dikerjakan, hanya membuang waktu dan tenaga. Andapun sudah tua, bagaimana mampu memindahkan gunung ini, berapa lama lagi umur anda?”
Yugong menjawab: “Gunung ini tinggi dan besar, itu benar. Tenaga kami juga terbatas, itu juga benar. Tapi digali sedikit, gunung ini berkurang sedikit. Kalau digali terus, gunung ini hanya akan berkurang tingginya dan tidak akan bertambah, sedang kami terus bekerja. Bila saya mati, masih ada anak saya, bila anak saya mati, masih ada cucu. Turun temurun tak akan habis, makin lama makin banyak. Mana mungkin gunung ini tak akan habis”, katanya sambil terus mencangkul kembali. Zhisou hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. “Dasar Kakek Dungu!¨ ia menggumam dan pulang. Pekerjaan raksasa ini bukan saja mengharukan penduduk dusun itu, bahkan banyak penduduk dusun lain datang membantu dengan suka rela. Thni Kong terharu mendengarnya, Ia memerintahkan dua orang dewa untuk memindahkan kedua gunung itu ke tempat lain.
Komentar
Cerita ini adalah cerita yang sangat sederhana, tapi telah berumur sangat tua. Tidak ada yang tahu mulai zaman apa cerita ini beredar, dan tidak ada yang tahu siapa yang mengarangnya. Dari zaman ke zaman, dari mulut ke mulut, ia beredar terus. Pada masa modern ini cerita ini sering dibukukan, buku bacaan untuk anak-anak, atau buku bergambar, juga sering muncul sebagai bacaan dalam buku pelajaran sekolah dasar. Hampir semua orang yang pernah belajar bahasa Tionghoa pernah mendengarnya atau membacanya.
Cerita yang sederhana, cerita yang tak ada anehnya, dan cerita hanya legenda, bukan cerita yang terjadi sebenarnya. Meskipun demikian, cerita ini adalah cerita yang istimewa, cerita yang luar biasa. Ia merupakan sebagian dari budaya Tionghoa yang unggul. Cerita ini membangkitkan semangat orang Tionghoa yang tak kenal menyerah terhadap segala kesulitan. Rumah, toko semua dijarah dan dibakar habis, tapi mereka bisa bangkit kembali dan lebih makmur dari yang menjarah dan membakar. Perlu diingat, pada masa yang lalu, bank belum populer. Harta di rumah dan toko, adalah semua harta yang dipunyai, jadi kalau toko dan rumah dijarah dan dibakar habis, berarti habislah semua harta dan benda milik seseorang. Tidak bisa dibantah, ada orang yang menjadi gila setelah rumah dan tokonya dijarah habis dan dibakar, tapi kebanyakan mempunyai semangat Kakek Dungu, semangat yang tak kenal menyerah kepada kesulitan. Alangkah baiknya bila semua orang Indonesia, bukan Tionghoa Indonesia saja, mempunyai semangat Kakek Dungu Yugong ini.
Ada orang seperti Kakek Pintar Zhisou, mencibir mendengar cerita anak- anak ini. ” Itu kan dongeng¡¨, katanya. Dalam praktek mana ada orang demikian?”
Berikut di bawah ini adalah salah satu kejadian nyata yang baru tersiar pertengahan tahun 2004, Ini membuktikan semangat Yugong ternyata masih hidup, dan memang masih hidup dan menjadi sebagian dari budaya Tionghoa.
Oleh : Liang U
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghoa