Transformasi Akbar
Engels menceritakan kisah tentang komentarnya kepada seorang pengusaha pabrik Manchester bahwa ia belum pernah melihat sebuah kota yang dibangun demikian buruk dan kotornya: “Orang itu dengan sabar mendengarkan hingga selesai dan berkata di tikungan tempat kami berpisah, ‘Namun banyak uang yang bisa dihasilkan di sini; selamat pagi, tuan ? (Sale:58).
Tahap genting dalam perkembangan kapitalisme pasar terjadi selama berlangsungnya revolusi industri pada akhir abad ke 18, ketika teknologi baru berhasil meningkatkan kecanggihan alat-alat produksi yang belum pernah terjadi
sebelumnya. Perkembangan tersebut mengakibatkan “dibebaskannya?cukup banyak (a critical mass of) tanah, tenaga kerja, dan modal yang dibutuhkan, yang dialami kebanyakan orang sebagai bencana yang belum pernah terjadi sebelumnya karena peristiwa tersebut menghancurkan struktur komunitas—sebuah malapetaka yang kembali terjadi di kebanyakan dunia “berkembang.?Buku Karl Polanyi, The Great Transformation (1944) selain merupakan suatu ekspresi kemarahan terhadap berbagai konsekuensi sosial ini, juga merupakan suatu penjelasan yang sangat mendalam mengenai dasar pencacatan ini: cara bagaimana dunia dirubah menjadi komoditas-komoditas pasar yang bisa diperjualbelikan. Agar kekuatan-kekuatan pasar bisa berinteraksi dengan bebas dan produktif, dunia alami harus dikomoditikan menjadi tanah, jiwa dikomoditikan menjadi tenaga kerja, dan patrimoni dikomoditikan menjadi modal. Komersialisasi awal agrikultur Inggris mengakibatkan pematokan milik umum, padang rerumputan yang secara tradisional milik seluruh komunitas. Wabah komodifikasi industri terbukti jauh lebih parah lagi. Bumi (bunda sekaligus rumah kita) diobyektifkan menjadi suatu kumpulan sumber daya untuk dieksploitasi. Jiwa manusia diobyektifkan menjadi tenaga kerja, atau waktu kerja, diberi harga sesuai dengan penawaran dan permintaan.
Patrimoni sosial, sebuah warisan yang sangat disayangi, yang diakumulasikan
serta dilestarikan secara susah payah untuk keturunan kita, selain diobyektifkan
menjadi modal yang bebas dipertukarkan, juga menjadi sesuatu yang diperjualbelikan, sumber pendapatan yang diperoleh tanpa harus bersusah-payah
kerja bagi segelintir manusia yang beruntung dan sumber hutang yang mengilas
bagi sisa manusia lainnya.
Interaksi antarkomodifikasi ini mengakibatkan pengakumulasian modal yang hampir
menyerupai mujizat serta runtuhnya kehidupan komunitas tradisional yang tak
kalah menakjubkan, tatkala penduduk desa digusur keluar dari tanah mereka oleh
kekuatan-kekuatan ekonomi baru tersebut. “Memisahkan kerja dari
aktivitas-aktivitas kehidupan lainnya dan membuatnya tunduk pada hukum-hukum
pasar adalah memusnahkan semua bentuk kehidupan organik dan menggantikan mereka dengan jenis organisasi yang berbeda, organisasi yang berjenis atomistik dan individualistik,?tekan Polanyi. Sistem seperti itu “tidak akan bisa eksis tanpa
memusnahkan manusia dan substansi alami masyarakat.?Prinsip laissez-faire yang
menyatakan bahwa pemerintah seharusnya tidak campur tangan ke dalam berjalannya sistem ekonomi, diterapkan secara selektif: kendati pemerintah diperingatkan agar tidak menghalangi jalan industri, hukum dan kebijakannya diperlukan untuk membantu mereduksi tenaga kerja menjadi komoditi. Apa yang disebut tanpa campur tangan sesungguhnya merupakan campur tangan untuk “menghancurkan hubungan-hubungan non-kontraktual antarindividu dan mencegah penyusunan ulang mereka yang spontan.?(163,3).
Apakah suatu kebetulan jika bahasa bermakna ganda (doublespeak) yang sama terus berlanjut hingga hari ini? Sementara orang-orang yang disebut-sebut sebagai kaum konservatif tersebut mengkhotbahkan tentang membebaskan sistem usaha bebas dari tangan pemerintah yang membatasi, tapi subsidi-subsidi federal dicari-cari untuk mendukung industri-industri yang tidak ekonomis (misalnya, pembangkit listrik bertenaga nuklir) dan menanggung kegagalan-kegagalan ekonomi (skandal simpan-pinjam), sementara kebijakan-kebijakan internasional (GATT, NAFTA, dan perang teluk) sedang dirancang sekarang agar dunia aman [untuk dijarah] bagi berbagai korporasi multinasional kita. Hingga beberapa abad terakhir ada sedikit sekali perbedaan yang jenuin antara gereja dan negara, antara otoritas sakral dan otoritas sekuler, dan hubungan menyenangkan antarmereka itu kini kembali terjadi: bukannya mempertahankan regulatori yang efektif atau bahkan posisi yang netral, pemerintahan AS malah menjadi penyokong terkuat agama kapitalisme pasar sebagai suatu cara untuk hidup, dan sesungguhnya ia tidak punya banyak pilihan sejauh dirinya kini merupakan mucikari yang hidupnya tergantung pada menangguk porsi gemuk keuntungan pasar.
Satu garis langsung dapat ditarik dari komodifikasi tanah, jiwa, dan patrimoni selama abad ke 18 hingga ke lubang ozon dan penghangatan global masa kini, tetapi, berbagai komodifikasi tersebut juga mengakibatkan jenis lain dari perusakan lingkungan, yang dalam cara yang amat berbeda, juga sama problematiknya, yaitu: penipisan “modal moral,” suatu terma mengerikan yang hanya sanggup diciptakan para ekonom untuk mendeskripsikan konsekuensi sosial mengerikan lainnya dari kekuatan-kekuatan pasar. Seperti yang ditekankan Adam Smith dalam Theory of Moral Sentimentsnya, pasar adalah suatu sistem yang berbahaya karena merusak nilai-nilai yang diyakini bersama oleh komunitas, nilai-nilai yang sesungguhnya sangat diperlukannya untuk mengendalikan ekses yang ditimbulkannya. “Betapa pun termotivasinya oleh kepentingan diri, pasar tetap secara mutlak tergantung pada suatu komunitas yang meyakini bersama nilai-nilai seperti kejujuran, kemerdekaan, inisiatif, hemat, dan kebajikan-kebajikan lain yang otoritasnya tak akan mampu bertahan lama dari pereduksian hingga ke tingkat selera-selera pribadi yang sangat eksplisit dalam filsafat nilai positivistik dan individualistik, yang menjadi landasan teori ekonomi modern.” (Daly and Cobb:50). Kontradiksi mendasar pasar ialah ia butuh sifat-sifat seperti kepercayaan (trust) agar bisa bekerja secara efisien, namun cara kerjanya malah cenderung mengikis tanggung jawab pribadi terhadap pihak-pihak lain. Kontradiksi ini sudah mengarah ke arah keruntuhan yang sudah amat parah di banyak korporasi. “Penyusutan (downsizing)” besar-besaran dan peralihan ke pekerja paruh waktu menunjukkan semakin berkurangnya perhatian korporat terhadap para pekerja, sementara di tingkat atas, peningkatan gaji yang gila-gilaan (dengan opsi saham yang begitu menggiurkan) dan praktik-praktik yang menjijikkan seperti management buy-outs [MBO], mengungkapkan bahwa para eksekutif yang diberikan kepercayaan untuk mengelola korporasi semakin piawai mengeksploitasi atau menganibal korporasi demi keuntungan pribadi mereka sendiri. Antara tahun 1980 dan tahun1993, asset perusahaan-perusahaan yang masuk kategori Fortune 500 firms meningkat 2,3 kali tapi memapas 4,4 juta pekerjaan, sementara kompensasi untuk CEO meningkat lebih dari enam kali, sehingga rata-rata CEO korporasi raksasa menerima paket kompensasi senilai lebih dari $3.7 juta per tahun (Korten:218).
Dalam cara-cara seperti itulah pasar menunjukkan dirinya tidak mengakumulasi “modal moral”; ia malah “mengurasnya” dan oleh sebab itu, pasar tergantung pada komunitas untuk menghidupkan kembali “modal moral”, sebanyak ia tergantung pada biosfir untuk memperbaharui modal alami. Tidak mengejutkan, konsekuensi-konsekuensi jangka panjangnya kurang lebih sama: bahkan sekalipun kita sudah mencapai titik di mana kemampuan biosfir untuk pulih kembali telah rusak, namun modal moral kolektif kita sudah sedemikian terkurasnya sehingga komunitas-komunitas kita (atau lebih tepatnya, kumpulan kita akan para individu yang kini bak atom-atom [atomized individuals] yang saling berebut untuk menjadi “nomor satu”) kurang mampu untuk memperbaharuinya, dengan konsekuensi-konsekuensi sosial yang sangat mengganggu nurani yang tampak jelas di sekeliling kita. Poin ini perlu diulang-ulang karena sistem pendukung ekonomi yang diciptakan untuk mengoreksi berbagai kegagalan kapitalisme kini sedang disalahkan atas berbagai kegagalan kapitalisme tersebut. Namun pembusukan sosial yang sedang melanda begitu banyak “masyarakat maju” bukanlah sesuatu yang bisa dikoreksi oleh penerapan nilai-nilai pasar yang lebih efisien (seperti mencoret para ibu yang tidak menikah dari tanggungan program kesejahteraan pemerintah sehingga kerja mereka akan memberi sumbangsih pada masyarakat); lebih tepatnya, pembusukan ini merupakan konsekuensi langsung dari nilai-nilai pasar tersebut. Aneka komodifikasi yang masih terus menghancurkan biosfir, harga jiwa manusia, dan warisan yang seharusnya kita tinggalkan untuk generasi-generasi mendatang, juga masih terus merusak komunitas-komunitas lokal yang mempertahankan serat moral para anggota mereka. Degradasi bumi dan degradasi masyarakat-masyarakat kita sendiri, keduanya ini harus dilihat sebagai akibat-akibat langsung dari proses komodifikasi pasar yang sama—yang masih terus-menerus merasionalkan operasinya sebagai alami dan tak terhindarkan.
Pengurasan kumulatif “modal moral” secara paksa mengingatkan kita bahwa komunitas lebih besar daripada jumlah bagian-bagiannya, bahwa kesejahteraan bagi keseluruhan diperlukan demi kesejahteraan masing-masing anggotanya. Namun ini merupakan sesuatu yang teori ekonomi kontemporer tidak mampu menjadikannya sebagai faktor dalam perhitungannya. Mengapa tidak? Jawabannya membawa kita kembali pada asal mula pemikiran ekonomi di abad ke 18, asal mula yang berpangkal pada filsafat utilitarianisme individualistik yang lazim pada masa itu. Filsafat sudah demikian berkembang sejak saat itu, tapi ekonomi masih tetap terbelenggu pada nilai-nilai utilitarian, semakin menjadi-jadi karena tidak tahu akan hutangnya [pada utilitarianisme].[5] Menurut utilitarianisme, masyarakat terdiri dari para individu dengan ciri-ciri khas masing-masing, yang berusaha memburu tujuan-tujuan pribadinya sendiri. Nilai-nilai kemanusiaan direduksi menjadi sebuah kalkulus yang memaksimalkan aneka kesenangan (dengan tanpa ada perbedaan kualitatif di antara mereka) dan meminimalkan ketidaknyamanan. Rasionalitas kemudian didefinisikan menjadi perburuan cerdas kepentingan pribadi masing-masing. Dalam pemahaman Adam Smith akan hal ini, “para individu dipandang mampu menghubungkan diri mereka sendiri dengan pihak-pihak lain dalam beragam cara, secara mendasarnya kalau tidak dalam kebajikan pasti dalam keegoisan, namun mereka tidak terdiri dari hubungan-hubungan ini ataupun hubungan manapun. Mereka eksis dalam keterpisahan fundamental antara yang satu dengan yang lainnya dan dari posisi keterpisahan inilah mereka berhubungan. Hubungan-hubungan mereka tersebut bersifat eksternal bagi identitas mereka masing-masing” (Daly and Cobb: 160). Mengingat disiplin ekonomi tampaknya sudah menjadi yang diprioritaskan di lingkup ilmu pengetahuan sosial (tidak ada Hadiah Nobel untuk sosiologi ataupun ilmu pengetahuan politik, apalagi untuk filsafat ataupun agama), pandangan tentang kemanusiaan kita dari sudut pandang ilmu ekonomi ini menjadi yang paling diterima secara luas bertepatan dengan masa di mana berbagai praanggapannya tersebut didiskredit secara habis-habisan oleh filsafat, psikologi, dan sosiologi kontemporer—belum lagi oleh agama, yang selalu menawarkan suatu pemahaman yang amat berbeda tentang makna menjadi seorang manusia. Meskipun demikian, sementara nilai-nilai pasar mengakibatkan mundurnya kualitas berbagai hubungan sosial kita, “masyarakat menjadi lebih mirip agregat individu-individu yang digambarkan teori ekonomi sebagai makhluk. Model ‘positif’ secara tak terelakkan mulai berfungsi sebagai sebuah norma yang mana realitas dibuat harus sesuai dengan berbagai kebijakan yang sesungguhnya dibuat berdasarkan model tersebut.” (Daly and Cobb:162). Kita sudah belajar untuk memainkan peran-peran yang cocok dengan pekerjaan-pekerjaan yang harus kita lakukan serta berbagai citra komersil [yang disuntikkan melalui iklan] yang menggempur kita secara konstan.
Karena besarnya pengaruh pemikiran Neo-Malthusian tentang populasi pada masa ini, penting untuk diperhatikan bahwa Malthus sendiri berada dalam tradisi ini. Essay on the Principle of Population (1798)nya berdebat untuk prinsip upah yang tidak bisa diganggu gugat: upah sekadar bertahan hidup (subsistence wage) merupakan upah yang adil, karena upah yang lebih tinggi bisa mengakibatkan penduduk bertumbuh pesat hingga pertumbuhan tersebut terhenti oleh kemiskinan. Dengan demikian, [menurut teori Malthus] kemiskinan bukanlah produk institusi-institusi manusia melainkan kondisi kehidupan alami bagi kebanyakan manusia. Pengaruh cara berpikir macam ini berada dalam proporsi terbalik dengan (kurangnya) bukti empiris untuknya, karena tren-tren demografis dunia menyediakan sedikit sekali bukti. Peningkatan pesat penduduk di Inggris abad ke 19, yang terjadi setelah banyak orang digusur keluar dari tanah mereka ke pekerjaan pabrik, mendukung konklusi yang bertolak belakang, yaitu rakyat tidak miskin karena punya keluarga besar, melainkan butuh keluarga besar karena mereka miskin (ada permintaan yang sangat besar untuk pekerja anak-anak). Secara moral, Malthusianisme cenderung menutup-nutupi isu tentang siapa sesungguhnya yang sedang mengonsumsi sumber daya bumi. Secara teoritis dalil utamanya—penduduk bertumbuh secara geometris sedangkan makanan secara aritmetik—secara semau gue mengisolasi dua variabel penyebab dari kompleksitas aneka ragam faktor, sambil mengasumsi variabel terpenting dari semua sebagai sesuatu yang konstan, yaitu: “kealamian” pasar yang bebas tak dikendali dan tipe manusia yang sesuai untuknya—yaitu individu yang “rasional”, egois, dan kompetitif yang masih dipraandaikan oleh ekonomi neo-klasik.[6]
Seperti semua filsafat Barat modern, utilitarianisme yang ditelan mentah-mentah Smith dan Malthus itu sendiri berhutang budi kepada Rene Descartes. Dualisme metafisiknya membedakan maksud-tujuan (purposes) umat manusia dari segala sesuatu lainnya yang eksis, dengan dampak mendevaluasi mereka hingga menjadi sarana belaka yang digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan umat manusia. Terlepas dari keasyikan filsafat abad ke 20 dalam mengritik dualisme subyek-obyeknya kaum Cartesian, teori ekonomi kontemporer masih mempraandaikan teori nilai subyektivis tersebut, yang hanya mampu menyadari nilai atau sesuatu yang berharga di dalam pemenuhan nafsu-nafsu manusia semata.
Kemanusiaan kita direduksi menjadi sumber tenaga kerja dan sekumpulan nafsu yang tak bisa dipuaskan, sementara komunitas-komunitas kita terdisintegrasi ke dalam agregat para individu yang saling bersaing untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi…bumi beserta semua makhluknya dikomoditikan ke dalam sebuah pool sumber daya untuk dieksploitasi guna memuaskan nafsu-nafsu tersebut… adakah dualisme yang radikal ini meninggalkan suatu ruang untuk hal-hal yang sakral? Demi keheranan dan ketakjuban akan misteri penciptaan? Apakah kita percaya Tuhan atau tidak, mungkin kita curiga ada sesuatu yang hilang. Di sini kita diingatkan kembali akan peran krusial yang dapat dilakukan oleh agama, yaitu: mengangkat pertanyaan-pertanyaan fundamental mengenai pemahaman yang semakin pudar mengenai apa itu dunia dan kehidupan kita bisa menjadi apa.
Sadar akan penderitaan yang timbul ketika kami memaksakan pandangan kami kepada yang lain, kami berkomitmen untuk tidak memaksa pihak lain, bahkan anak-anak kami, melalui cara apapun—seperti otoritas, ancaman, uang, propaganda, atau indoktrinasi—untuk mengadopsi pandangan kami. Kami akan menghormati hak orang lain untuk berbeda dan memilih apa yang dipercayai serta cara memutuskannya. Tetapi, kami akan membantu pihak lain untuk meninggalkan kefanatikan dan kepicikan melalui berlatih secara mendalam dan terlibat aktif dalam dialog yang penuh kasih sayang. Zen Master Thich Nhat Hanh