Dalam tulisan diatas disebutkan: “Ia melangkah keluar meninggalkan penjara dengan hati yang luka”. Demikian pula pada bagian akhir tulisan tersebut terungkap kalimat: ..”Seolah-olah ketionghoaannya telah berubah menjadi sesuatu yang merepotkan, yang karenanya cenderung merelakannya terbuang dan mengalir ke laut bersama hitam-kotornya air kali Ciliwung. ” Untuk memperjelas hal-hal dimaksud, berikut ini adalah beberapa hal lain seputar Liem Koen Hian.
Sebagai gambaran, betapa menyedihkannya kehidupan batin kelompok masyarakat Indonesia yang sejak berkuasanya rezim Orba ramai-ramai menyandang sebutan “Cina”, kisah berikut ini barangkali bisa dijadikan contoh.
Di Ciamis hidup sepasang suami isteri “pribumi asli”, mengingat sang suami lelaki Jawa tulen, sedangkan sang isteri, Sunda benar-benar Sunda. Pasangan tersebut punya seorang anak bernama Tongki. Si Tongki ini oleh sebuah peristiwa kemudian dikenal sebagai anak atau orang Cina. Padahal bapak si Tongki seorang Jawa tulen yang di negeri ini biasa disebut atau menyebut diri sebagai Indonesia “asli”.Tapi gara-gara tingkah sang nasib, bapak si Tongki ini pernah berstatus sebagai pengemis. Ceritanya, semasa bapak si Tongki ini masih kecil, oleh ibunya ia selalu digendong ke mana-mana diajak ngemis. Dalam pada itu di Ciamis ada suami-isteri imigran dari Tiongkok yang kebetulan tidak punya keturunan, jatuh hiba melihat bapak si Tongki yang selalu diajak ngemis, lalu memungut anak pengemis tersebut sebagai anaknya. Setelah menjadi anak pungut keluarga imigran asal Tiongkok, bapak si Tongki sebutlah berubah menjadi “Akew”. Dan selanjutnya si Akew pun menjalani kehidupan seperti layaknya anak keluarga Tionghoa.
Saat suatu ketika timbul masalah kewarganegaraan, karena takut kalau jadi WNI suatu waktu akan dikenakan wajib militer, maka keluarga imigran tersebut lalu memilih status menjadi warga negara asing (WNA). Akew pun sebagai anak sang imigran status hukumnya ikut menjadi WNA juga, lengkap dengan segala kewajibannya, seperti membayar PBA (Pajak Bangsa Asing) dan lain sebagainya.
Demikian pula si Tongki, anak si Akew yang mantan pengemis, bersuku Jawa tulen dengan ibunya yang bersuku Sunda asli, hanya karena ia disebut anak “Cina” maka jadilah ia ikut-ikutan menyandang derita “Cina” yang benar-benar memang orang Tionghoa. Kulit si Tongki yang hitam, matanya yang bulat lebar, juga surat keterangan dari bapaknya yang menerangkan bahwa ia adalah anak seorang pengemis Jawa dan ibunya perempuan Sunda, buruh jemur aci di pabrik tapioca, tetap tidak dapat membebaskannya dari derita “dosa keturunan”yang harus disandang komunitas “Cina”. Terutama setelah meletusnya peristiwa G 30 S di tahun 1965.
Karena sejak itu, khususnya setelah pemerintah baru membuat kebijakan melalui Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Tentang Masalah Cina nomor SE-06/Pres.Kab/1967, yang mengubah sebutan kata Tionghoa/Tiongkok menjadi Cina, Tongki yang disebut sebagai “anak Cina” jadi mengalami kesulitan untuk mengikuti sekolah. Karena di mana-mana dia disebut “Cina”. Inilah sekelumit tragedi batin masyarakat yang disebut “Cina” di negeri kita sejak berkuasanya rezim Orba. Sebuah tragedi yang mungkin telah membuat yang bersangkutan lebih suka disebut anak pengemis, atau apa saja, asalkan jangan disebut “Cina”.(Saduran salah satu dari 18 kisah nyata dalam buku “Perjalanan Anak Bangsa”yang diterbitkan oleh LP3ES. tahun 1982).
Demikian tragisnya nasib manusia yang disebut “Cina” di negeri ini. Sampai-sampai Umar Khayam,seorang budayawan kondang semasa hidupnya pernah berkata “betapa frustasinya ia seandainya ia jadi seorang Cina”. Demikian pula Abdurrahman Wahid berkata: “Jadi orang Cina di negeri ini dan di masa (orba) ini pula, memang serba salah”. Dan lain kisah si Tongki lain pula kisah seorang “Bapak” Harian Media Indonesia, 29 Agustus 1991. memuat sebuah head line berjudul: “Susu Sebelanga Dapat Rusak Oleh Nila Setitik”.
Peribahasa itu dikutip Menteri Negara Perumahan Rakyat, Ir. Siswono Yudohusodo dalam sebuah dialog guna mengungkapkan betapa perilaku segelintir WNI beretnik Tionghoa telah merusak citra pembauran ‘Pri dan nonpri” secara keseluruhan. Dan dialog Pak Menteri pun digodok menjadi kepala berita berbunyi: “Siswono Beberkan 8 Dosa Nonpri”. Menteri yang secara jelas mengemukakan “dosa segelintir” namun tiba-tiba saja mengeneralisasinya menjadi “dosa nonpri”, tak urung tentunya
Bapak yang satu ini pun melengkapi sebuah gambaran betapa sulitnya kondisi hidup komunitas yang semasa itu disebut sebagai “nonpri” di Indonesia. Sehingga seandainya saja seseorang selagi dalam keadaannya sebagi janin yang masih dalam kandungan ditanya, “maukah kamu nanti dilahirkan dalam sebuah keluarga Cina yang kaya?” Barangkali janin itu akan buru-buru menjawab: “Jangan, jangan !! Daripada terlahir sebagai Cina di Indonesia, lebih suka aku dilahirkan di keluarga paling melarat pun asal “asli” bukan nonpri!”.Sebuah kondisi sosial, politik dan budaya (HAM) yang mengenaskan para manusia-manusia yang disebut “Cina”. Lalu, apakah kondisi kehidupan komunitas Tionghoa yang seperti itu memang sebuah takdir? Atau akibat adanya sejumlah kekeliruan? Misalnya saja, akibat terlalu mentabukan segala apa saja yang dianggapnya berkaitan dengan politik. Politik phobi. Lalu, dalam keadaan demikian dapatkah lahir seorang Liem Koen Hian lagi? Walau pun untuk Liem Koen Hian yang sudah pernah ada itu pun berlaku juga peribahasa: “Tiada gading yang tak retak”, namun apa pun ialah tokoh Tionghoa yang konsisten sejak muda berjuang ikut serta mengantarkan bangsa Indonesia mencapai gerbang kemerdekaan nasionalnya. Di dalam bimbingan gerakan kebangkitan nasional Indonesia bersama para pemimpin Indonesia yang lain, mengantarkan bangsa ini memasuki gerbang kemerdekaannya .
Jadi Liem Koen Hian adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia sejati. Tak setitik pun ada noda bermain mata dengan penguasa kolonial Belanda maupun Jepang yang akan mengotori langkah perjuangannya. Ialah tokoh Tionghoa pejuang Indonesia yang maju berjalan terus, lurus. Sehingga terkesan tangguh. Tapi sikapnya yang tiba-tiba saja menghentikan segala kegiatan perjuangan politiknya, karena ia dijebloskan ke dalam penjara politik, pada hakekatnya memang menerangkan bahwa Liem Koen Hian bukanlah seorang pekerja politik biasa seperti pada umumnya.
Walaupun benar ialah tokoh pendiri PTI (Partai Tionghoa Indonesia) di tahun 1932. Rupanya, ia adalah seorang tokoh pejuang HAM Indonesia yang selain gigih memperjuangkan HAM rakyat Indonesia pada umumnya dari para penindas-penindasnya seperti kolonialisme Belanda dan fasisme Jepang, ia juga tidak pernah melupakan memperjuangkan HAM etniknya sendiri yang Tionghoa.
Jadi seluruh kegiatan politik yang digelutinya, ternyata tak lain hanyalah medan atau sarana perjuangannya saja. Sebab, seandainya ia seorang pekerja politik dalam arti yang umum kita kenal sehari-hari, tentulah ia tidak akan terlalu terkejut, mana kala pada suatu hari ayunan langkah juangnya dihentikan oleh penguasa, dengan mengistirahatkan paksa dirinya dalam sebuah penjara dari sebuah republik yang susah-payah ikut serta dibangunnya sendiri. Seorang pekerja politik biasa, dengan sendirinya sadar dan tahu, bahwa politik, terlepas dari berbagai definisnya yang bersifa akademis, tak lain adalah sebuah upaya yang bersifat menghimpun serta memanfaatkan kekuatan kelompok masyarakat tertentu demi membela dan memperjuangkan berbagai kepentingan idiil maupun materiil kelompoknya sendiri.
Selanjutnya mengingat Negara adalah pusat himpunan segala kepentingan warganya, maka setiap kegiatan politik mau tidak mau akan bermuara pada hal-hal yang berada dalam lingkup kekuasaan Negara. Sedangkan kekuasaan Negara mempunyai seperangkat alat pemaksa, yang salah satunya adalah penjara. Lazimnya berupa sebuah bangunan dengan tembok tebal dan tinggi, berpagarkan kawat berduri atau sejenisnya.
Maka itu setiap pekerja politik seharusnya tidak akan menjadi terlalu kaget, mana kala pada suatu waktu dirinya harus menjalani masa tirakat di dalam penjara. Malah pekerja politik bersangkutan seyogianya memanfaatkan masa tirakatnya di dalam penjara tersebut dengan melakukan perenungan-perenungan berkaitan “salah atau benar” langkah politik yang ditempuhnya yang membawanya ke dalam penjara.
Jika terjadi kesalahan langkah politik, yang bersangkutan berkewajiban mawas diri. Akan tetapi bila ternyata tidak, pekerja politik haruslah tetap pada pendirian dan kebenaran yang telah menjadi pilihannya. Dengan demikian keberadaan seorang pekerja politik di dalam penjara menjadi tidak berkaitan dengan masalah moral atau etika sehari-hari, sebagaimana seharusnya itu menjadi beban bagi orang-orang yang dipenjarakan oleh sebab melakukan korupsi atau berbagai kejahatan lain. Sebab, salah benarnya pendirian atau pandangan politik yang dianut seseorang adalah masalah keyakinan.
Keyakinan politik seseorang tentunya tidak bisa tiba-tiba menjadi salah, hanya karena yang bersangkutan dijebloskan ke dalam penjara. Karena bahasa politik bagi pekerja politik yang meringkuk dalam penjara ialah “kalah”.Dan kalah tidaklah identik artinya dengan “salah”.Sekalipun benar kalah itu bertautan dengan salah, setidaknya kalau kita bersilat lidah seperti: “coba kau tidak salah langkah, tentu kau tidak akan kalah”.
Kesadaran akan sikap demikian akan menghindarkan seorang pekerja politik dari tekanan derita emosi yang akan berakibat menghancurkan diri seorang pekerja politik baik secara fiisik maupun mental seperti yang telah dialami oleh Liem Koen Hian. Sebuah kesadaran yang sangat dibutuhkan oleh para pekerja politik mengingat tahapan-tahapan pekerja politik lebih lanjut menuntut stamina yang lebih memadai. Berkaitan dengan masalah stamina barangkali kita bisa melihat khususnya ketika politik berkembang menjadi seni politik. Seni dan politik maupun seni politik adalah sebuah hal ikhwal yang menarik untuk dipelajari dan diamati. Sekedar contoh. Misalnya, di desa ada “maling desa”.
Dari berbagai cerita orang desa dapat disimpulkan bahwa ternyata maling desa tersebut bekerja dengan dukungan pengetahuan yang memadai bagi profesinya. Maling desa tahu betul kapan waktu terbaik untuk memalingi korbannya. Jatuh pada hari Senin kliwon atau Kamis Legi. Masuk ke rumah sasaran harus lewat pintu, membobol atap atau menggangsir terowongan. Demikian juga andaikata kepergok, kearah mana ia harus menyelamatkan diri dan lain sebagainya. Pendek kata operasi maling desa merupakan sebuah peragaan seni yang matang.
Karena itu ada yang berkata, bahwa sesial-sial maling desa yang gagal memalingi rumah orang, tidak akan sesial nasib mereka yang dikatakan melakukan Gerakan 30 Semtember 1965. Karena ternyata G 30 S yang katanya dirancang oleh sebuah parpol yang sangat berpengaruh ternyata tidak memperagakan seni apapun, kecuali seni konyol, yang akibatnya menghancur leburkan parpol yang sangat berpengaruh tersebut. Sehingga meninggalkan pertanyaan yang sampai kini belum terjawab. Yaitu, apa betul peritiwa G 30 S tahun 1965 itu dilakukan oleh sebua parpol yang sangat berpengaruh?
Mungkinkah selagi maling desa menyadari pekerjaannya berisiko gagal, sehingga yang bersangkutan mempersiapkan jalan penyelamatannya kalau ternyata menghadapi kegagalan, lalu sebuah parpol sangat berpengaruh, yang tentunya berisikan banyak pemimpin yang tidak segoblok maling desa, tapi ternyata ketika melakukan gerakan politik berbahaya, taunya hanya maju dan sama sekali tidak mempersiapkan jalan mundur seperti yang dilakukan maling desa?
Sehingga konon kabarnya ketua parpol sangat berpengaruh itu menjadi sangat kalang kabut dan melarikan diri justru bukan kearah jalan yang aman, melainkan justru kearah jala yang terpasang memang untuk meringkus dan mematikannya. Padahal, galibnya para pemimpin parpol sangat berpengaruh tersebut sangat paham, bahwa pekerjaan politik pada tahapan tertentu membutuhkan suatu mutu kerja politik yang sudah bertaraf seni. Yang didalamnya terjabar berbagai ilmu, termasuk ilmu berperang mengalahkan lawan-lawannya.
Seni politik pada tahap tertentu adalah seni memenangkan pertarungaan demi pertarungan dengan korban sekecil mungkin baik di pihak sendiri maupun di pihak lawan. Mengingat seni pertarungan politik tidaklah bertujuan untuk membinasakan sebanyak mungkin lawan politik. Mengingat kalau demikian itu yang terjadi, hal itu bukanlah politik apa lagi seni politik, melainkan sebuah pembantaian, sebagai akibat penyimpangan jiwa para pemimpin dan pelaku politiknya. Seperti George Bush misalnya, baik yang senior maupun yang yunior, demi ngalahkan lawannya di Irak, telah melakukan peperangan yang tidak kepalang tanggung buas dan kasaarnya. Mengingat kemenangan tersebut dicapai tanpa mempedulikan sama sekali manusia dan sarana kehidupannya yang sama sekali tidak pantas dikorbankannya begitu saja, walaupun itu mengenai kaumnya Saddam Hussein. Cara yang ditempuh Bush itu sungguh sangat berbeda dengan apa yang terkisah dalam epos Mahabarata.
Kisah Mahabarata dengan indah menggambarkan seni politik dari dua orang ahli strategi, yaitu Harya Sangkuni dan Batara Kresna. Kedua mereka tidak terpaku memperhitungkan imbangan kekuatan militer semata, tetapi juga menambahkan sejumlah factor lain yang memudahkan mereka bisa mencapai kemenangan. Keduanya sampai sama-sama memanfaatkan kepribadian dan watak suci Yudistira. Tentu saja secara etika perbuatan kedua ahli strategi tersebut tidak terpuji. Tetapi secara politik, pertimbangaan etika telah dikesampingkan oleh kedua tokoh ahli strategi teersebut. Malah Harya Sangkuni telah memanfaatkan kepribadian dan kesucian Yudistira itu dengan amat efisien, sehingga sukses meraih keemenangan merebut sebuah Negara dengan korban nihil. Yaitu mengalahkan para satria sakti mandraguna Pandawa bukan di medan perang melainkan di atas meja judi, dengan cara mencurangi para Pandawa.
Ya, Amarta, Negara Pandawa berhasil direbut Harya Sangkuni tanpa pertumpahan darah prajurit kedua belah pihak. Amarta direbutnya hanya dengan menggunakan mata dadu. Dan ternyata toh bukan hanya Sangkuni saja yang bermoral perang demikian. Batara Kresna dalam peperangan juga menempuh cara yang sama. Demi menghindarkan jatuhnya banyak korban di dalam perang Baratayuda di padang Kuru Setra, Batara Kresna dengan licik memanfaatkan kesucian dan kejujuran Yudistira, sang tetua Pandawa.
Di saat-saat pertempuran memuncak dengan gawat, dalam upayanya melumpuhkan kiprah Bagawan Drona yang amat berbahaya, Batara Kresna melancarkan perang urat syaraf dengan meneriakan berita kematian “gajah Aswatama” sebagai kematian putera kesayangan Begawan Drona yang juga bernama Aswatama. Dengan tujuan mengurangi dan menghindari jatuhnya korban lebih banyak, Batara Kresna membujuk Yudistira agar membenarkan berita tentang kematian ‘gajah Aswatama” apabila Bagawan Drona yang percaya pada kesucian dan kejujuran Yudistira bertanya kepadanya untuk mencari kebenaran kepastian kematian anaknya.
Dan benar saja, ketika dengan pertimbangan mengakhiri pertempuran selekas mungkin Yudistira menganggukan kepala menjawab pertanyaan Bagawan Drona “apakah benar Aswatama mati, pada detik itu juga semangat perang Bagawan Drona melempeo, sehingga perang dengan sendirinya beerakhir dengan cepat dan korban teercegah lebih banyak jatuh. Dengan kemenangan di pihak Pandawa.
Demikianlah nilai moral yang dikandung dalam pertarungan politik dan senjata kisah Mahabarata, sebuah karya sastra dunia yang sudah klasik. Pandawa menang bukan asal menang. Karena peperangan itu juga memenangkan moral dari kemanusiaan manusia yang beradab. Tidak seperti perangnya George Bush di Irak.
Maka itu, seandainya Liem Koen Hian sempat melihat bagaimana penjara dimanfaatkan oleh kekuasaan pihak yang menang (seperti pada proses perkembangan politik Indonesia segera setelah tahun 1965), Liem tentu tidak akan serasa menjadi orang yang melihat halilintar di siang bolong di tengah teriknya matahari. Mengingat ia akan sepenuhnya menyadari, ternyata ia bukan satu-satunya orang yang punya andil dalam mendirikan Republik Indonesia yang harus mencicipi tengik getirnya penjara yang merupakan perangkat alat pemaksa pemangku kekuasaan Negara. Dan tentunya kalau saja Liem Koen Hian menyadari bahwa andil dan jasa tidak memberinya kekebalan dalam mengarungi sebab dan akibat suatu proses politik, tentu ia tidak akan mengakhiri karir politiknya dengan cara “bunuh diri” politik seperti yang ia telah lakukan.
Dan kalau saja Liem Koen Hian tidak berakhir demikian, tentu masih banyak sumbangan yang masih dapat diberikannya dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya dalam memecahkan permasalahan WNI etnik Tionghoa di Republik bersama kita ini. Tapi tentu saja tidak patut menyesali hal-hal yang sudah tidak bisa diubah lagi. Kini hanya tertinggal sebuah sikap yang layak. Yaitu penghargaan dan ucapan terima kasih sedalam-dalamnya kepada almarhum Liem Koen Hian atas segala sepak terjang yang telah dilakukannya semenjak zaman Kebangkitan Nasional Indonesia di Hindias Belanda hingga akhir hayatnya di tahun l952. Ya, rasa terima kasih dan penghormatan yang patut diterimakan kepadanya dari generasi-generasi penerusnya, tentu tidak akan berkurang.
Liem Koen Hian adalah tipikal pejuang politik Indonesia beretnik Tionghoa, yang cirinya tidak rindu apa lagi haus kekuasaan politik bagi dirinya sendiri. Ia tidak dirasuki ambisi politik apa lagi gila kuasa. Ia hanya ingin menunjukkan kepada kaumnya, di mana sebenarnya tempat mereka seyogianya. Kepada masyarakat bumi putera, Liem Koen Hian hanya meminta pengertian akan hak-hak asasi etniknya yang disebut sebagai WNI keturunan Cina, sebagai golongan yang di dalam sejarah sama-sama memikul beban derita penindasan kolonial Belanda dan sama ikut berjuang menegakkan kemerdekaan NKRI ini.
oleh : Tan Swie Ling , Pemimpin Redaksi Majalah SINERGI ,
Diposting oleh HKSIS
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing List Budaya Tionghua 10724