Budaya-Tionghoa.Net | Kalau secara khusus menyoroti perlawanan terhadap agresi Jepang di Indonesia dan yang dimaksud kerjasama dengan sekutu ketika itu agak sulit juga. Karena kenyataan yang dihadapi, pihak kolonial Belanda dengan pasukannya tidak melakukan perlawanan, malah yang terjadi tentara Belanda menggedor toko-toko Tionghoa untuk mengangkut makanan kalengan dan minuman, berbondong-bondong lari-ngiprit dari serangan Jepang. Praktis tidak ada yang namanya perlawanan senjata dari pihak Belanda.
|
Sedang etnis Tionghoa, sebelum Jepang masuk ke Indonesia, baik totok maupun peranakannya yang memang apolitik juga dihadapkan masalah memberikan sokongan pada Tiongkok yang diagresi Jepang atau tetap diam menonton saja. Cukup menarik kalau kita perhatikan, setelah penyerbuan total Jepang dengan peristiwa Lukuochiao, 7 Juli 1937, etnis Tionghoa mendirikan Tjin Tjay Hwee, satu organisasi pengumpulan dana bantuan pada Tiongkok atas serbuan Jepang. Dipimpin oleh Oei Chiao Liong dan Liem Hwei Giap yang berpendidikan Belanda dan tidak bisa bahasa Tionghoa. Sebagai pe-busnis yang sukses, mereka berdua dipilih untuk memimpin Tjin Tjay Hwee tentu untuk mendorong memberikan teladan dalam sumbangan dan tidak mengkorup hasil sumbangan. Gerakan amal untuk menyokong perang Tiongkok-Jepang, ternyata tidak membuat puas “arek Suroboyo”, sekalipun sudah mengirim ambulance pertama dibawah pimpinan Dr. Go In Tjhan, tanpa menunggu komando pimpinan, ada juga seorang pemuda berangkat atas biaya sendiri ke Tiongkok menjadi sukarelawan, yaitu Siauw Giok Bie.
Setelah Jepang menyerbu masuk Indonesia diawal tahun 1942, menghadapi keganasan fasis Jepang yang main tangkap, main pukul dan main bunuh, tokoh-tokoh Tjin Tjay Hwee yang jelas anti-Jepang itu ditangkap dalam penjara Cimahi. Dan sebagai gantinya, Jepang mendirikan Kakyo Shokai (yang berarti Hua Chiao Tsung Hui = Perkumpulan Perantau Tionghoa). Terjadi satu keanehan, karena Jepang memperlakukan Tionghoa tetap sebagai Tionghoa, bagi peranakan Tionghoa yang berpendidikan Belanda dan bahkan sebelumnya ke-Belanda-Belanda-an, jadi bisa bersatu dengan Tionghoa yang totok. Yang berpendidikan Belanda jadi takut dicurigai pro-Belanda dan yang bisa bahasa Tionghoa menjadi “laku”, karena mereka diperlukan untuk menuliskan nama-nama Tionghoa. Dan, … semua anak-anak Tionghoa masuk dalam sekolah Tionghoa yang diasuh Kakyo Sholai.
Jadi, mungkin bisa juga dikatakan pada-pokoknya perlawanan yang dilakuakan etnis Tionghoa, bukan dalam bentuk perjuangan bersenjata melawan Jepang. Bahkan setelah terbentuk PETA (Pembela Tanah Air) dipertengahan 1944, yang bersemangat nasionalisme, patriotisme dan siap berkorban untuk mencapai Indonesia Merdeka itu, peranan etnis Tionghoa tetap lebih banyak disalurkan ke bagian logistik kegaris depan dan pengobatan pada penderita luka digaris-depan. Sampai pada Jepang menyerah, Kakyo Shokai berubah menjadi Hua Chiao Tse An Hui (Badan Keamanan Perantau Tionghoa). Disamping itu, kemudian juga muncul Angkatan Muda Tionghoa atas persetujuan dan bekerjasama dengan BKR (Badan Keamanan Rakyat) kelanjutan dari PETA.
Sementara etnis Tionghoa ada juga yang menyusun Organisasi bawah tanah, Organisasi Rahasia Chungking atau nama lengkapnya Chung Yang Hai Wei Ting Chin yang bermarkas di kota Malang di bawah pimpinan Yap Bo Chin. Anggota organisasi ini yang tersebar di seluruh pulau Jawa dan Madura berjumlah 8000 orang, termasuk 400 orang Indonesia. Organisasi rahasia ini juga mempunyai dua pemancar radio yang digunakan untuk berhubungan dengan pemerintah Tiongkok di Chungking. Banyak aksi sabotase yang berhasil dilakukan organisasi ini, antara lain pembongkaran rel kereta api dan pemutusan jaringan telpon di lapangan terbang serta informasi-informasi lainnya yang berhasil disampaikan kepada pemerintah Tiongkok di Chungking.
Karena kurang berpengalaman, pada akhir Desember 1942, organisasi ini berhasil digulung Kenpeitai Jepang. Wernick, Lie Beng Giok dan Tjoa Tek Swat ditangkap dan mengalami siksaan yang luar biasa dari Kenpeitai Jepang. Tjoa Tek Swat kemudian dihukum penggal kepala di Ancol.
Nah, sementara barangkali cukup sekian saja dahulu. Untuk mengikuti lebih lanjut, bisa dibaca “Lima Jaman-Perwujudan Integrasi Wajar” – Siauw Giok Tjhan dan “Etnis Tionghoa Adalah Bagian Integral Bangsa Indonesia” – Benny Setiono.
Salam,
ChanCT
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing List Budaya Tionghua