Budaya-Tionghoa.Net| Gunung Fuji adalah lambang Jepang. Sebelum jaman transportasi udara, kesan pertama terhadap Jepang yang diperoleh seorang turis asing saat kapalnya mendekata pelabuhan Yokohama, adalah puncak gunung Fuji yang megah menjulang tinggi menaungi daratannya. Hingga kinipun, apabila cuaca cerah, seorang turis yang tiba di Jepang dengan pesawat terbang dapat melihat puncak Fuji jauh di sebelah barat ketika pesawatnya akan melandas di bandara international Tokyo. Fuji tampak bagaikan kipas angin besar yang tertelungkup dengan lerengnya memanjang di setiap sisinya.
|
Puluhan ribu tahun yang silam, Gunung Fuji dan wilayah di sekitarnya merupakan suatu zone vulkanis. Zone vulkanis ini meletus memuntahkan abu vulkanis. Abu ini bertumpuk sehingga membentuk stratum atau lapisan tanah liat. Lalu, perlahan-lahan lapisan bumi lainnya menutupi lapisan tanah liat itu sehingga menjadi tanah yang kini merupakan kediaman orang Jepang.
Lapisan tanah liat ini terbentuk selama periosde akhir Zaman Diluvian Jepang sekitar 50.000 – 10.000 tahun yang lampau. Selama periode ini, Jepang dihubungkan dengan daratan Asia oleh suatu jembatan darat. Namun, selama bertahun-tahun tak ada seorangpun yang dapat membuktikan bahwa manusia pernah memanfaatkan jembatan darat ini untuk melintas ke Jepang. Selama bertahun-tahun, para ilmuwan menduga bahwa di zaman Batu Tua (paleolitik), ketika manusia telah berkembang di Eropa, Afrika, dan daratan Asia, Jepang masih belum berpenghuni. Akan tetapi, dalam jangka waktu 25 tahun belakangan ini, para ilmuwan telah tertarik dengan zaman prasejarah Jepang ratusan ribu tahun yang lalu.
Dalam jangka waktu yang lama, ciri-ciri manusia awal yang dikenal di Jepang termasuk kelompok manusia yang berbudaya Jomon. Orang dari budaya ini tampaknya telah ada di Jepang setelah Jepang dipisahkan dari daratan Asia oleh naiknya paras laut. Mengapa manusia muncul di Jepang justru setelah Jepang terpisah dengan daratan Asia masih merupakan teka-teki. Jawaban terhadap teka-teki ini mulai terbuka pada tahun 1949. Suatu hari seorang penjaja permen, yang sangat tertarik kepada arkeologi, menemukan batu yang tampaknya seperti relik Zaman Paleolitik. Lalu, relik lainnya ditemukan juga sehingga membuktikan bahwa manusia telah ada di Jepang sejak zaman paleolitik.
Sementara itu, para anthropologi juga ikut meneliti. Pada tahun 1957, kepingan tulang manusia diambil dari galian batu kapur. Tulang-tulang ini diduga merupakan tulang manusia yang hidup sekitar 100.000 tahun yang lampau. Manusia ini dinamakan Ushikawa, mengambil nama dari tempat ditemukannya tulang-tulang ini.
Beberapa tahun kemudian, ditemukan lagi tulang-tulang manusia lainnya. Tulang-tulang ini adalah tulang-tulang manusia yang dikenal sebagai manusia Mikkabi. Setelah beberapa keping tulang tengkorak dapat ditemukan, para antropolog menduga bahwa manusia Mikkabi termasuk spesies sebangsa kita – Homo Sapiens. Manusia Mikkabi diduga hidup di Jepang lebih dari 20.000 tahun yang silam. Kini para ilmuwan menyimpulkan bahwa baik manusia Ushikawa maupun manusia Mikkabi telah memasuki Jepang tatkala Jepang merupakan bagian dari daratan Asia. Orang-orang yang berbudaya Jomon, yang asal-usulnya belum jelas, kini diduga merupakan keturunan manusia Mikkabi.
Sejarah Jepang setelah periode Jomon telah lama dikenal. Namun, para ilmuwan kini sedang memperkaya pengetahuan kita. Beberapa ribu tahun setelah berdirinya kebudayaan Jomon, perkembangan besar yang kini dapat kita saksikan sendiri telah mengubah kehidupan bangsa Jepang. Selama abad ke-4 dan ke-3 sebelum masehi, bangsa Jepang belajar bagaimana menanam tanaman pangan – terutama padi. Cara menanam padi pada mulanya dibawa dari benua Asia ke barat daya Jepang, lalu menyebar ke utara sehingga menjelang tahun 300 Masehi telah mencapai ujung utara pulau Honshu. Perkakas dari tembaga, perunggu, dan besi juga didatangkan sehingga tak lama kemudian perkakas itu dapat dibuat oleh tangan-tangan Jepang sendiri. Kebudayaan ini disebut kebudayaan Yayoi. Menurut sejarah resmi Tiongkok, ketika kebudayaan Yayoi menyebar ke seluruh pulau Honshu, negara-negara kecil yang ada di Jepang hampir menyatu menjadi satu nagara.
Selama abad ke-4 dan ke-5, berkembanglah suatu peradaban baru dalam sebuah Jepang yang bersatu. Jepang dieprintah oleh sistem kekaisaran yang turun-temurun sampai kaisar yang sekarang. Para kaisar awal membangun istana mereka di kota yang kini adalah Osaka. Besar dan kuatnya dua makam kasiar abad ke-5, Ojin dan Nintoku, menunjukkan bahwa sudah sejak lama prestise seorang kaisar adalah sangat besar.
Peradaban Jepang dipengaruhi oleh peradaban negara tentangganya, Tiongkok dan Korea. Didatangkannya Kanji (huruf Tiongkok) dan Buddhisme adalah amat penting. Diperkenalkannya tulisan ini pada abad ke-5 dan ke-6 merupakan suatu kemajuan besar. Dalam waktu yang sama, para pendeta, cendikiawan dan para pengrajin datang ke Jepang dari Tiongkok dan Korea. Pengaruh peradaban yang baru ini merupakan unsur tambahan di dalam perkembangan peradaban Jepang kuno.
Hubungan Jepang dengan bangsa tetangganya ini bertambah erat. Namun, secara diplomatik hubungan ini berbentuk pembayaran upeti oleh Jepang kepada Tiongkok. Ketika pangeran Shotoku menjadi Pangeran-Bupati Jepang pada ahir abad ke-6, dia mengubah hubungan Jepang dengan Tiongkok. Oleh karena itu, kedua bangsa ini lalu menganggap sederajat satu dan lainnya. Pada tahun 604, Pangeran Shotoku mengundangkan hukum tertulis yang pertama didasarkan pada etika Buddhisme. Abad ke-8 merupakan puncak zaman Jepang kuno. Ibu kota yang besar di bangun di Nara dan disusunlah sejarah Jepang yang pertama. Patung Buddha yang terkenal selesai dibangun di Nara. Kebudayaan Asia Barat (Persia Sassania) diperkenalkan ke Jepang melalui Tiongkok.
Meskipun peradaban Jepang kuno sebagian dibangun di atas budaya-budaya yang diperkenalkan dari daratan Asia, selama 1.000 tahun terakhir bangsa Jepang telah menyerap unsur-unsur budaya ini dan menciptakan kembali menjadi budaya Jepang sendiri. Iklim dan bentang alam Jepang telah ikut pula memainkan peran besar di dalam pembentukan budaya Jepang yang unik. Pegunungannya yang tertutup dengan pohon-pohon yang hijau, dataran rendahnya yang semerbak oleh bebungaan, kesemuanya ini telah mempangaruhi seni dan segala aspek kehidupan. Pengaturan bunga, perjamuan teh, sanjak tanka dan haiku, seni lukis, dan kimono yang dikembangkan selaras dengan perubahan musim.
Karena Jepang telah berubah menjadi suatu masyarakat industri, maka Jepang dikhawatirkan akan kehilangan lingkungan alamnya yang indah yang dibanggakannya itu. Namun, tampaknya lingkungan alam Jepang itu tidak mungkin akan rusak. Bangsa dan para ilmuwan Jepang giat mencari upaya untuk memelihara keindahan Negara yang amat mereka cintai itu.
Apabila pembaca membuka halaman berikutnya, mudah-mudahan anda akan dapat lebih mengerti bangsa Jepang. Pengertian seperti itu seyogyanya menimbulkan itikad baik antar negara dan bagi perdamaian dunia.
(Sebagai kata pengantar untuk buku Grolier International, title: Lands & People, @2003, edisi 7)
Karang Terjal
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghoa