Budaya-Tionghoa.Net | Suratkabar “The Standard” dari Kenya, Afrika memuat satu tulisan yang menarik dari seorang dosen Universitas Nairobi yang bergengsi di Kenya mengenai pandangannya terhadap Tiongkok dan walaupun tulisan beliau tidak dapat disebutkan mewakili pandangan negara- negara Afrika lainnya tetapi tulisan ini mencerminkan pandangan seorang intelektual dari salah satu negara yang besar di Afrika dan dapat disebut sebagai sebuah pandangan dari negara berkembang yang sedang menghadapi dilema pembangunan atau suatu refleksi terhadap strategi pembangunan yang telah berjalan selama ini, tulisan ini bermula dari kunjungan Presiden Hu Jin Tao dan kemudian oleh Perdana Menteri Wen Jiabao ke beberapa negara Afrika beberapa tahun lalu.
|
Penulis yang berinisial XN Iraki ini menulis bahwa kita (Afrika) sekarang hidup dalam era Abad Pasifik dan arus ini tidak mungkin lagi dapat dibelokkan arahnya, negara Afrika tidak boleh tertinggal mengikuti arus sejarah ini.
(it seems we are already in the Pacific Century. The pendulum has swung irreversibly. No one wants to be lefts the bus heads east laden with hope and prospects).
Beliau mempertanyakan apa yang menyebabkan Tiongkok dapat bangkit sekarang ? sedangkan sebelumnya ketika pada waktu periode perang dingin yang berakhir di tahun 1989 sedikit orang dan pengamat politik dari Barat yang memperhatikannya atau perduli, tetapi sekarang banyak universitas-universitas di dunia mulai mengadakan kursus-kursus bahasa Mandarin serta melakukan studi-studi dan pembahasan mengenai sisitim perekonomiannya. Dan beliau mengatakan juga bahwa Kenya dapat belajar dari pengalaman Tiongkok tanpa harus meninggalkan ajaran Barat yang telah menjadi titik acuannya
(We need to learn from the Chinese, but we must keep the lessons from the West as our references).
Penulis ini mempertanyakan kebijaksanaan politik yang telah ditempuh oleh negaranya selama ini, beliau mengatakan bahwa Kenya membanggakan dirinya sebagai sebuah negara yang lebih demokratis dari Tiongkok tetapi apa yang telah dihasilkan oleh sistim demokrasi sampai saat kini? Kalau kita tidak dapat memperbaiki perekonomian bangsa ini, sistim politik terbaik apapun yang digunakan pada akhirnya tidak ada manfaatnya.
(We may claim we are more democratic than China, but what has that democracy done for us? If cannot improve our economic wellbeing, even the best political system will not be of much use to us)
Dan beliau mengeritik bahwa para pemimpin bangsa lainnya lebih banyak membuang waktu dan enerji untuk bertengkar diantara mereka sendiri daripada mengurus perekonomian negaranya.
Pandangan XN Iraki ini mencerminkan dilema pembangunan suatu negara berkembang pada umumnya dan Afrika khususnya , mereka melihat bahwa sistim kenegaraan yang berasal dari demokrasi model Barat mulai diragukan manfaatnya bagi sebuah negara berkembang yang masih tertinggal , pada pelaksanannya sistim ini (demokrasi) tidak dapat menjamin keberhasilan pembangunan sebuah negara bahkan dapat berbalik menjadi bumerang sekiranya kebebasan ini bergerak leluasa tanpa batas atau terkontrol dan tidak jarang bahwa sistim demokrasi ini adalah suatu kesempatan untuk dimanfaatkan atau dieksploitasi demi kepentingan satu golongan atau kelompok yang membawa negara tersebut kedalam kekacauan politik atau anarkis, Tiongkok sendiri bukanlah satu negara yang demokratis dalam pengertian Barat tetapi sekurang-kurangnya telah dapat mengangkat taraf hidup 400 juta rakyatnya dari kemiskinan absolut.
Apakah Tiongkok sekarang dapat menjadi model pembangunan bagi sebuah negara berkembang? Wacana ini sering menjadi tema pokok pembicaraan dan pemikiran kaum intelektual di negara berkembang yang melihat Tiongkok sebagai salah satu alternatif model pembangunan ekonomi sebuah negara. Tiongkok adalah sebuah contoh negara yang dapat keluar dari keterbelakangan dan kemiskinan menjadi suatu negara dengan pertumbuhan ekonominya yang tinggi dalam waktu relatif singkat serta dapat menghindari jebakan lingkaran setan kemiskinan, berbeda dengan beberapa negara berkembang lainnya yang didukung oleh Barat, Tiongkok hampir tidak mendapat bantuan dari lembaga-lembaga keuangan dunia seperti IMF atau World Bank (dan malah pernah diembargo) kecuali dari Uni Soviet yang pada waktu itu hutangnya dibayar lunas ketika Tiongkok sendiri masih dalam keadaan sulit, salah satu sumber modal yang penting pada awal liberalisasi perekonomiannya adalah modal investasi yang ditanamkan oleh warga etnis Tionghoa (Huaren) dari Hongkong, Taiwan dan negara Asia Tenggara lainnya.
Walaupun pertumbuhan ekonominya mencapai 10% setiap tahunnya dan banyak kemajuan yang dirasakan, Tiongkok sendiri masih mengaku sebagai sebuah negara yang sedang berkembang dengan pendapatan perkapitanya masih tertinggal dengan industri maju lainnya, banyak masalah-masalah dalam negeri yang harus diatasi seperti distribusi pendapatan yang tidak merata, jurang antara yang berpenghasilan tinggi dengan yang berpenghasilan rendah, antara kota dengan desa, antara propinsi yang sudah maju di pantai Timur dengan propinsi yang tertinggal di pedalaman serta masalah ancaman lingkungan hidup yang serius, tetapi hal ini tidak dapat menghapus kesan bahwa Tiongkok bersama dengan India akan menjadi negara adidaya yang menentukan dimasa depan yang harus selalu diikuti perkembangannya.
Apakah yang sebenarnya disebut sebagai model ekonomi Tiongkok? Sulit sebenarnya untuk mencari definisi yang tepat untuk ini, apakah Sosialisme ? Kapitalisme? Ataukah campuran dari keduanya? Tiongkok sendiri menyebutnya sebagai sistim “Socialism with Chinese characteristic” (Sosialisme dengan karakter Tiongkok) dan ada juga yang menyebutnya sebagai “State control Capitalism” (Kapitalisme yang dikontrol negara), mungkin pengertian yang lebih sederhana dan langsung adalah seperti yang dikatakan secara pragmatis oleh Deng Hsiaoping yaitu “Tidak perduli apakah kucing itu putih atau hitam yang terpenting adalah menangkap tikus”, artinya tidak perduli sistim apa yang akan dipergunakan (sosialisme atau kapitalisme) yang penting adalah membawa kemajuan dan kemakmuran dan mungkin sampai kini hanya Vietnam yang memiliki persamaan dengan model perekonomian Tiongkok dimana negara dan partai memegang peranan yang dominan dalam menentukan kebijaksanaan ekonominya, pertumbuhan ekonomi Vietnam pada waktu sekarang adalah salah satu yang tertinggi di Asia Tenggara.
Taiwan, Korea Selatan dan Singapore adalah juga merupakan model dari satu negara yang tertinggal dan terbelakang menjadi satu negara modern yang perekonomiannya maju, Taiwan dan Korea Selatan pada awalnya mendapat bantuan dari Barat sebagai sekutu dalam perang dingin serta hanya sedikit memiliki sumber alam, akan tetapi sekarang dapat berhasil mengejar ketinggalannya dari negara industri maju lainnya. Singapore adalah sebuah model negara modern yang Habibi pernah menyindirnya dengan sinis sebagai sebuah titik merah (red dot) diatas peta dunia, secara formal negara ini menganut sistim perekonomian pasar bebas (free market capitalsm) yang banyak dikagumi orang atas kesuksessannya.
Apapun namanya yang diberikan kepada sistim negara tersebut diatas atau apapun sistim kenegaraan yang dipakai, ada faktor-faktor persamaan (budaya?) yang menentukan yang dimiliki bersama oleh negara-negara tersebut (Tiongkok, Taiwan, Korea Selatan dan Singapore) seperti Lee Kuan Yew pernah mengatakan bahwa keberhasilan Singapore bersumber pada “semangat kewiraswataan dan kerja keras” (“entrepreneurship spirit and hardworking”) yang telah menjadi ciri budaya masyarakatnya selain kestabilan politik yang dipelihara terus.
Negara-negara Afrika yang merasa sistim negaranya tidak berhasil membawa kemakmuran dan kemajuan sejak berakhirnya kolonialisme dan dominasi Barat di benua tersebut kini mulai melihat ke negara Asia Timur sebagai sumber inspirasi dan model alternatif pembangunan, sebaliknya negara-negara Asia Timur sekarang lebih intensif menjalin hubungan perdagangan, politik dan budaya dengan negara- negara benua Afrika tersebut.
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua