Budaya-Tionghoa.Net | Seberapa besar buku sastra dapat mempengaruhi kehidupan pembacanya? Sebagian orang beranggapan buku sastra hanyalah bacaan yang tak memiliki arti yang khusus, kecuali hanya untuk bacaan hiburan bagi jiwanya, namun bagi orang yang mengerti akan arti dan manfaat karya-karya sastra, buku sastra adalah kebutuhan utama bagi jiwanya, bagi mereka buku-buku sastra yang dibacanya akan turut berpengaruh pada cara bertutur, cara pandang dan kepribadiannya, bahkan bukan tak mungkin buku-buku sastra yang dibacanya akan merubah jalan hidup pembacanya.
|
Judul :
Balzac dan Si Penjahit Cilik dari Cina
Penulis : Dai Sijie
Penerjemah : Lulu Wijaya
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : I, Febr 2006
Tebal : 240 hlm; 23 cm
Kecintaan dan kehausan seseorang akan buku-buku sastra dan bagaimana buku sastra dapat merubah jalan hidup seseorang ini tercermin pada novel karya penulis sekaligus sineas kelahiran Cina Dai Sijie “Balzac dan si Penjahit Cilik dari Cina”. Dengan setting pada masa Revolusi Kebudayaan di Cina, novel ini menceritakan persahabatan dua anak lelaki, Luo dan “Aku” (si narator) yang oleh pemerintahan Mao dikategorikan sebagai “intelektual muda”, bukan karena tingkat pendidikan mereka, namun karena mereka adalah anak-anak dari dokter di Beijing yang dianggap borjuis dan raksioner. Mereka dikirim ke pedesaan untuk “dididik ulang oleh para petani miskin”.
Tokoh aku dan sahabat karibnya Luo dikirim ke sebuah desa terpencil di kaki
gunung “Burung Hong dari Langit”. Ada beberapa desa tersebar di kaki gunung ini. Aku dan sahabatnya Luo ditempati di sebuah desa yang termiskin diantara semua desa di kaki gunung tersebut. Tak ada yang bisa dilakukan setiap harinya kecuali bekerja di bawah pengawasan Kepala Desa di ladang, di tambang batu bara tradisional, hingga memikul ember-ember tinja sambil menaiki lereng gunung ke ladang-ladang yang sebagian besar terletak di ketinggian yang menyeramkan.
Salah satu kepandaian Luo yang disukai kepala desa adalah bercerita / mendongeng. Agar Luo dapat bercerita, setiap bulan mereka diberi cuti beberapa hari untuk menonton sebuah film di kota terdekat, Yong Jing. Sekembalinya dari kota, mereka diharuskan menceritakan film itu dari awal sampai akhir kepada kepala desa dan semua penduduk desa. Hal inilah yang menjadi satu-satunya kegiatan diluar kerja fisik yang harus mereka lakukan selama “pendididikan ulang”.
Dalam satu kesempatan, mereka bertemu dengan Pak Penjahit yang selalu berkeliling dari desa ke desa untuk menawarkan jasanya. Ia memiliki seorangputri cantik yang disebut Si Penjahit Cilik, seorang gadis cilik cantik dan lugu yang belum tersentuh oleh peradaban modern. Perkenalannya dengan Pak Penjahit membawanya bertemu dengan si Penjahit Cilik. Lambat laun melalui berbagai pertemuan dan peristiwa akhirnya Luo terpikat oleh kecantikannya dan jatuh cinta pada Penjahit Cilik itu walau diakuinya bahwa penjahit cilik itu masih ‘kurang beradab’
Di kaki gunung Hong, Aku dan Luo memiliki seorang teman yang dijuluki Mata Empat yang ‘dididik ulang’ di desa yang berbeda dengan mereka. Aku dan Luo mengunjungi Mata Empat yang ternyata menyimpan sebuah koper rahasia yang berisi buku-buku karya sastrawan barat klasik yang telah diterjemahkan kedalam aksara Cina. Di masa Revolusi Kebudayaan, buku-buku tersebut termasuk dalam barang yang terlarang. Ketahuan menyimpannya saja bisa menimbulkan bencana dan harus berurusan dengan Kementrian Keamanan yang kejam.
Aku dan Luo sangat tertarik dengan buku-buku dalam koper tersebut. Awalnya Mata Empat tak mau meminjamkan buku-buku itu pada mereka, mereka tak kehilangan akal, agar Mata Empat bersedia meminjamkan buku-bukunya, mereka bersedia mengambil alih pekerjaan Mata Empat
memikul beras ke pangkalan. Akhirnya, tergerak oleh kebaikan Aku dan Luo, Mata Empat meminjamkan sebuah buku tipis dan usang karya Balzac. Begitu memperolehnya mereka segera membacanya dan langsung terpikat oleh cerita yang tersaji dalam buku tersebut. Jiwa mereka seolah terbebaskan dari kungkungan rutinitas yang membosankan, wawasan dan pengetahuan mereka bertambah.
“Coba bayangkan, seorang anak laki-laki berusia sembilan belas tahun, masih terkatung-katung dalam masa puber, seumur hidupnya belum pernah mendengar apapun selain omong kosong revoluioner mengenai patriotisme, komunisme, ideologi, dan propaganda, dan kini terjun ke dalam kisah tentang bangkitnya hasrat, semangat menggelora, tindakan-tindakan gegabah, cinta, tentang semua hal yang sebelumnya tersembunyi dariku” (hlm 75)
Sayangnya hanya buku Balzac itu saja yang dipinjamkan Mata Empat kepada mereka, buku-buku lain yang disimpan dalam koper rahasianya tak bisa mereka pinjam. Kehausan mereka akan bacaan-bacaan sastra lainnya membuat mereka berusaha untuk memperoleh harta terlarang ini bagaimanapun caranya. Sebuah ide gila untuk mencuri koper tersebut terbesit dalam kepala mereka. Akhirnya dalam satu kesempatan mereka berhasil mencuri koper tersebut dan membukanya, ternyata tak hanya karya Balzac yang mereka temui, dalam koper tersebut terdapat juga karya-karya Alexander Dumas, Dickens, Roimain Roland, Flaubert, dll
Setelah memperolehnya, mulailah mereka mengisi waktu-waktu luang mereka dengan secara sembunyi-sembunyi membaca setumpuk buku-buku tersebut. Tak puas hanya membaca untuk diri sendiri, mereka pun bermaksud menceritakan ulang kisah-kisah yang mereka baca pada si Penjahit Cilik. Dalam kunjungan-kunjungan berikutnya Luo harus memanggul sendiri buku-buku itu menuju rumah Penjahit Cilik, bukan perjalanan yang mudah, apalagi ketika jalan menuju rumah Penjahit Cilik tertutup longsor dan ia harus memutar dan meniti bumbungan sempit yang sisi kiri dan kananya terdapat jurang yang menganga.
Aku dan Luo sadar bahwa tindakan mereka yang menyimpan, membaca dan menceritakan kisah dari buku-buku itu adalah tindakan yang sangat berbahaya, namun mereka tetap mengambil resiko ini karena buku-buku itu telah membuat mereka menemukan sebuah dunia pelarian yang mereka kira telah hilang selamanya. Tidak itu saja, ternyata kisah-kisah sastra yang mereka baca dan ceritakan membawa akibat yang tak mereka duga-duga. Berbagai peristiwa terjadi pada diri mereka dan orang-orang yang mendengar cerita mereka.
Secara keseluruhan novel ini dikemas dengan menarik, realita sosial akibat
revolusi kebudayaan di Cina terungkap dengan jelas, kaum terpelajar harus
menerima kenyataan pahit dengan dihapusnya matematika, fisika, dan kimia dari kurikulum. Sebagai gantinya pelajaran mereka dibatasi hanya seputar dasar-dasar industi dan pertanian. Kaum intelektual diharuskan mengalami ‘pendidikan ulang’ yang entah sampai kapan harus mereka jalani. Sementara itu para petani menjadi ‘guru’ dan kader-kader partai bagi mereka yang dididik ulang.
Tidak itu saja, novel yang memilki ending yang tak terduga ini juga menyajikan drama persahabatan, cinta, harapan dan kekuatan sastra yang sanggup merubahan cara pandang dan kehidupan tokoh-tokohnya. Kecintaan akan sastra dari para tokoh-tokoh dalam novel ini memang luar biasa, mereka rela menempuh resiko fatal dianggap sebagai reaksioner akibat menyimpan, membaca, dan menceritakan apa yang telah mereka baca. Keinginan kuat dari Luo untuk membuat Penjahit Cilik menjadi ‘beradab’ dengan menceritakan karya-karya sastra dari buku-buku tersebut membuat
dirinya harus berjuang melawan tantangan alam yang ganas agar bisa membawa buku-buku sastra menuju rumah Penjahit Cilik.
Melaui kisah ini, pembaca juga akan diajak menyelamai bagaimana sebuah karya sastra selain sanggup mengubah cara pandang tokoh Aku, Luo dan si Penjahit Cilik, juga sanggup mengubah model dan pola dari baju-baju yang dibuat oleh Pak Penjahit setelah mendengar kisah Monte Chisto selama sembilan hari sembilan malam dari mulut si Aku. Atau bagaimana sebuah karya Balzac bisa mempertemukan si narator dengan seorang dokter yang dicari-carinya untuk menolong si Penjahit Cilik.
Walau buku ini menampilkan masa kelam Revolusi Kebudayaan di Cina, namun Dai Sijie menyajikannya tidak secara muram, novel ini tersaji dalam tuturan yang riang sehingga novel ini tidak terasa berat dan membosankan. Walau di bab-bab awal tergambarkan potret kelam kehidupan keras aku dan Luo selama mengalami pendidikan ulang, di halaman-halaman selanjutnya pembaca akan diajak berpetualang dan merasakan gelora antusiasme tokoh aku dan Luo terhadap karya-karya sastra yang telah merubah hari-hari kelam mereka menjadi hari-hari yang menyenangkan dan penuh petualangan.
Dan yang pasti melalui novel ini pembaca akan diajak melihat suatu kenyataan bahwa sastra tidak hanya menghibur tapi juga sanggup membawa perubahan positif bagi mereka yang membaca dan mampu memperoleh ‘mutiara terpendam’ dari setiap karya-karya sastra. Dai Sijie
Dai Sijie adalah penulis sekaligus sineas yang lahir di China pada tahun 1954. Pada Tahun 1984 ia meninggalkan Cina dan menetap di Perancis hingga kini. Sijie pernah menjalani “pendidikan ulang” pada tahun 1971- 1974. Masa-masa ini rupanya mengilhami dirinya untuk melahirkan novel perdananya yang terkenal “Balzac dan si Penjahit Cilik dari Cina”. yang merupakan novel semi outobiografinya. Buku ini diterbitkan pertama kali di Perancis pada tahun 2000, dan langsung menjadi best seller dan memenangkan lima pengharargaan dari berbagai lembaga di
Perancis. Novel ini telah diterjemahkan kedalam 25 bahasa, ironisnya novel ini tidak diterbitkan di negeri asalnya Cina karena buku-bukunya termasuk karya yang dilarang di negeri tempat ia dilahirkan.
H Tanzil
[via Akhmad Bukhari Saleh] ,
Arsip Mailing-List Budaya Tionghua , No 18846 , 24 April 2006
http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/message/18846
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua