Budaya-Tionghoa.Net |Sampai sudah turun dari kereta di Xiangfan, setelah empat jam perjalanan dari Yichang. Tujuan datang ke Xiangfan adalah hanya sebagai tempat persinggahan saja, untuk persiapan pergi ke Bu Tong San (Wudang Shan). Seperti biasa, di depan stasiun saya mencari peta kota, kalau bisa yang berbahasa Inggris.
|
Kota Xiangfan hampir tidak disebut-sebut di buku Lonely Planet, hanya sepatah dua patah kata saja. Yaitu bahwa ada jalan freeway dan regular train (2 jam) dari Xiangfan ke Wudang Shan, serta penyesalan karena freeway dari Xiangfan ke Wuhan belum juga selesai, sehingga butuh 11 jam ke Wuhan.
Seperti biasa juga, banyak hotel yang lumayan di depan stasiun. Melihat peta, segera terlihat jelas tanda tembok kota lama mengelilingi kota, dan jalan yang disebut menghidupkan kota lama.
Setelah berdiri di tembok kota di atas gerbang memandang ke Utara, dan melihat beberapa orang yang antri berfoto dan berhias dengan pakaian jenderal sebagai Kwee Ceng, barulah sadar, ya inilah Siang Yang (Xiangyang), kota yang di cerita “Sin Tiauw Hiap Lu” dipertahankan mati- matian oleh Kwee Ceng.
Inilah Siang Yang, begitu banyak episode terjadi di kota ini. Xiangfan adalah dua kota yang sekarang menjadi satu. Xiangyang di sebelah Selatan sungai Han, dan Fancheng di sebelah Utaranya. Stasiun kereta terletak di bagian Fancheng.
Tembok kota Siang Yang telah dibangun ulang dengan penuh. Hanya ada beberapa kota di Cina yang tembok kotanya dibangun ulang secara penuh. Dan Siang Yang adalah salah satunya.
[Foto ilustrasi (ditambahkan admin) : Noclue119 , “Foggy View of the Park around XiangFang”, This file is licensed under the Creative Commons Attribution 3.0 Unported license]
Berdiri di atas tembok di gerbang yang menghadap Utara, sekarang yang terlihat adalah Fancheng. Inilah kota di mana pertempuran yang menjadi puncak cerita “Sin Tiauw Hiap Lu” terjadi di penghujung buku. Memandang ke Utara di sanalah pernah berdiri sebuah panggung di penghujung cerita itu, di mana Kwe Siang siap dibakar. Di sinilah cerita “Sin Tiauw Hiap Lu” berakhir, seperti satu symphony yang berakhir dengan irama presto, penuh gemuruh dan suasana grandioso, sebelum benar-benar ditutup dengan coda dengan episode di Hoa San.
Entah beberapa peperangan pernah benar-benar terjadi di luar kota ini, entah berapa jenderal pernah berperang di padang di depan gerbang kota,entah berapa kali kota ini dibumi-hanguskan dan dibangun lagi, entah berapa banyak darah pernah membasahi tanah di padang sana. Tetapi hujan beratus tahun yang membasahi bumi, yang membasahi padang itu, telah membersihkan kembali padang tersebut, di sana sekarang berdiri gedung dan bangunan, di sanalah Fancheng sekarang.
Menurut sejarah memang Siang Yang pernah bertahan cukup lama terhadap serangan Mongol. Agaknya bukan tidak sengaja Chin Yung memilih kota ini sebagai kota yang dipertahankan Kwee Ceng dan menjadi tempat banyak episode “Sin Tiauw Hiap Lu” (baca catatan kaki di belakang jilid 6). Dan Chin Yung pun sadar bahwa inilah kota kampung halaman Cukat Liang alias Khong Beng (hal 1924, jilid 6 “Sin Tiauw Hiap Lu”, melalui ucapan Oey Yok Soe).
Longzhong, sebuah desa kecil kurang lebih 15 km sebelah Barat Xiangyang adalah tempat Khong Beng lahir, dibesarkan dan tinggal sebelum akhirnya membantu Lauw Pie memenangi perang dan mendirikan negeri Siok.
Khong Beng, Lauw Pie, Kwan Kong dan Thio Hoei adalah tokoh-tokoh dari kisah “Tiga Negara”. Ke sinilah Lauw Pie harus datang berkunjung tiga kali sebelum akhirnya Khong Beng mau membantunya. Kepintaran Khong Beng, kehebatan golok Kwan Kong dan kesetiaan ketiga saudara angkat inilah yang telah membantu Lauw Pie mendirikan
negeri Siok. Khong Beng telah menjadi tokoh yang dipuja karena kepintarannya. Dari generasi ke generasi orangtua akan bercerita ke anaknya sedikit saja tentang cerita “Sam Kok”, sedikit saja kisah tentang Khong Beng, terkadang hanya satu episode, tentang akal dan kepintarannya.
Ketika berjalan jalan di taman di kawasan wisata Longzhong ini, terlihat sebuah maze yang dibuat dan anak-anak bermain memasukinya. Itukah mazeyang dibuat oleh Khong Beng dulu? Tentu saja bukan. Bangunan ini dan itu, hanyalah pernik-pernik untuk membangkitkan kenangan. Ingatan tentang Khong Beng dengan cepat melintas di sana-sini, bahkan gambar-gambar episode cerita bergambar “Sam Kok” jadi muncul lagi. Komik yang dulu dibaca waktu kecil akankah terbit lagi? Masih adakah yang punya fotocopynya? Apakah sama dengan yang diterbitkan oleh penerbit Singapura dan diterjemahkan Gramedia?
Ketika melihat sebuah lukisan yang dijual toko souvenir, teringat waktu kecil duduk mengelilingi orangtua yang bercerita episode bagaimana akal Khong Beng mendapatkan panah dalam suatu peperangan. Ya, itulah lukisan Khong Beng memeluk segepok anak panah. Episode manakah yang dulu dipentaskan oleh wayang potehi di kelenteng Welahan, Rembang, atau kelenteng-kelenteng lainnya yang pernah ditonton?
Waktu kembali berjalan di jalan utama ditengah kota Siang Yang, yang dibuat lagi menjadi kuno, jalan yang tidak terlalu lebar terasa penuh sesak dengan banyak turis, yang lebih banyak lokalnya. Banyak yang melihat kaligrafi atau souvenir yang lain.
Tidak terasa waktu berlalu dengan cepat. Dengan cepat lampion menyala dan banyak orang duduk di restauran di sepanjang jalan, walaupun demikian jalan pun tetap terasa penuh. Satu tembok kota telah kembali dibangun karena cerita Chin Yung, satu legenda lagi dimulai. Orang menikmati “Sin Tiauw Hiap Lu”, orang menikmati datang ke Siang Yang, kota yang dipertahankan Kwee Ceng mati-matian.
Episode-episode terakhir “Sin Tiauw Hiap Lu” begitu mengharukan, banyak orang yang terharu teringat apa permintaan Kwee Siang kepada Yo Ko ketika jarum ketiga diserahkan. Tidak hanya Yo Ko yang terkesiap dan bergetar, termasuk pembaca juga tergetar, seperti ucapan Yo Ko: “Dari Siang Yang kau menyusul aku hingga
di sini, adakah itu untuk permintaanmu ini saja?” Dan episode bagaimana kemudian Kwee Siang akan dibakar oleh Kim Lun Hoat Ong di penghujung “Sin Tiauw Hiap Lu”, di depan pintu gerbang kota Siang Yang inilah.
Tidak tahu apakah mereka yang tertawa-tawa sambil makan di restauran masih tetap ingat Yo Ko dan Kwee Siang atau tidak? Benarkah mereka datang karena “Sin Tiauw Hiap Lu”? Terpikir apakah nanti setelah seratus tahun, tetapkah “Sin Tiauw Hiap Lu” disukai orang?
Manakah yang akan lebih awet bertahan? Cerita tentang akal Khong Beng mendapatkan panah? Atau kisah Yo Ko?
Yang jelas sebuah tembok kota telah dibangun lagi. Kebetulan juga karena tembok yang lama, entah kenapa, tidak pernah benar-benar habis seperti di kota-kota yang lain.
Salam,
Harry Alim.
(Disampaikan oleh Akhmad Bukhari Saleh)
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua