Budaya-Tionghoa.Net | Bab IV Peranan geisha dalam dunia modern . Daftar nama geisha dalam sejarah Tiongkok amat banyak, seperti Gu Hengbo顧橫波, Dong Xiaowan 董小宛, Li Shishi 李師師, Chen Yuanyuan 陳圓圓, Ma Xianglan 馬湘蘭, Sai Jin Hua 賽金花, Wang Cuijiao 王翠翹. Semuanya tercatat baik yang berlaku buruk, percintaan yang tragis, akhir yang bahagia, menjadi pahlawan seperti Wang Cuijiao dalam melawan bajak laut atau juga berketrampilan dalam seni sulaman, kaligrafi, lukisan, yang mana karya mereka ada yang di simpan dalam museum nasional Tiongkok maupun Taiwan, seperti karya Li Xiangjun, Liu Rushi dan lainnya. Dalam hal karya sastra, mereka diakui memiliki peranan luar biasa terutama pada sajak Tang dan Song, menunjukkan bahwa walaupun masyarakat pada umumnya memandang rendah tapi tetap mendapatkan tempat dalam perkembangan dunia sastra.
|
Jika pengertian geisha diletakkan dalam dunia modern, maka geisha bisa disetarakan dengan lady escourt atau escourt girl, dimana lady escourt tidak hanya menjual kecantikan juga harus memiliki pengetahuan. Dalam dunia modern ini, para bisa ke karaoke dan ditemani oleh para gadis yang ada di sana. Yang membedakan adalah para gadis di karaoke hanya menyanyikan lagu yang bukan ciptaan mereka, tidak pernah terdengar ada gadis karaoke yang menciptakan lagu. Atau juga tempat-tempat pelacuran, baik yang elite maupun yang kelas bawah, para pelacur itu menjadi sekedar obyek pemuasan seks para pria. Tidak ada lebih dan tidak kurang, walau tidak dipungkiri ada pria yang ke tempat pelacuran itu mencari hiburan selain seks. Berbeda dengan geisha yang memang memiliki ketrampilan dan pengetahuan yang mendalam, saya sebut mendalam karena mempelajari kitab klasik dan membuat puisi itu memerlukan rasa akan seni dan pemahaman yang tidak dangkal. Geisha dalam bentuk qinglou ini sudah lenyap di Tiongkok tapi di Jepang, budaya ini masih ada dan mendapatkan tempat di masyarakat Jepang.
Pengaruh bagi perkembangan modern, seperti yang sempat disinggung di atas, bahwa pemerintah Tiongkok meneruskan usaha rakyat jelata yang menghargai para geisha yang memberikan kontribusi positif ataupun mengenang mereka yang tragis nasibnya dengan membangun kuil penghormatan. Tentunya ada alasan dibalik apa yang dilakukan Tiongkok.
Misalnya dengan merenovasi kuil Liang Hongyu, bagi penulis tindakan itu lebih bertujuan memberikan semangat bagi rakyat Tiongkok akan cinta tanah air dan semangat berkorban, dan hal itu tidak hanya oleh pemerintah Tiongkok saja, tapi jika melihat gerakan revolusi kebudayaan yang menghancurkan budaya mereka sendiri, tindakan pemerintah Tiongkok dapat dipahami sebagai upaya mengisi kekosongan spiritual masyarakat Tiongkok dan memompa semangat nasionalismenya. Jika pemerintah Tiongkok membangun kembali kuil Liang Hongyu lebih kepada symbol negara dan symbol bangsa, bagi rakyat yang membangun kuil Liang Hongyu maupun dengan memberikan nama Xue Tao yang terkait dengan tempatnya ia tinggal adalah memberi ruang bagi wanita yang tersisih itu di dalam budaya paternalistic.
Dalam hal perkembangan seni sekarang ini, kisah yang mengelilingi para geisha itu diangkat kembali melalui film serial dan juga layar lebar. Diskusi tentang mereka merebak kembali, buku-buku yang membahas mereka juga diterbitkan dan dituliskan oleh para sejarahwan Tiongkok maupun sastrawan Tiongkok. Sebut saja nama seperti Meng Sen 孟森, Lu Xun 魯迅, Kong Qingdong 孔慶東 dan masih banyak lainnya. Yang unik adalah ejekan yang berkembang dalam masyarakat luas terhadap para kaum pelajar yang pada masa damai terlihat cinta tanah air, berjiwa patriot dan gagah berani, tapi saat menghadapi musuh, lebih banyak yang takluk dan takut akan mati. Berbeda dengan para geisha yang jika kita membaca kisahnya mereka, jiwanya lebih tegar dan berani. Karena itu walau dalam masyarakat paternalistic dan memandang rendah para pelacur, tapi semangat para geisha itu tidak lenyap begitu saja.
Di jaman dahulu, qinglou dengan geisha itu menjadi alat control kekuasaan yang dibentuk oleh pemerintah hingga dinasti Qing menghapuskan qinglou yang ada dibawah pemerintahan atau yang disebut guanji 官妓.[15] Kemudian tempat pelacuran swasta menggantikan posisi negara, dan di masa sekarang ini, tempat pelacuran berkembang, tapi seperti yang ditulis di atas, para pelacur yang ada sekarang ini lebih ke arah perdagangan seks semata. Dan di Jakarta sendiri ternyata banyak qinglou-qinglou yang menyediakan tari strip tease dengan penari-penari dari manca negara. Berbeda dengan para stripper local yang biasanya hanya menari-nari tidak lebih dari setengah jam dan selebihnya melakukan pendekatan personal untuk urusan kencan lanjutan, para stripper bule itu lebih banyak unjuk kebolehan dengan menari seksi.[16] Bisakah stripper itu dikategorikan geisha ? Apakah tari striptease termasuk seni ? Atau pertunjukkan mengumbar syahwat pria saja ? Hal ini sulit dijawab secara mudah. Bisa dikatogerikan sebagai seni erotis yang mengandung nilai estetika.
Peranan geisha di awal abad 20 juga ternyata menghebohkan dan membuat inspirasi. Contohnya adalah Margaretha Geertruida Zelle (1876 – 1917 ) atau yang dikenal dengan nama panggung Mata Hari, adalah salah satu contoh geisha dalam format dunia barat yang memiliki peranan dalam perang dunia pertama[17]. Selain itu, dari Tiongkok, ada geji yang bernama Sai Jinhua 賽金花 ( 1870-1936 ) yang memiliki peranan penting sebagai negosiator dan juga translator bahasa Jerman di akhir perang Boxer ( 1900-1901 ), dimana ia menghadapi Alfred Graf Von Waldersee ( 1832-1904 ).[18] Yang satu adalah sebagai mata-mata dan satunya sebagai negosiator.
Apakah ada geisha-geisha dalam bentuk lainnya di jaman modern ini ? Jika kita tilik pada masa lampau, masa pra kapitalisme modern ada control yang jelas dan berada di ranah public, sekarang ini di kapitalisme modern menjadi ranah pribadi, lihat saja di internet, kita bisa menemukan ribuan yang menawarkan jasa sebagai lady escourt. Dari yang terkontrol menjadi yang lepas control, dari ranah public ke ranah private. Sehingga kita tidak bisa tahu dengan jelas siapakah yang menjadi lady escourt, karena mahasiswi sekalipun bisa menjadi lady escourt.
Kita bisa mendengar istilah lady escourt atau escourt girl, terdengar tapi tidak jelas. Catatan resmi hampir tidak ada mengenai lady escourt, yang berkembang hanya rumor belaka. Tapi mereka ada, hanya saja seperti para geisha dan saloniere, keberadaan mereka tidak disebut dalam sejarah resmi, kecuali beberapa geisha di Tiongkok yang dicatat dalam sejarah resmi. Lady escourt ini baru disebut dan diketahui peranannya pada saat terjadi skandal-skandal yang terkait dengan politik.
Walau demikian lady escourt tetap diperlukan sebagai alat negosiasi politik, sebut saja beberapa nama seperti Sai Jinhua 賽金花atau Li Shishi 李師師, dan rumour yang mengatakan bahwa Dewi Soekarno adalah geisha[19], dan rumour ini dibantah oleh Dewi Soekarno. Apakah Marlyn Monroe termasuk lady escourt ? Atau Donna Rice yang menyebabkan Gary Hart gagal menjadi calon presiden Amerika ? Tidak ada jejak yang jelas dan orang hanya mengira-ngiranya. Yang jelas gamblang adalah kasus “Profumo Affair” yang menghancurkan kabinet Harold Mac Millian di Inggris, dimana Profumo menjabat sebagai mentri pertahanan yang terlibat affair dengan Christine Keeler, seorang call girl agen Uni Sovyet[20]. Atau yang belum lama ini adalah skandal sex perdana mentri Italia, Bertonio Berlusconi yang melibatkan pelacur berumur 17 tahun, dimana skandal itu menggoyangkan posisinya sebagai perdana mentri Italia.
Yang bisa dipastikan adalah hubungan mereka itu bisa memberikan pengaruh-pengaruh politik dan melakukan terobosan birokrasi, seperti yang dilakukan oleh Dewi Soekarno. Dan yang perlu digarisbawahi adalah negosiasi yang melibatkan lady escourt itu hampir tidak pernah dilakukan secara terbuka dan terang-terangan.
Bab V Kesimpulan
Jika para saloniere di Eropa hanya sedikit yang terungkap dan juga para filsuf barat yang berinteraksi dengan mereka masih memandang rendah kaum wanita, tapi sejarah salon baru beberapa abad, tidak dapat dibandingkan dengan sejarah qinglou yang sudah ribuan tahun. Tentunya pengaruhnya qinglou dengan geisha tidak dapat dilihat secara pendek dan beranggapan pengaruhnya hanya sesaat. Hingga kini pengaruh mereka tetap terasa dan tidak dapat dihilangkan begitu saja. Catatan resmi kerajaan, cerita rakyat, karya kaum pelajar di Tiongkok mencatat dan pengaruh itu bahkan mempengaruhi karya novel legendaris seperti Hong Loumeng 紅樓夢 ( Impian di pavilion merah ) karya Cao Xueqin 曹雪芹 maupun novel masa modern bahkan sudah merambah ke dalam dunia game online di Tiongkok.
Peribahasa yang lahir karena Wei Zifu juga amat relevan di jaman sekarang ini, hanya saja peribahasa itu lahirnya 2000 tahun yang lalu sehingga pada masa itu tidak berpengaruh kuat. Pembangunan kuil untuk Liang Hongyu yang dibangun oleh rakyat menunjukkan bahwa masyarakat yang paternalistic bisa memberi ruang para geisha, tidak lain tidak bukan karena sumbangsih mereka terhadap masyarakat dan tentunya sumbangsih ini tidak bisa diputus pada satu periode saja, karena waktu tidak bisa diputus dan disekat.
Dari segi kekuasan dan politik, pelacuran dan para pelacur yang termasuk kelas elite tetap menjadi alat politik dan negosiasi kekuasaan dan pastinya memiliki pengaruh terhadap kultur dan system sosial masyarakat modern. Tapi masyarakat tetap sama, keberadaan mereka “sunyi” dibalik gemuruh moralitas yang berbasiskan budaya paternalistic ini. Pengaruh mereka, baik geisha maupun saloniere itu tidak terasa tapi ada, bisa menghancurkan satu pemerintahan seperti yang terjadi pada kasus Profumo. Posisi dan kehadiran mereka tetap dibutuhkan hingga saat ini, untuk menerobos birokrasi bahkan bisa mempengaruhi keputusan-keputusan politik tapi juga bisa memberikan inspirasi-inspirasi luar biasa bagi pria yang ada di dekatnya. Sayangnya, yang diungkap adalah skandal-skandal politik yang terkait dengan para wanita itu, tentunya juga ada niat politik yang bertujuan menjatuhkan lawan dengan menjadikan kasus itu bukanlah kasus yang terkait moralitas lagi tapi sudah menjadi tujuan politik. Tapi para geisha dan saloniere yang memberikan inspirasi tidak terungkap dengan luas, bahkan dikutuk dan diejek. Hanya sedikit yang bisa tampil keluar dengan nama yang harum di tengah masyarakat modern yang ternyata masih puritan dan mereka dianggap a moral.
Dengan itu, saya berkesimpulan bahwa mereka tetap memberikan pengaruh hingga jaman modern ini, apalagi dengan begitu banyak karya oleh mereka maupun orang lain tentang mereka bertebaran dari jaman dinasti Han hingga abad 21 ini, baik dari segi karya seni, politik maupun sosial masyarakat. Dan posisi mereka tetap nyata di abad 21, entah sebagai alat bargaining politik, untuk negosiasi atau juga sekedar teman kencan belaka.
Daftar pustaka :
Emka Moammar, Jakarta Undercover #3, 2007, Jakarta : Gagas Media
Gu Jing顧靜, 300 Tema Sejarah Budaya Tiongkok 中國文化是300 題, cetakan ke 6, 2004, Shanghai : Penerbit Kitab Klasik Shanghai 上海古籍出版
Hall Stuart and Bram Gieben editor, “Formations of Modernity” , 1992, Cambridge : Polity Press in association with Blackwell Publishers Ltd
Shu Xincheng 舒新城, Zhang Xiang 張相, et.al, Ci Hai 辭海, ed.5, 1994, Beijing : Zhonghua shuju Publisher 中華書局出版社
daya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua