Photo : Aktor Chang Chen memerankan figur Han Xin dalam “The Last Supper”
Courtesy : News.Cn
Budaya-Tionghoa.Net | Banyak orang yang mengenal Cao Cao sebagai seorang ahli militer yang luar biasa melalui kepopuleran kisah Sanguo Yanyi. Namun tidak banyak yang mengenai bahwa sebenarnya dalam sejarah ada satu tokoh yang menyamai, bahkan bisa dikatakan melebihi prestasi militer Cao Cao. Tokoh yang dimaksud adalah Han Xin. Pencapaian militernya lah yang sebenarnya meletakkan dasar bagi dinasti Han (漢). Salah satu masa puncak kejayaan Tiongkok yang membentuk kesatuan identitas orang Tionghoa.
|
Han Xin (韓信) hidup pada jaman kekacauan setelah dinasti pertama, dinasti Qin, dirongrong berbagai pemberontakan. Masa Han Xin adalah sekitar sekitar 250 (tidak pasti) – 196 sebelum penanggalan umum. Han Xin dilahirkan sebagai keturunan keluarga kerajaan Han (韓), salah satu dari 6 negara yang ditaklukkan Qin dalam rangka penyatuan Tiongkok. Namun, kebenaran fakta mengenai asal keturunan ini masih diperdebatkan.
Sebagai keturunan bangsawan, ataupun menganggap diri keturunan bangsawan, Han Xin selalu membawa sebilah pedang di sisinya. Pada masa mudanya, hal ini sering menjadi bahan hinaan dan penindasan terhadap dirinya. Karena tidak memiliki harta, dia seringkali harus mengemis hanya untuk makan. Suatu saat, sekawanan begundal menantang Han Xin untuk menggunakan pedangnya atau harus merangkak layaknya anjing di bawah kaki para begundal itu. Sadar bahwa dia tidak punya kemampuan melawan, Han Xin menelan bulat-bulat penghinaan ini. Penderitaan dan penghinaan ini dijadikan motivasi Han Xin selama hidupnya. Hal ini dicatat Sima Qian di dalam Shiji.
Han Xin kemudian bergabung sebagai prajurit biasa dengan pemberontakan Xiang Liang, seorang panglima negara Chu yang juga ditaklukkan Qin. Xiang Liang kemudian gugur dan digantikan keponakannya Xiang Yu, sang raja penakluk. Selama di bawah pimpinan Xiang Liang dan Xiang Yu, karir Han Xin tidak berkembang. Hal ini kemudian menyebabkan dia meninggalkan pasukan Chu. Jalan hidup Han Xin kemudian bersilangan dengan Zhang Liang, seorang ahli strategi di bawah pimpinan Liu Bang. Mengenali potensi Han Xin, Zhang Liang menuliskan surat referensi untuknya dan menyarankan Han Xin bergabung dengan Liu Bang.
Pada saat itu Liu Bang, sama seperti Xiang Yu, secara resmi mengabdi kepada raja Chu dan berhasil menaklukkan Xianyang, ibukota Qin. Xiang Yu yang menganggap Liu Bang sebagai ancaman berulang kali mencoba menyingkirkannya. Kemudian Liu Bang diberikan daerah Ba Shu (Sichuan, Chongqing, Shaanxi selatan) yang terbelakang dan terisolasi sebagai bentuk pengasingan. Han Xin yang bergabung, tidak menggunakan surat referensi Zhang Liang dan hanya menjadi prajurit biasa. Seorang panglima Liu Bang, Xiahou Ying kemudian mengenali potensi Han Xin dan merekomendasikannya kepada Liu Bang. Namun Liu Bang tidak tertarik, ada yang mengatakan Liu Bang tidak yakin dengan penampilan Han Xin, dan hanya menugaskan Han Xin untuk mengatur perbekalan pasukan. Dalam masa tugasnya ini, Han Xin berkenalan dengan Xiao He, teman dekat Liu Bang dan perdana menterinya. Xiao He sangat terkesan akan kemampuan Han Xin.
Pasukan Liu Bang kebanyakan berasal dari daerah Chu (Jiangsu dan Anhui). Perpindahan ke daerah Ba Shu menyebabkan moral mereka menurun dan banyak yang desersi. Terlebih lagi Liu Bang dari luar kelihatannya puas dengan hasil yang dicapainya dan tidak berkeinginan untuk kembali ke Zhongyuan. Ketika Xiao He dikabarkan juga ikut desersi, Liu Bang panik sekali. Terlebih lagi Xiao He hilang selama 2 hari. Xiao He kemudian kembali dengan Han Xin. Liu Bang yang penasaran kemudian mempertanyakan kenapa Xiao He hanya mengejar Han Xin walaupun banyak prajurit dan panglima yang lebih tinggi jabatannya juga desersi. Xiao He lalu kemudian merekomendasikan Han Xin sekali lagi ke Liu Bang, yang kemudian mengeluarkan surat referensi Zhang Liang. Han Xin kemudian diangkat menjadi panglima besar pasukan Liu Bang dengan sebuah acara protokoler yang megah. Hal ini untuk menegaskan kedudukan panglima besar Han Xin yang berasal dari kaum terhina. Kisah ini sangat terkenal dengan nama “Xiao He mengejar Han Xin di bawah sinar rembulan”.
Han Xin segera merancang strategi untuk menaklukkan Xiang Yu secara bertahap. Langkah pertama adalah menaklukkan 3 mantan panglima Qin yang menyerah kepada Xiang Yu. Ketiga panglima itu ditempatkan di bekas daerah Qin dan sepanjang jalan keluar Ba Shu ke Zhongyuan sebagai tindakan pencegahan terhadap gerak maju Liu Bang. Daerah Qin kemudian seluruhnya jatuh ke kekuasaan Liu Bang. Kemudian di saat Xiang Yu sibuk menghadapi perlawanan di daerah Qi (Shandong) dan Zhao (Hebei tengah), Han Xin merangkul daerah Han, menaklukkan daerah barat Wei (Shanxi selatan), menaklukkan daerah Yin (Henan utara dan Hebei selatan).
Setelah itu, Liu Bang kemudian tidak memperdulikan strategi Han Xin untuk mengepung Chu/Xiang Yu dan mempimpin pasukan menyerbu langsung Pengcheng (Xuzhou, Jiangsu), ibukota Chu, dan mendudukinya. Hal ini menyebabkan Xiang Yu mengalihkan pasukannya dari utara untuk menghadapi Liu Bang. Pasukan Liu Bang kalah total dan ia sendiri nyaris tewas, namun berhasil melarikan diri. Karena kapok, Liu Bang kemudian memutuskan mendengarkan strategi Han Xin untuk terlebih dahulu menaklukkan daerah-daerah di utara Chu dan mengepungnya. Kali ini strategi Han Xin juga didukung langsung oleh Zhang Liang.
Musim gugur 205 tahun sebelum penanggalan umum, Han Xin ini memimpin pasukan sendiri langsung menyerbu Wei dan menaklukkan Anyi (Yuncheng, Shanxi) dengan serangan kejutan. Selanjutnya ia menaklukkan daerah Dai (Shanxi utara dan Hebei barat laut), menaklukkan daerah Zhao (Hebei tengah) dalam pertempuran Jingxing yang juga dikenal dengan pertempuran sungai Tao. Dalam pertempuran ini, pasukan Han Xin yang jumlahnya jauh lebih kecil mampu mengalahkan pasukan Zhao dengan mengimplementasikan taktik penyusupan ke garis belakang musuh. Dari garis belakang, pasukan Zhao seolah-olah telah terkepung dan menimbulkan kepanikan luar biasa. Di garis depan pertempuran, Han Xin memaksa pasukannya untuk bertahan membelakangi sungai Tao dan menyebabkan pasukannya harus bertempur sepenuh hati karena jalan mundur ke belakang sudah tidak ada, terhalang oleh sungai. Setelah Zhao takluk, Yan (Hebei utara, Tianjin, Beijing, Liaoning barat) menyerah.
Tahun berikutnya, Liu Bang merencanakan penaklukan daerah Qi (Shandong). Untuk itu Han Xin diperintahkan mempersiapkan pasukan. Seorang diplomat, Li Yiji juga diutus untuk membujuk Qi takluk. Li Yiji kemudian berhasil membujuk Qi bergabung sebagai sekutu. Han Xin tidak diberitahu atas keberhasilan Li Yiji (ada yang mengatakan ia cemburu atas keberhasilan Li Yiji) memutuskan untuk menyerang Qi. Tindakan ini menyebabkan Li Yiji dihukum mati di Qi dengan cara direbus hidup-hidup. Dalam pertempuran di sungai Wei, pasukan Qi yang bergabung dengan pasukan Chu berhadap-hadapan dengan pasukan Han Xin. Sekali lagi dia menerapkan taktik yang luar biasa dengan membendung aliran sungai di hulu lalu memancing pasukan musuh menyeberangi sungai. Setelah sepertiga pasukan Qi-Chu sampai ke seberang, bendungan itu dibuka dan menyebabkan pasukan Qi-Chu yang masih ada di sungai habis tersapu air bah. Moral sisa pasukan yang tertinggal turun drastis dan pasukan Han Xin menyapu bersih mereka. Cara Han Xin menipu pimpinan pasukan Chu-Qi adalah dengan memanfaatkan insiden penghinaan dirinya sendiri. Kisah Han Xin yang dihina dengan merangkak di bawah kaki orang kala itu telah tersebar luas. Menganggap bahwa Han Xin adalah seorang pengecut, para panglima Qi-Chu tanpa ragu mengejar pasukan Han Xin yang pura-pura mundur ke seberang sungai dengan cara menyeberangi sungai yang telah sangat dangkal karena airnya dibendung di hulu.
Han Xin kemudian meminta gelar Pangeran Qi (Qi Wang) kepada Liu Bang sebagai balas jasa atas kemenangannya. Takut Han Xin bakal memberontak, Liu Bang tanpa pilihan menganugrahkan gelar itu. Apalagi setelah itu, Xiang Yu mengirim seorang diplomat untuk membujuk Han Xin membelot ke pihaknya. Penasehat Han Xin sendiri juga berupaya membujuknya agar berdiri sendiri, lepas dari Liu Bang. Faktor-faktor ini ditambah kematian Li Yiji kemudian sangat menentukan terhadap akhir hidup Han Xin. Berikutnya, Han Xin bersiap-siap untuk menginvasi Chu. Dalam persiapan invasi ini, Han Xin kemudian menciptakan Xiangqi (catur gajah) sebagai alat percobaan strategi. Xiangqi sampai sekarang merupakan salah satu permainan catur yang digemari.
Posisi Xiang Yu yang terjepit, dikepung dari utara dan barat menyebabkan ia mengajukan perjanjian perdamaian. Liu Bang sendiri yang khawatir akan agresivitas Han Xin ditambah kemungkinan pemberontakan Ying Bu dan Peng Yue (panglima-panglima Liu Bang) juga memutuskan pilihan berdamai setelah berperang selama 8 tahun.
Sejarah kemudian mencatat, hanya 2 bulan setelah perjanjian itu Liu Bang memutuskan untuk menghabisi Xiang Yu. Ada yang mengatakan tindakan itu penghianatan, ada yang mengatakan mengambil celah kesempatan. Untuk itu Liu Bang memanggil bala bantuan pasukan dari Han Xin dan Peng Yue. Awalnya keduanya mengulur-ngulur waktu dan cenderung menolak mengirimkan pasukan. Hanya setelah diberikan janji penganugerahan wilayah, mereka berdua kemudian bergabung dalam peperangan.
Pasukan Han (Liu Bang) di bawah pimpinan Han Xin kemudian mengepung Chu (Xiang Yu), menyebabkan mereka desersi dengan taktik perang psikologi. Memaksa sanak saudara pasukan Chu yang tertangkap untuk memainkan musik Chu pada malam hari. Dengan hanya sedikit pasukan yang tersisa, Xiang Yu nekad bertempur dan terakhir membunuh dirinya sendiri. Sesuai janji, Han Xin kemudian dianugerahkan sebagian besar bekas wilayah Xiang Yu dan diberi gelar Pangeran Chu (Chu Wang). Liu Bang sendiri naik tahta menjadi kaisar mendirikan dinasti Han, ia kelak dikenal dengan gelar kaisar Han Gaozu.
Han Xin, sang pungguk itu telah berhasil meraih rembulan. Dia kemudian mengunjungi kampung halamannya untuk membalas jasa. Kepada nenek tua yang telah memberikan makanan sewaktu ia mengemis, dia berikan 240,000 liang emas (kurang lebih sekitar 1200kg emas). Untuk begundal yang telah memaksanya merangkak di bawah kedua kakinya, diberikan jabatan sebagai kepala keamanan (polisi) di “ibukota” (Huaian, Jiangsu) daerah Han Xin.
Merasa terancam oleh kekuasaan Han Xin, kaisar dan permaisuri Han kemudian merancang berbagai tuduhan dan jebakan percobaan pemberontakan kepadanya. Han Xin dijebak dengan cara diundang untuk resepsi di Chenqiu (Zhoukou, Henan). Di sana dia ditangkap, kekuasaan militernya dicopot, daerah kekuasaannya ditarik kembali dan gelarnya diganti menjadi Huaiyin Hou (Hou – gelar bangsawan tingkat tertinggi kedua di bawah gelar Gong). Lebih tragis lagi, Chen Xi (teman Han Xin) memberontak, ia dikaitkan dengan pemberontakan itu dan dieksekusi. Seluruh keluarganya juga dieksekusi. Akhir yang tragis.
Dari Han Xin, kita bisa belajar bagaimana perlunya untuk menelan penghinaan demi masa depan. Dari seorang pengemis dan terhina, ia menjadi panglima dan penguasa wilayah. Kita juga harus selalu ingat bahwa ketika sudah mencapai puncak, kita harus selalu mawas diri. Lain dengan Zhang Liang, ia tahu kapan harus mengundurkan diri, sehingga terhindar dari akhir yang tragis seperti Han Xin.
Mengundurkan diri di kala berhasil, inilah Tian zhi Dao.
Catatan bedakan: kerajaan Han (韓) taklukan Qin dimana Han Xin adalah salah satu keturunannya dengan kekaisaran Han (漢) yang didirikan Liu Bang.
Hormat saya,
Yongde
Budaya-Tionghoa.Net |Mailing-List Budaya Tionghua | Facebook Group Budaya Tionghoa