Budaya-Tionghoa.Net | Akhirnya terobati juga keinginan membaca ulang karya Wang Dulu, walaupun cerita yang ini konon belum pernah diterbitkan di Indonesia sebagai buku cetak, Kanglam Hiapsoe sudah ada ditangan dan bisa dinikmati. Sebetulnya ini satu keinginan yang sudah terpendam lama. Tetapi mana berani menguarkan dan mengharap satu wan-gwee mendermakan atau meminjamkan bukunya? Ketika orang masih memegang prinsip bahwa meminjamkan buku adalah satu kebodohan tetapi mengembalikan buku pinjaman adalah satu ketololan lebih luar biasa.
|
Masa itu lewat sudah, sekarang ke mana pikiran segera melayang setelahmembaca Kanglam Hiapsoe?
Walaupun cerita ini dibuka di satu desa di luar kota Lokyang (Luoyang) di Holam (Henan), tak pelak lagi pikiran segera melayang ke satu kota kecil bernama Pingyao, Shoa Say (Shanxi), kurang lebih 300 km di sebelah utara Lokyang.
Kota Pingyao adalah satu kota kecil yang dibangun dari dinasti Beng (Ming) dan mencapai puncaknya pada dinasti Tjeng (Qing). Syukurnya kota ini terselamatkan dari kehancuran oleh banyak
perang dan terakhir dari revolusi kebudayaan tahun 1967, sehingga dapat dikatakan 80 persen masih utuh seperti kota jaman dahulu.
Beberapa bagian memang mengalami perubahan karena kota ini sampai sekarang tetap dihuni, sedangkan sebagian besar yang masih utuh sekarang di renovasi dikembalikan ke suasana jaman dahulu itu. Dan bahkan kota ini sekarang agaknya sudah ditentukan sebagai kota warisan kebudayaan dunia oleh UNESCO.
Jalanan di Pingyao tidak terlalu lebar, tetapi berjalan di atasnya bagaikan kembali ke masa lalu. Kota ini masih di kelilingi penuh oleh tembok kota, dengan empat pintu utama di timur, barat, utara dan selatan. Jalur utama menghubungkan pintu barat dan timur, satu lagi menghubungkan pintu utara dan selatan. Di dalam kota, seperti typikal kota waktu itu dibagi menjadi blok-blok yang dibelah oleh jalan dari utara ke selatan dan timur ke barat.
Beberapa rumah bekas milik hartawan jaman dahulu dipamerkan. Memasuki rumah itu seakan kembali ke masa dulu seperti yang sering ditulis oleh pengarang cerita silat. Walaupun tidak semua pengarang cersil mampu memberi deskripsi yang cukup jelas tentang rumah seorang hartawan dulu. Mungkin cuma WangDuLu yang cukup baik memberikan gambaran semacam itu.
Beberapa rumah ini mempunyai halaman dalam (inner courtyard) yang terkadang lebih dari satu. Begitu memasuki gerbang utama rumah, seorang tamu berada seperti dalam ruang penerimaan. Dan kemudian ada halaman dalam. Di sebelah kiri dan kanan ada ruangan yang menghadap ke halaman dalam. Berapa lebar halaman pertama dan berapa panjangnya, tergantung berapa kaya seseorang.
Apa fungsi ruangan di samping, bisa jadi untuk pelayan dan penjaga pintu. Dan di belakang halaman ini adalah ruang utama untuk menerima tamu. Seperangkat kursi lengkap dengan segala pernik hiasan, apakah toeilian atau lukisan bisa jadi menghias ruangan ini.
Biasanya dibalik ruang tamu ini ada lagi halaman. Inilah halaman yang kedua. Inilah halaman yang bersifat lebih private. Lagi-lagi di sebelah kiri dan kanannya ada kamar kamar, yang bisa berfungsi macam2. Dan di belakangnya bisa jadi ruang duduk keluarga. Tergantung berapa kaya seseorang. Untuk keluarga yang lebih kaya bisa jadi ada halaman ketiga.
Begitu seterusnya hingga ke ruang makan, ruang duduk, kamar tidur. Di satu rumah ada yang paling belakang adalah istal kuda dan ruang kereta. Jadi tinggal berapa kaya dan kemudian tinggal di buat berapa lapis dan berapa lebar.
Banyak hal bisa jadi menjadi feature utama satu halaman atau satu ruangan, bisa jadi hanya pohon bouwtan saja, seperti yang ditulis oleh WangDuLu di KangLam HiapSoe atau bisa jadi sebuah bonsai yang indah atau sesuatu yanglain, bisa jadi cuma kaligrafi. Ada berapa rumah dipamerkan, dengan perbedaan aristektur di sana- sini antara satu rumah dengan yang lain.
Beberapa rumah bahkan diubah sedemikian sehingga pelancong bisa menginap di sana. Melihat kamar yang disediakan, sungguh cukup mencengangkan. Walau kamarnya tetap seperti jaman dulu tetapi toiletnya benar-benar sudah memenuhi standard hotel di barat sana.
Beberapa turis barat malah bilang, memang ini yang mereka inginkan, menikmati kamar dengan segala macam perabotannya (furniture) seperti jaman dulu, menginap di Tiongkok pada jaman kerajaan dan bisa menikmati mandi air hangat seperti jaman sekarang.
Jadi bisa saja sekedar jalan-jalan di sana atau ingin menginap di sana, atau ingin menghabiskan beberapa waktu utnuk memotret elemen- elemen arsitektur setiap rumah yang dikunjungi, atau sejarahnya. Bisa dipastikan membuat diri sibuk selama satu atau dua hari mudah dilakukan. Atau mengawasi orang lalu lalang saja, cukup asyik juga.
Wang Dulu mengarang dengan memberikan atau menghidupkan atau paling tidak membayangkan realitas keadaan jaman itu, lebih dibandingkan pengarang2 yang lain. Membaca Kanglam Hiapsoe mungkin tidak memberikan kejutan seperti membaca karya Chin Yung atau Khu Lung, tetapi toh tetap mengikat dengan deskripsi yang jelas tentang masyarakat di satu jaman, dan memberi kejutan secara lain. Apakah Siauw Kim akan terangkap jodohnya dengan si Kanglam Hiapsoe? Bagaimana cara pengarang mempertemukan kedua insan ini?
Bisa jadi istimewanya Wang Dulu justru di sana, kita seperti kembali ke suasana waktu itu. Walaupun demikian toh Wang Dulu tetap mengikuti konvensi umum penulis, pada waktu awal cerita di mana tempo yang diharapkan oleh pembaca masih lambat, banyak deskripsi bisa dimasukkan, tetapi pada saat tempo meningkat dan pembaca mengharapkan klimaks, deskripsi tentang sesuatu keadaan juga lebih dikurangi. Tetapi ini masuk ke diskusi yang lebih menyangkut tehnik bercerita.
Bagaimana pun dibandingkan dengan Chin Yung, Liang Ie Shen maupun Khu Lung, Wang Dulu memang memberikan deskripsi yang lebih banyak dibanding ketiga pengarang itu, dan karenanya menduduki posisi tersendiri.
Mencapai Pingyao tidak susah sekarang, ada dua pilihan, naik kereta api yang langsung berhenti di Pingyao atau naik kereta api yang berhenti di Taiyuan, ibukota propinsi Shanxi, kemudian melanjutkan perjalanan ke Pingyao bisa dengan bus, taksi atau kereta api.
Karena Pingyao bukan kota besar dan tidak terletak di jalur utama kereta api, tidak banyak kereta jauh yang berhenti di sini. Jadi tergantung dari mana asal kedatangan, bisa jadi mudah atau sedikit susah.
Memang kalau dari Beijing ada pilihan berhenti langsung ke Pingyao, sedang kalau dari kota lain lebih baik ke Taiyuan baru pindah kendaraan yang ke Pingyao.
Bagaimana pun setelah sampai di Taiyuan, cukup mudah pergi ke Pingyao, karena popularitasnya. Dan Pingyao hanya satu setengah jam dengan bus dari Taiyuan, kurang lebih 100 km di selatan Taiyuan.
Pingyao sendiri terletak agak jauh sedikit dari stasiun kereta api, tapi masih cukup dekat. Dari stasiun kereta bisa naik taksi yang tersedia banyak sekali.
Tumbuhnya turisme telah menjadikan Pingyao kota lama sebagai satu tontonan, sedang suatu kota PingYao baru tumbuh di sampingnya untuk melayani Pingyao yang lama itu. Boleh dibilang Pingyao sukses di mata turis lokal maupun turis mancanegara.
Setelah terputus dari akarnya selama beberapa tahun, agaknya orang lokal pun kembali menggali hubungan dengan masa lalunya. Apalagi itu dimungkinkan dengan datangnya kemakmuran. Waktu liburan kota lama itu jadi hidup lagi karena penuh dengan turis lokal. Hal itu membuat orang ada yang senang, ada yang tidak. Ya kalau ramai tentu saja timbul kerepotan-kerepotan baru.
Untuk pulang dari Pingyao bisa jadi juga tidak terlalu mudah, terutama kalau ingin kembali ke Beijing atau tujuan kota lain tetap dengan naik kereta, karena PingYao bukan stasiun besar. Apalagi kalau tidak menginap di Pingyao. Mending kalau menginap, sebab pengurus penginapan bisa membantu memesankan tiket kereta. Tetapi pada waktu ‘high season’ bisa jadi tetap susah.
Bagaimanapun semuanya jadi mudah setelah berada di Taiyuan. Jadi pilihlah pergi Taiyuan, dan kemudian bisa naik pesawat, kereta atau bus ke tempat tujuan yang lain.
Seorang teman tertawa mendengar cerita suka-duka pergi ke Pingyao, bagaimana awalnya begitu mudah pergi ke Pingyao dari Beijing dan akhirnya begitu sulit kembali ke Beijng sehingga harus naik bis malam, di saat winter lagi, dan ditambah cerita bagaimana air membeku di pelataran tempat menunggu bis malam. Sehingga ketika bis berhenti mengisi bensin di tengah jalan, turun ke toilet pun membuat seluruh badan menggigil kedinginan. Katanya, kenapa tidak pergi ke Rembang saja? Atau Lasem?
Memang benar, Rembang atau Lasem saat ini mungkin masih banyak menyimpan rumah besar dengan arsitektur Tiongkok yang khas demikian. Untuk melihat dan mempelajari arsitektur rumah per rumah bisa jadi pergi ke Rembang atau Lasem cukup memenuhi syarat. Memang betul banyak sudut kota yang khas.
Tetapi secara keseluruhan yang berbeda tentu saja suasana kotanya, suasana gang-gangnya yang sempit, suasana jalan dan terutama inilah kota yang masih mempunyai tembok penuh yang mengelilingi kota. Kalau ingin melihat kota seperti yang digambar oleh SiauwTikKwie di cerita komik serial SieDjienKwie, ya inilah contohnya.
Bisa jadi rumah yang di Rembang atau Lasem, walaupun arsitektur tata ruang masih sama dengan yang di Tiongkok, tetapi sudah mengalami perubahan disesuaikan dengan iklim tropis. Contohnya adalah penggunaan papan kayu misalnya, sedang yang di Pingyao masih menggunakan batu bata yang tebal karena untuk melawan musim dingin yang lebih keras, yang membekukan air sehingga menjadi es.
Entah yang di Rembang dan Lasem bisakah bertahan terhadap arus modernisasi jaman? Adakah yang mempunyai keinginan mempertahankan kekunoan itu sebagai warisan budaya?
Membandingkan arsitektur di sana dan di sini, seperti halnya membandingkan Wang Dulu dan Chin Yung, kedua-duanya tetap menghasilkan cerita silat, walaupun masing-masing menggunakan cara yang berbeda untuk mengikat pembacanya sampai ke titik yang terakhir. Walaupun di Kanglam Hiapsoe tidak ditemukan tokoh seperti Tjioe Pek Thong atau Thiansan Tonglo, tetapi tetap saja Kanglam Hiapsoe adalah cerita yang menarik dan pantas untuk dipujikan. Mengikuti cara yang dipakai pengarang untuk mengikat pembacanya, juga sesuatu yang menarik.
Jangan salahkan setelah selesai membaca kalau juga ingin melihat/melancong ke kota Pingyao kemudian. Benar-benar seperti naik mesin waktu kembali ke masa silam. Berharga.
Harry Alim , 27636
Budaya-Tionghoa.Net |Mailing-List Budaya Tionghua
Photo Credit (by Admin)
1. Severin Stalder , “View From Market Tower” , 19 Juni 2012, Creative Commons Attribution-Share Alike 3.0 Unported
2. Peellden, “The Wall of Ping Yao city, Shanxi, China 平遙城牆,中國山西。”, 17 Juli 2007 , Public Domain
3. Benzh, “A street in the Old Town of Pingyao” , Agustus 2005 , Public Domain