Budaya-Tionghoa.Net | Pada bulan Mei 2007 yang lalu sebuah buku yang berjudul “May 13: Declassified Documents on the Malaysian Riots of 1969” tulisan Dr. Kua Kia Soong telah diterbitkan di Malaysia menjelang peringatan 38 tahun peristiwa kerusuhan rasial di Malaysia pada tahun 1969 itu.
Buku ini telah menimbulkan kehebohan yang memancing perhatian publik yang cukup besar baik di Malaysia maupun di Singapura, karena didalam buku tersebut Dr. Kua mengungkapkan latar belakang politik dan pelaku utamanya dalam peristiwa rasialis yang memakan korban banyak jiwa tersebut, terutama dari golongan Tionghoa.
|
Bahan-bahan yang menjadi sumber penulisan buku itu bersumber dari dokumen, laporan dan surat-surat yang sudah dikategorikan sebagai bukan rahasia lagi (declassified documents), yang disimpan di Public Records Office di London. Dengan demikian maka umum dapat mengaksesnya.
Buku May 13 ini telah membuat partai yang berkuasa UMNO menjadi berang, karena fakta-fakta yang diungkapkan itu menggoyahkan dasar legitimasi kekuasaan UMNO dan versi mengenai peristiwa kerusuhan rasial 1969 yang diungkapkan dalam buku itu juga bertentangan dengan versi resmi pemerintahan.
Oleh karenanya maka buku-buku itu disita oleh pemerintah Malaysia (Internal Security Ministry) yang baru saja diluncurkan dan dijual pada beberapa toko buku, tetapi PM. Malaysia Badawi ketika itu berjanji bahwa buku tersebut tidak akan dilarang.
Buku ini menyebutkan bahwa latar belakang peristiwa kerusuhan rasial 13 Mei 1996 itu adalah sebuah bentuk plot atau rekayasa yang digerakkan oleh golongan kapitalis negara yang didukung oleh militer dan polisi, sebagai dalih untuk menggusur PM. Tunku Abdul Rahman yang dianggap mewakili golongan bangsawan dan sekaligus untuk menegakkan dominasi golongan Melayu
Dr. Kua menulis bahwa kudeta yang didukung oleh militer dan polisi terhadap Tunku Abdul Rahman adalah tanda kemunculan kelas kapitalis negara baru di tubuh Aliansi yang didominasi oleh UMNO dan bersimpati dengan ekonomi Barat (“in fact, coup d’tat backed by the army and police to place the “ascendant capitalist class” in power or those elements in the Malaysian Alliance who were more favorable to the western economics………………..to size control of the reign of power from the old aristocrats to implement the new Malay agenda”).
Selama ini versi resmi pemerintah tentang kerusuhan rasial ini adalah dipicu oleh “provokasi” yang dilakukan oleh golongan oposisi (DAP dan Gerakan) yang didominasi oleh golongan Tionghoa dalam pawai kemenangan pemilu di Kuala Lumpur dan beberapa tempat lainnya mengunggulkan Partai Aliansi yang berkuasa ketika itu.
Versi resmi pemerintah ini dibantah oleh Dr. Kua Kia Soong didalam bukunya, disebutkan bahwa kerusuhan 13 Mei itu bukanlah sebuah peristiwa yang spontan terjadi, melainkan sebuah rekayasa yang dilakukan oleh Tun Abdul Razak dan pengikutnya di UMNO untuk menggusur Tunku Abdul Rahman.
Kesimpulannya adalah bahwa peristiwa 13 Mei 1969 di Malaysia ketika itu lebih merupakan sebuah bentuk “state terorrism” atau “shock treatment” terhadap salah satu kelompok warganya untuk tujuan politik tertentu daripada kerusuhan yang berdasarkan konflik antar etnis.
Setelah peristiwa 13 Mei tersebut terjadi, tak lama kemudian Tun Abdul Razak naik ke panggung kekuasaan menggantikan Abdul Rahman. Tun segera mengimplementasikan program NEP (New Economic Policy) atau disebut juga sebagai Kebijakan Ekonomi Baru (KEB,) pada tahun 1971 sebagai bentuk”affirmative action” untuk mengukuhkan dominasi golongan Melayu di bidang perekonomian, pendidikan, pekerjaan dll.
Didalam buku itu juga diungkapkan insiden-insiden secara kronologis yang mengindikasikan adanya sebuah rekayasa seperti:
Sebelumnya sudah tersebar rumor-rumor akan terjadinya kerusuhan rasial.
Para provokator dan pelaku utamanya adalah preman-preman (samseng) Melayu yang didatangkan dari luar kota ke Kuala Lumpur dan kota lainnya dengan kendaraan truk yang terorganisir (“….and the riots were works of “Malay thugs” orchestrated by politician behind the coup.”).
Selain preman, UMNO yang mendominasi Partai Aliansi, juga mengorganisir dan mempersiapkan elemen-elemen pemuda Melayu di tempat kediaman Menteri Besar Selangor Harun Idris untuk melakukan aksi kerusuhan rasial, seperti berita yang dilaporkan oleh koresponden asing.
Pihak keamanan seperti polisi dan tentara membiarkan para perusuh dan preman tersebut serta warga Melayu lainnya yang terpancing, untuk melakukan aksi kekerasan terhadap warga Tionghoa, bahkan beberapa kesatuan keamanan berpihak pada perusuh dengan menembaki pertokoan warga Tionghoa di Kuala Lumpur seperti yang disaksikan oleh wartawan asing yang melaporkan dimana “Royal Malay Regiment” menembaki pertokoan-pertokoan orang Tionghoa tanpa alasan.
Tentara dan Polisi Malaysia yang dianggap selama ini dianggap ampuh dalam menumpas gerilyawan Komunis, sepertinya tidak berdaya untuk mengontrol situasi dan membiarkannya sampai berhari-hari aksi kekerasan itu berlanjut tanpa melakukan tindakan serius untuk melindungi warga Tionghoa.
Geng-geng Melayu yang bersenjatakan golok (parang) dan bambu runcing berkumpul pada persimpangan-persimpangan jalan disaksikan dihadapan mata aparat Kepolisian dan Militer tanpa ada aksi untuk mencegahnya, bahkan diindikasikan secara diam-diam mendukungnya.
Jam malam yang diberlakukan di Kuala Lumpur tidak berlaku sama bagi semua golongan, pada pemukiman Tionghoa diberlakukan dengan ketat, sedangkan di pemukiman sektor Melayu, jam malam ini diberlakukan secara longgar , sehingga geng-geng perusuh bebas menyusup ke permukiman warga Tionghoa untuk menyerang atau membakar rumah/pertokoannya.
Pencetus kerusuhan rasial yang membawa korban hampir 200 jiwa di KL itu disalahkan ke pihak golongan Tionghoa yang dianggap memprovokasi, dan ini adalah alasan klassik untuk “blaming the victim” (menyalahkan korbannya), selain itu juga Tun Abdul Razak juga menuduh komunis sebagai salah satu penggeraknya.
Yang ikut menarik perhatian adalah adanya dugaan keterlibatan CIA dalam peristiwa ini. Dokumen rahasia dari kabinet Inggris menyebutkan bahwa seminggu setelah peristiwa itu terjadi Dokumen CIA menyebutkan bahwa peristiwa yang dipicu oleh Tun Razak itu bertujuan untuk mengformalkan dominasi golongan Melayu, menggeser posisi golongan Tionghoa dan menyingkirkan Tunku Abdul Rahman (CIA had figure out what Tun Razak was planning-“to formalise Malay dominance, sideline the Chinese and shelve the Tunku”).
Perlu disebutkan juga bahwa beberapa lama sesudah peristiwa itu terjadi, CIA melengkapi dan membantu memobilisasi satuan-satuan militer baru Malaysia. (Immediately after May 13 incident in Malaysia, CIA supplied, equiped and helped new Malay Regiment in Malaysia…….Their hand in May 13 is smaller than in Indonesia but still there nevertheless).
Dalam era perang dingin sesudah perang dunia ke II, Amerika dan Barat mencurigai komunitas keturunan Tionghoa yang hidup tersebar di hampir seluruh negara-negara Asia Tenggara sebagai potensi lawan yang akan berpihak ke Tiongkok yang komunis dan hal ini dianggap dapat merugikan kepentingan Barat dan sekutunya di era perang dingin ketika itu.
Untuk menetralisirnya, maka banyak badan intelijen Barat seperti CIA, M15 (Inggris), ASIS (Australia) aktif berkerja dan tersebar di negara-negara ini, dan badan intelijen ini sering dicurigai terlibat atau memprovokasi sebuah konflik rasial yang terjadi antara komunitas Tionghoa dengan penduduk setempat. http://www.counterpunch.org/gray05262007.html
Hal ini dilakukan sebagai bagian dari strateginya untuk mengisolasi Tiongkok agar tidak terjadi koalisi atau poros kerja sama antara negara Asia Tenggara dengan Tiongkok atau negara blok Sosialis lainnya, apalagi ketika itu perang Vietnam sedang berkecamuk.
Buku Dr. Kua ini tentu saja menimbulkan perdebatan yang kontroversial dan pro-kontra, karena adanya fakta-fakta baru dan dokumen yang diungkapkan.
Terlepas dari pro dan kontra-nya, ada sesuatu yang memancing perhatian dari apa yang diungkapkan oleh buku tersebut, yaitu bahwa apa yang terjadi pada peristiwa kerusuhan di Malaysia 13 Mei 1969 itu, hampir memiliki banyak persamaan dan kemiripan dengan peristiwa kerusuhan Mei 1998 di Indonesia, hanya skalanya yang lebih luas.
Kemiripan-kemiripannya antara lain yaitu:
Dugaan yang serupa yaitu bahwa kedua kerusuhan itu diperkirakan bukan sebuah peristiwa konflik rasial yang spontan terjadi, melainkan sebuah aksi rekayasa untuk suatu tujuan politik.
Tanggal dan bulan peristiwa kerusuhan yang sama yaitu tanggal 13 Mei (D-Day), hanya tahun kejadiannya saja yang berbeda.
Adanya rumor-rumor yang tersebar sebelum peristiwa terjadi.
Terlibatnya preman-preman (samseng Melayu) yang terorganisir, mulai dari alat transportasi hingga logistik yang disediakan dalam melancarkan aksi kekerasan itu.
Aparat keamanan tidak bertindak tegas untuk menyetop aksi kekerasan itu dan bersikap pasif, bahkan terkesan sengaja membiarkan aksi kekerasan itu berlanjut.
Komunitas Tionghoa dan warga lainnya yang menjadi sasaran tidak mendapatkan perlindungan yang serius dari pihak keamanan.
Mungkin yang menarik untuk menjadi perhatian adalah motivnya yang kurang lebih hampir sama yaitu menghapus posisi ekonomi golongan Tionghoa seperti yang pernah diungkapkan oleh Fadli Zon dari KISDI, sekutu dekat Prabowo, dalam wawancara dengan Margot Cohen dari majalah “Far Eastern Economic Review” (FEER) pada tanggal 12 Februari 1998, sebelum peristiwa Mei 1998 itu terjadi.
Judul artikel di FEER itu adalah ” Us and Them”. Muslim activist say it’s time to seize economic power”. Wawancara dengan Fadli Zon itu mengungkapkan dengan eksplisit untuk mengulang dan menduplikat pelaksanaan politik NEP (Kebijakan Ekonomi Baru) Malaysia di Indonesia dengan menyebutkan “Malaysian Model” sebagai inspirasinya, termasuk juga metode “shock treatment” dengan melibatkan militer seperti yang ia katakan sbb:
Fadli Zon has a vision…………”If necessary, we’ll go backwards 10 or 15 years,” he says fervently. “The Muslim majority is ready to face any challenge, as long as there is economic justice. We can start to develop our country without them.” .
“Time for the 87% Muslim majority to seize the reins of an economy from a community that accounts for a mere 3% of the country’s 200 million people. Time to construct a “New Economic Policy” that could go further than the “Malaysian model” in promoting the indigenous race. Time, too, for the military to help assert the rights of the nation’s Muslims” http://forums.apakabar.ws/viewtopic.php?p=21266&sid=aa7eca3bcb7594d33de4c8859c216e28
Tiga bulan sesudah wawancara itu terjadi, maka pecahlah peristiwa kerusuhan Mei 1998 di Indonesia dengan skenario yang hampir serupa dengan apa yang terjadi di Malaysia 29 tahun sebelumnya.
Golden Horde , 27923
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua