Budaya-Tionghoa.Net|Saya seperti halnya dengan orang Tionghoa generasi muda lainnya yang sekolah Tionghoa dan tinggal di Pecinan, Soerabaja, lalu tiga tahun di Batavia sebelum Perang Dunia II mempunyai kecintaan dua negara, perasahan yang dalam dihati pada Indonesia dan Tiongkok. Waktu mudah saya, saya sudah membaca buku-buku klasik Tiongkok seperti The Romance of three Kindoms ( Sam Kok),Melawat Ke Barat , (Sun Wu Gong, Xi Yu Ji), 108 kawanan Brandal di lembah Liang San , Hong Lou Meng (Impian di Rumah Gedung Merah), Sie Djien Kwie, dan petikan kata-kata dari Kong Fu Zi, Lao Zi, Meng Ke, Zhuang Zi etc.etc. Disamping itu saya senang sekali membaca cerita wayang Baratayuda dan Mahabarata dan menonton ludruk di Surabaya.
|
Kecintaan saya pada Indonesia karena saya dilahirkan di Surabaya, pertama dalam penghidupan saya, saya menghirup hawa udara Surabaya. Saya akan tetap tinggal di Indonesia, negara yang indah serba ada, ada gunung, ada laut, kalau mau hawa udara yang nyaman kita bisa ke daerah pegunungan. Tanah yang subur, biji apa saja kalau dibuang akan tumbuh dengan segar. Membuang biji mangga keluar pohon mangga, membuang biji durian keluar pohon durian. Indonesia dengan pemandangan yang indah, nyiur berlambai-lambai seperti saya dipanggil untuk menetap disitu.
Sayang sekali karena diskriminasi dan gerakan anti Tionghoa yang laten, membangunkan kesadaran bahwa saya ini adalah orang Tionghoa, minoritas di tanah Airku Indonesia. Kesadaran tentang identitas saya tambah diperkuat dengan berdirinya Republik Rakyat Tiongkok. Rakyat Tiongkok bersatu dan giat membangun negaranya dan kesuksesan ini memberi kepercayaan pada rakyat untuk berdikari, tidak menggantung pada negara lain. Bahkan meskipun teknologinya masih terbelakang, RRT berani menghadapi Perang Korea yang dipimpin oleh USA dan negara-negara yang kuat lainnya. Dan peperangan ini USA dengan persenjataan yang modern tidak bisa mengalakan RRT! Maka RRT adalah negara teladan bagi negara-negara yang dijajah dan di segani oleh generasi mudahnya di Eropa Barat.
Karena situasi di dunia yang ramai dengan perjuangan kemerdekaan dan yang baru merdeka mencari posisi yang tepat dalam percaturan politik didunia dan membangun negaranya dalam bidang sosial ekonomi dan kebudayaan. Di Barat kekuatan kekuasahan negara pindah dari Eroapa Barat ke Amerika. Ini dapat dilihat negara-negara kekuatan Eropa seperti Inggris, Perancis, Belanda etc. melepaskan dirinya dari Asia dan Afrika karena dekolonialisasi. Dan Amerika sedang membangun cetrum kekuatannya dan econominya, sedangkan Eropa gagal dengan beleid monetairnya, terutama sebagai akibat hancurnya karena Perang Dunia II yang berpusat di Eropa dengan pengeluaran uang untuk mengongkosi peperangan.
Maka mau tidak mau saya sadar akan kedudukan saya, penghidupan sosial dan politik. Saya selalu berharap agar kehidupan sosial di Indonesia damai, tenang bebas dari diskriminasi. Sesudah merdeka saya memepunyai harapan atau mungkin ilusi bahwa Indonesia akan mengambil jalan yang harmoni antar berbagai suku/etnis yang ada. Ini karena dalam perjuangan kemerdekaan dan sebelumnya golongan Tionghoa telah memberikan contribusinya dalam banyak bidang. Dalam bidang kebudayaan, keilmuan, media massa dan perjuangan kemerdekaan. Yang terachir ini kita bisa melihat perwakilan Indonesia dalam rapat-rapat dengan pemerintah Belanda, perwakilan di Persatuan Bangsa-Bangsa merancangkan tata nergara, Pancasila, konstituante, parlemen etc. etc. selalu ada perwakilan dari orang Tionghoa.
Bicara tentang media massa dapat dikatakan bahwa jumblah koran-koran Tionghoa dengan bahasa Melayu Tionghoa jauh lebih banyak jumblahnya dari pada koran Indonesia. Tidak sedikit journalist Pribumi yang bekerja di koran-koran Tionghoa daiantaranya ialah W.R. Supratman yang bekerja di Sin Po kemudian diganti namanya dengan Warta Bakti, karenanya lagu Indonesia Raya, karangan beliau dimuat untuk pertama kali di koran Sin Po!
Dalam bidang kebudayaan, dapur Indonesia banyak yang dipengaruhi oleh masakan nyonya seperti Lontong Cap Go Meh yang dimakan pada hari ke limabelas sesudah tahun baru Imlek, tidak ada babinya sedikitpun, ada tahu, taoge, kecap etc. Onde-onde, Ronde, bundar-bundar yang di Tiongkok dimakan achir tahun, Cakwe, Bakso, Mie dan seterusnya.
Kita lihat dalam bidang keilmuan terdapat banyak professor-professor Tionghoa, bahkan banyak dokter pribadi untuk Presiden Soekarno dan menteri-menteri adalah ahli-ahli Tionghoa. Demikian pula bagi ahli-ahli hukum dan insinyur-insinyur dan seterusnya. Perlu juga ditekankan disini contribusi orang Tionghoa dalam bidang sport, musik, theater, cerita roman dan cerita silat yang banyak pengemarnya baik dari orang Tionghoa maupun dari golongan Pribumi.
Maka tidak berkelebihan kalau saya katakan disini bahwa orang-orang Tionghoa juga merupahkan salah satu kekuatan gerakan mendorong, gerakan perobahan maju dalam masyarakat Indonesia dan kemerdekaannya.
Dilema saya ialah kewarga negaraan mana yang harus saya pilih antara kedua negara kecintaan saya? Maka sewaktu dihapuskannya dwikewarga negaraan dan saya harus memilih negara mana adalah favorit saya. Saya rasakan bahwa badan saya seperti ditarik-tarik oleh dua kekuatan, hati saya nyondong utuk memilih Indonesia, tetapi ada tekenan dari ayah saya yang “mengharuskan” saya memilih Tiongkok sebagai tanah air saya. Ibu saya seorang ibu yang bijaksana dan bebudi halus, tidak ikut-ikut tentang persoalan ini, hanya beliau menjaga agar jangan sampai terjadi bertengkaran antara ayah dan putra, beliau menasehatkan agar saya dengar ayah saya.
Sebagai seorang Tionghoa yang telah mendapatkan pendidikan Confucianisme saya tahu saya harus dengar omongan ayah, ini adalah Siao atau Uhao dalam bahasa Hokkian atau pe�tet, dengar karena respek/cinta pada orang tua kita. Tetapi pilihan ini saya tunda-tunda sampai beberapa hari terachir, saya mengisi formulir dan saya berikan pada ormas Tionghoa yang membantu mengurus surat penolakan ini ialah P3CH di jalan Kembang Jepun Surabaya.
Sampai sekarang saya menyayangkan mengapa koq Perdana Menteri Chou En-Lai mengalah dan menyetujui penghapusan kewarga negaraan asal turunan darah. Yang saya pertanyakan dalam hati saya sendiri mengapa Indonesia tidak mengadakan perjanjian serupa dengan negara-negara Islam, di Timur Tengah, karena mereka sampai sekarang bersikeras mempertahankan kewarganegaraan menurut asal turunan. Ambillah contoh Mesir, orang Mesir di Belanda meskipun mereka sudah menjadi WN Belanda, tetapi mereka masih tetap wajib militer di Mesir. Mereka bisa menghindari wajib militer dengan membayar uang, dengan catatan bahwa tetap mereka harus memenuhi wajib militer, hanya waktunya tidak ditentukan kapan, meskipun barangkali ini berarti bebas dari wajib militer.
Dalam situasi sesudah kemerdekaan Indonesia pertanyaan yang interesan bagi masyarakat Tionghoa ialah, bagaimana sifat kita menghadapi tanah air Indonesia yang baru merdeka ini. Politik yang bebas dan tanggung jawab, saya anggap perlu dengan kesadaran bahwa antara kita golongan Tionghoa dan mayoritas mayarakat Indonesia mempunyai sebagian sejarah yang telah kita kerjakan bersama-sama. Dan untuk menjawab tantangan ini di perlukan dibentuknya ormas dengan pandangan yang jauh kedepan dan pimpinan yang cakap, pragmatis dan charismatis.
Kecintaan saya pada Indonesia, sewaktu muda saya, saya selalu berpikir kalau ada ormas Tionghoa yang berjuang demi keatuan bangsa Indonesia, saya adalah orang yang pertama menjadi anggotanya. Keinginan saya ini terkabul dengan didirikannya ormas Baperki dengan Siauw Giok Tjhan sebagai ketua umumnya. Dengan didirikannya universitas Res Publica saya anggap adalah wadah, dimana semua etnis di Indonesia generasi mudanya bisa bersatu dan mendapatkan didikan keilmuan dan menimbulkan saling respek, toleransi dan pengertian sebagai basis untuk persatuan semua etnis. Intelektuil-intelektuil muda inilah yang akan menentukan hari depan negara dan bangsa Indonesia. Pemuda-pemuda ini yang menentukan jalanan politik mana yang akan ditempuh, karena antara kedua etnis Tionghoa dan mayoritas mempunyai satu kesamaan ialah membangun negara Indonesia yang damai dan makmur, damai antara berbagai etnis. Harmoni dalam masyarakat dan kesimbangan akan datang dengan dicapainya negara sosialis ala Bung Karno, yaitu negara Pancasila! Tetapi sangat kusayangkan saya tidak bisa menjadi anggotanya karena saya WN Tiongkok, adalah orang asing. Tetapi saya bisa kerja sebagai karyawan ialah sekretaris fakultas kedokteran dan fakultas kedokteran gigi.
Disini saya akan menulis artikel mengenai universitas Res Publica, berdirinya universitas swasta yang pertama di Indonesia. Kalau kita bicarakan tentang Res Publica mau tidak mau kita harus menyebut seorang pimpinan Tionghoa yang kenamaan itu waktu, dan orang ini adalah Pak Siauw Giok Tjhan, wartawan dan aktivis politik; atau oom Giok Tjhan, beginilah saya menyebut beliau semasa saya menjadi sekretaris Fakultas Kedokteran dan Kedokteran Gigi Universitas Res Publica, disingkat di masyarakat umum Ureca.
Memang Siauw Giok Tjhan seperti dalam artikel-artikel saya yang pernah dimuat dibeberapa mailing list, adalah salah satu pimpinan WNI keturunan Tionghoa yang paling besar pada jaman kemerdekaan Indonesia. Dalam sejarah Indonesia hanya aku kenal dua ormas yang pengaruhnya sangat besar pada masyarakat Tionghoa: ialah Tiong Hoa Hwee Koan dengan pimpinannya Phoa Keng Hek, pada jaman Hindia Belanda dan sesudah Indonesia Merdeka ialah Baperki dengan ketua umumnya Siauw Giok Tjhan. Disini saya tidak menyebut Hua Chiao Chung Hui (Jakarta) dengan cabang-cabangnya diseluruh Nusantara dengan nama Chung Hua Tjung Hui (CHTH), karena ormas ini adalah ormas Tionghoa Totok.
Baiklah disini aku akan menulis dua tokoh golongan Tionghoa yang mempunyai arti yang besar dalam perkembangan masyarakat Tionghoa di Indonesia yaitu Phoa Keng Hek dan Siauw Giok Tjhan. Pada tanggal 17 Maret 1900, di Batavia di bawah pimpinan Phoa Keng Hek, didirikan Tiong Hoa Hwe Koan (THHK) sebuah organisasi peranakan Tionghoa yang bertujuan untuk mempertinggi sifat-sifat kebaikan , kebudayaan dan terutama pendidikan masyarakat Tionghoa yang dahulu dipandang sangat konservatif. THHK beranggapan bahwa hanya dengan menurut ajaran Khonghucu orang-orang Tionghoa dapat membuang kebiasaan-kebiasaan yang buruk seperti berjudi, nyandu, kesenangan dengan wanita pelacur dan menghambur-hamburkan uang waktu melakukan upacara kematian dan perkawinan. Yang terachir ini bahkan sampai memberatkan beban penghidupan keluarga.
Pada tahun 1901, THHK di Batavia membuka sekolah yang pertama di Jl.Patekoan N0.19 bagi anak-anak Tionghoa, karena pemerintah Hindia Belanda tidak menaruh perhatian kepada pendidikan anak-anak Tionghoa, tetapi ada perhatian pada suku etnis lainnya, terutama masyarakat mayoritas. Karena itu tujuan utama dari THHK ialah pendidikan dan social, karena situasinya pada Tempo Doeloe politik belum dipentingkan bagi masyarakat Tionghoa yang masih memerlukan menata dirinya dalam situasi yang ada dan kemungkinannya.
Berdirinya THHK dianggap sebagai gerakan modern dalam masyarakat Tionghoa di Indonesia. Adapun gerakan ini dipengaruhi oleh perkembangan di Tiongkok daratan seperti gerakan reformasi dari Kang Yu Wei dan gerakan revolusi dibawah pimpinan Dr. Sun Yat-Sen. Kang Yu Wei beberapa kali datang ke Indonesia atas undangan THHK. Sekolahan THHK memakai bahasa Mandarin sebagai bahasa pengantar, agar murid-muridnya kelak dapat langsung mempelajari ajaran Guru Kong. Dengan bagasi kepandaian ini mereka bisa memanage perusahan atau bekerja sebagai pegawai dikantor-kantor perusahaan Tionghoa, ini saya katakan disini krena orang Tionghoa tidak boleh bkerja sebagai pegawai negeri. Kedua dengan pendidikan mereka bisa meningkatkan kedudukan sosial di masyarakat Nederlands India.
Gerakan yang maju ini mendapatkan sambutan luas dari masyarakat Tionghoa diseluruh Hindia Belanda, apalagi dengan diberdirikannya sekolah-sekolah THHK dibanyak kota-kota lainnya yang kemudian berjumblah antara 30- 40 buah. Dapat dikatakan bahwa THHK merupahkan satu dorongan yang kuat untuk memodernisir masyarakat Tionghoa. Sambutan yang positif ialah banyaknya murid-murid wanita yang masuk sekolah, bahkan juga ada sekolahan yang chusus untuk gadis-gadis Tionghoa! Laki-laki Tionghoa rambutnya dipotong pendek dan wanitanya menggunakan rok, sungguh-sungguh gerak kemajuan pada waktu itu. Angka sekolah-sekolah Tiong Hoa Hwee koan dengan langgengnya meningkat diseluruh Nusantara.
Pemerintah Hindia Belanda merasa kuatir, kalau orang-orang Tionghoa berorientasi ke Daratan Tiongkok, lalu membuka sekolah-sekolah Hollands Chinese School (HCS) khusus untuk anak-anak Tionghoa dengan bahasa pengantar bahasa Belanda. Dari HCS ini mereka dapat meneruskan pelajarannya ke MULO, sekolahan kejuruan (teknik) atau ke AMS dan dari AMS lalu ke universitas. Kemungkinan ini digunakan betul-betul oleh masyarakat Tionghoa. Sebagai akibat dari proses modernisasi orang Tionghia di Hindia Belanda timbullah banyak intelektual-intelektual Tionghoa yang kenamaan dan politici dan dari golongan yang dinamakan Totok menjadi pedagang-pedagang, dari pengusaha kelas kecil sampai internasional. Yang terachir ini kami ingat Kian Gwan di Semarang, kepunyaan Oei Tiong Ham, yang terachir ini tergolong dalam Peranakan. Proses ini dapat dikatakan sebagai proses yang di Eropa dinamakan
Renaissance (Fu Xin), memodernisir, membangun kembali ke kultur Tionghoa, Kongfuzi-sme.
THHK yang dipengaruhi oleh gerakan revolusi di Tiongkok menggunakan terminologi “Tionghoa” bagi orang Tenglang, maka term Tionghoa ini adalah modern mengingat Sun Yat Sen dan pimpinan masyarakat di Tiongkok daratan selalu menggunakan perkataan Chung Hua (Tionghoa). Politik THHK berorientasi ke Tiongkok dan mengembangkan patriotisme Tiongkok, sesuai dengan keadaan itu waktu.
Berdirinya THHK, ternyata juga berpengaruh kepada masyarakat Indonesia dan bahkan juga masyarakat Arab. Suksesnya THHK sebagai organisasi modern pertama di Hindia Belanda telah mendorong lahirnya Boedi Oetomo, Sarekat Dagang Islamiyah, memakai model Siang Hwee, Moehammadijah dan organisasi-organisasi lainnya. Perlu diterangkan dsini bahwa “the founding father” dari Sarikat Islam, H. Samanhudi pada mulanya anggota dari Kong Sing (Asvi Warman Adam).
Phoa Keng Hek adalah seorang yang kaya raya dan oleh Belanda akan diangkat sebagai kapitein der Chinezen di Batavia, tetapi ditolak secara halus oleh beliau. Karena sebagai kapitan beliau harus mengatur masyarakat Tionghoa dan tunduk pada peraturan Belanda yang akan membatasi kegiatan beliau dalam masyarakat Tionghoa. Suatu tindakan yang patut mendapatkan pujian!
Situasi di Hindia Belanda berobah, masyarakat Tionghoa banyak yang mempunyai kedudukan dalam politik, perdagangan dan kebudayaan , masyarakat memerlukan orang Tionghoa yang pandai untuk memajukan ekonominya maka pengaruh THHK dalam kalangan masyarakat Tionhhoa menurun, si peranakan Tionghoa sekolah belanda dan si Totok tetap sekolah Tionghoa, tetapi menganggap kurukulumn pendidikan THHK sudah tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat Tionghoa, mreka juga membutuhkan orang-orang yang pandai sesuai dengan keadaan. Pada tahun-tahun peralihan tigapuluh-empatpuluh pengaruh dan perannya THHK terus turun dengan dibukanya sekolahan-sekolahan Tionghoa yang lebih modern. Maka setelah kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, boleh dikatakan peranan THHK tidak ada lagi. Di Surabaya semasa ingatan saya sudah tidak ada lagi sekolahan Tiong Hoa Hwee Koan yang dulu berdomisili di Kapasari. Tetapi jasa dari THHK masi tetap dalam memori masyarakat Tionhoa, terutama generasi tuanya.
Setelah kemerdekaan timbullah suatu situasi yang baru, dimana di Indonesia dibentuknya berbagai partai-partai politik, dan parlemen dimana dilakukan diskusi, kerja sama dan debat. Ini memperbesar ikut serta rakyat pada pmerintahan, jelaslah politik memainkan peranan yang penting. Maka dirasakanlah perlunya pembaruan dari bentuk demokrasi yang representatif pada masa itu. Untuk menyambut tantangan yang baru ini berbagai pimpinan masyarakat Tionghoa mendiskusikan perlunya satu ormas Tionghoa yang bisa mempersatukan golongan ini.
Baperki dibentuk pada tanggal 13 Maret 1954 di Gedung Sin Ming Hui di Jakarta, dalam rapat pembentukan ini dihadiri kira-kira sebanyak 50 pemimpin-pemimpin Tionghoa dari segala aliran politik, kanan, netral dan kiri diantaranya ialah Siauw Giok Tjhan, Ang Yan Goan, Yap Thiam Hien, Go Gien Tjwan, Thio Thiam Tjong, Tan Po Gwan, Khoe Woen Sioe, Oei Tjoe Tat etc. Dalam rapat Siauw Giok Tjhan, dipilih sebagai ketua umum. Semula tujuan dari Baperki ialah untuk mempersatukan masyarakat Tionghoa, tetapi Siauw Giok Tjhan menyadari bahwa ormas Baperki jangan dianggap memperjoangkan golongan Tionghoa saja, namun untuk masyarakat Indonesia seluruhnya, atau dengan lain perkataan berjalan bahu-membahu dengan gerakan rakyat yang maha luas menuju ke sosialisme ala Indonesia, menurut ajaran Presiden Soekarno.
Baperki yang diketuai oleh Siauw Giok Tjhan menganjurkan orang-orang Tionghoa untuk integrasi dalam masyarakat Indonesia, tetapi sama sekali tidak menghalangi bagi mereka yang mau mengganti namanya yang didengar sebagai nama Indonesia, kawin campuran kalau keduanya saling cinta, atau mengganti agamanya, tanpa paksaan; ini adalah kebebasan setiap orang dalam negara demokratis. Dan apa yang dipaksakan tidak akan bisa sukses, apalagi kalau tidak ditrima oleh mayoritasnya.
Seingat saya juga pemimpin besar masyarakat Tionghoa yang kenamaan Mr. Yap Thiam Hien mempunyai ide yang sama dalam hal penggantian nama ini. Beliau tidak setuju dengan gerakan ganti nama ini, karena hal itu tidak menyentuh esensi kesatuan bangsa dan masalah integrasi WNI keturunan dalam masyarakat Indonesia. Sayang itu waktu saya tidak ada kesempatan/kemungkinan untuk menemui favorit pemimpin golongan Tionghoa yang besar ini. Penghargaan masyarakat Indonesia pada Mr. Yap terutama keteguhannya dalam membelah kebenaran tidak perduli klas sosial dan politiknya.
Silahkan saya mensitir tulisan Leo Suryadinata pandangan Mr. Yap Thiam Hien mengenai ganti nama: ..Beliau mengatakan bahwa pengubahan nama seseorang tidak akan memuaskan para rasialis ataupun memberikan kebahagiaan bagi orang Indonesia yang sadar dan rasional. Ia menyatakan bahwa pengubahan nama tidak begitu berguna bagi pembentukan suatu bangsa Indonesia yang bersatu. Ia melanjutkan, “Adalah naif sekali untuk mengira bahwa mengganti nama merupakan suatu langkah positif ke arah proses kesatuan bangsa. Juga proses asimilasi / integrasi minoritas Cina ke dalam mayoritas pribumi bukanlah conditio sine qua non bagi kesatuan bangsa. Ini bergantung pada faktor-faktor lain yang lebih banyak dan kompleks.” (Pemikiran Politik Minoritas Tionghoa di Indonesia). Sebagai contoh kebenaran dari visi pemimpin-pemimpin Tionghoa mengenai ganti nama ialah: hampir 100% dari intelektual-intelektual etnis Tionghoa sesudah sampai di Belanda, mereka merobah namanya kembali ke nama Tionghoa aslinya. Penggantian kembali nama ke nama aslinya di mungkinkan oleh pemerintah Belanda sewaktu kita minta kewarga negaraan Belanda.
Perlu saya terangkan disini bahwa mr. Yap Thiam Hien adalah seorang pengacara yang kenamaan, idak saja dikenal didalam tetapi juga diluar negeri. Beliau membelah orang tidak pandang uang, klas sosial dan aliran politik. Beliau berjasa besar karena keteguhannya yang kuat mengabdi untuk menegakkan keadilan dan Hak Asasi Manusia. Karena jasanya ini nama Yap Thiam Hien diabadikan di
Indonesia dengan Yap Thiam Hien Award, sebagai penghargaan yang diberikan kepada orang-orang yang berjasa bagi penegakan hak asasi manusia..
Pandangan integrasi yang diperjuangkan oleh Siauw Giok Tjhan adalah dibentuknya masyarakat yang multikulturil, dahulu belum dibicarakan dalam literatur populer, media massa, atau masih jarang didiskusikan dinegara manapun didunia ini. Kalau ada hanya di literatur ilmiah saja. Namun sekarang adalah satu topik yang hangat dibahas dengan luas dan di laksanakan dinegara-negara Barat, baik di Eropa Barat maupun di Amerika Utara. Pandangan beliau tentang integrasi yang demokratis, bebas dalam identifikasi diri, tanpa paksaan bagi setiap individu sudah patut mendapatkan pujian!
Sesudah Indonesia Merdeka belum ada ormas golongan WNI keturunan Tionghoa yang begitu besar dan mendapatkan dukungan yang besar dalam segala kelas masyarakat baik yang Tionghoa maupun masyarakat Pribumi. Saya tahu Baperki bukan satu partai politik, tetapi satu organisasi massa, meskipun demikian, Baperki mau tidak mau terlibat dalam bidang politik, sosial-kebudayaan dan pendidikan. Karena tujuan Baperki terutama yang achir sangat cocok dengan pikiran saya, maka sesudah saya lulus pedidikan kedokteran Airlangga tahun 1961, saya melalui paman saya dikenalkan pada oom Giok Tjhan yang kebetulan sedang membutuhkan seorang dokter yang akan dikerjakan sebagai sekretaris Fakultas kedokteran dan Kedokteran Gigi. Dari perkenalan inilah saya diangkat menjadi sekretaris Fakultas Kedokteran dan Kedoteran Gigi, dimana Dekan fakultas Kedokteran adalah Dr. Gudadi, spesialis penyakit wanita dan dekan kedokteran gigi adalah dr. Be Wie Tjoen.
Relasi saya dengan Dr. Goedadi sangat baik, kita bicarakan apa saja yang perlu dibicarakan. Beliau dengan terus terang mengatakan pada saya bahwa beliau kurang pengalaman tentang memimpin, terminologi yang jaman sekarang banyak diajarkan dan ditulis sebagai management. Sifat yang jujur dan open ini jarang saya temui selama hidup saya dalam pekerjaan; sifat beliau yang merendahkan diri saya kultivir pada diri saya, meskipun tidak selalu sukses. Suasana kerja di URECA komfortabel saya bekerja dengan senang hati tanpa persahan segan untuk masuk kantor,omongan jaman doeloe. Juga sekretaris universitas Oei Hong Lee, tidak banyak ikut campur pekerjaan saya, masing-masing bekerja independent, menurut peraturan yang ada. Suasana yang demokratis, decentralisasi. Saya rasakan suasana yang sama seperti di Nederland, pekerjaan saya sebagai kepala bagian kedokteran nuklir di Dr. Bernard Verbeeten Instituut selama 24 tahun.
Jasa lainnya oom Giok Tjhan ialah meningkatkan intelektualitas masyarakat Indonesia dengan membuka universitas-universitas Res Publica hampir di semua kota-kota besar di Indonesia. Perlu di sini saya tekankan bahwa Res Publica di buka untuk masyarakat yang luas dan namanya Res Publica sudah menunjukkan pengabdian pada publik, rakyat umum, jelas mencerminkan tujuan dari universitas ini. Karena banyaknya calon-calon mahasiswa dan jumblah universitas negeri yang belum mencukupi, maka banyak calon mahasiswa yang tidak bisa meneruskan pelajarannya. Pada itu waktu bagi mahasiswa-mahasiswa WNI Tionghoa ada quotanya untuk bisa masuk ke universitas negeri, apalagi kalau mau masuk fakultas Kedokteran, kedokteran Gigi, teknik etc. mendapatkan quota diantara 2-5% saja. Meskipun mereka, anak Tionghoa yang jelas WNI apalagi yang asing, sekalipun mempunyai kepandaian dan kecakapan yang cukup tinggi tapi sulit untuk meneruskan sekolah di universitas.
Sejarah universitas Res Publica didirikan pada tahun 1958, empat tahun sesudah berdirinya ormas Baperki atas inisiatif Siauw Giok Tjhan dan pimpinan Baperki lainnya. Universitas ini adalah universitas yang pertama yang dinamakan Universitas Baperki, di Jakarta. Pada tahun 1962 Universitas Baperki namanya dirobah menjadi Universitas Res Publica, berarti mengabdi pada rakyat (umum), disingkat URECA. Sepanjang ingatanku itu waktu masih belum ada universitas swasta keduanya dan yang ada hanya universitas negeri. Waktu saya bekerja disana, gedung universitas yang letaknya digrogol, tidak jauh dari rumah sakit Sin Ming Hui, ruangannya luas dan masih belum selesai semuanya. Distu juga dibangun perumahan untuk dosen-dosen dan saya juga akan dapat rumah yang sedang dibangun.
Itu waktu saya tinggal dirumah paman istri saya, orang Hokjia mengatkan I-liong, Itio dalam bahasa Minnan, Hokkian di Jalan Jati Negara, kampong Melayu. Setiap pagi saya dijemput lalu mengambil juga satu dosen dari fakultas lainnya yang tinggal dijalan Raden Saleh. Dosen ini seorang yang pendiam, tidak banyak bicara, susah untuk berkomunikasi sehingga saya tidak kenal beliau dengan baik.
Kalau musim hujan daerah Grogol ini banjir dan banyak ularnya yang beracun pada keluar. Jadi banjir di Jakarta ini memang problema yang sudah lama sekali, cuma tidak sehebat seperti sekarang ini. Dulu daerah ini masih banyak kosong belum banyak bangunan seperti sekarang ini, maka hewan-hewan seperti ular masih bisa berkembang biak, sekarang karena banyaknya orang tingal di Jakarta, maka hewan-hewan ini meninggal, karena kurangnya daerah mereka tinggal dan makanannya. Kalau banjir di tempatkan papan-papan agar mahasiswa bisa masuk gedung, tetapi harus hati-hati jangan menginjak ular yang bahaya itu.
Ide pendidikan untuk massa yang luas, penerimaan mahasiswa tanpa diskriminasi dari oom Giok Tjhan mendapatkan sambutan yang positif dari masyarakat umum chususnya masyarakat Tionghoa. Untuk mendirikan universitas dengan fakultas-fakultas yang serba komplit dibutuhkan dana yang tidak sedikit, dan kesemuanya ini adalah donasi-donasi dari masyarakat Tionghoa, karenanya dapat dikatakan bahwa URECA adalah kepunyaan masyarakat Tionghoa, chususnya di Jakarta.
Orang Tionghoa karena kulturnya sangat mementingkan pendidikan anak-anaknya, maka dengan dirikan URECA, banyak dibicarakan oleh masyarakat Tionghoa. Dapat saya katakan bahwa mereka merasa tenang, bahwa anaknya nanti bisa meneruskan pendidikannya ke universitas. Pembicaraan ini lebih keras didengar waktu ujian terachir SMA. Banyak orangtua yang tanpa mendaftarkan anaknya ke universitas negeri, tetapi langsung mendaftarkan ke URECA!
Dengan berdirinya URECA masyarakat Tionghoa lebih lagi mendukung Baperki, juga dosen-dosen yang diminta bantuan untuk beri kuliah pada universitas URECA tanpa banyak pikir bersedia membantu URECA. Dengan dibentuknya Baperki, ditambah dengan didirikannya URECA masyarakat Tionghoa seperti bangun dari tidur dan sadar akan kehidupan politik dan sosial-kulturil. Mereka sadar bahwa Indonesia adalah negaranya dan mengerti akan hak dan kewajibannya.
Dapat saya katakan bahwa dengan berdirinya Baperki adalah masa Renaissance kedua dari masyarakat Tionghoa di Indonesia. Kembali ke sejarah masyarakat Tionghoa di Indonesia, saya mengatakan bahwa masyarakat Tionghoa telah mengalami dua kali Renaissance yaitu yang pertama kali terjadi proses “Bangun kembali ke kultur Kong Fu Zi” pada tahun 1900 dengan berdirinya Tiong Hoa Hwee Koan dan proses kedua adalah tahun-tahun sesudah Kemerdekaan Indonesia dan terutama pada tahun 1954 sesudah kemerdekaan dan didirikannya ormas Baperki. Dalam kedua proses ini dapat saya katakan bahwa pada proses yang pertama orang Tionghoa lebih sadar akan kedudukannya, social dan kulturil, dan pada proses yang kedua ditambah dengan kesadaran politik sebagai WNI dengan berbagai konsekuensi politik, sosial-budaya dan ekonomi. Pula mereka sadar perlunya pendekatkan dan kesatuan antara golongan Peranakan dan Totok. Dengan ide integrasi dari Siauw Giok Tjhan dan pimpinan lainnya mendorong dibangunnya masyarakat multikulturil di Indonesia.
Sebagai pemimpin kita harus gevoelig (pekah, sensitif) apa yang dibutuhkan oleh masyarakat pada masa itu, dengarkan keluhan meeka dan menjawab tantangan yang ada dengan baik. Pimpinan Baperki merasakan kekurangan universitas itu waktu, padahal calon mahasiswa jauh lebih banyak jumblahnya dari jumlah bangku kemampuan universitas negeri, maka kontradiksi yang ada dalam masyarakat dijawab oleh pimpinan Baperki dengan didirikannya URECA, agar bisa menerima mahasiswa-mahasiswa yang tidak diterima di universitas negeri, tanpa membedahkan etnis klas sosialnya. Pada umumnya mereka yang tidak ditrima sebagai akibat tidak cukupnya bangku kuliah adalah mahasiswa-mahasiswa keturunan Tionghoa yang banyak jumblahnya, maka URECA mahasiswanya WNI keturunan Tionghoa merupahkan mayoritas dan mereka berdatangan dari seluruh Nusantara. Di URECA perhimpunan mahasiswa apa saja ada diantaranya Perhimi, GMNI, PMKRI, CGMI dan seterusnya. Pada tahun 1961-1962 masyarakat Indonesia sudah melihat universitas Res Publica atau sedang direncanakan didirikan dikota-kota besar di seluruh Indonesia.
Didirikannya Universitas oleh Baperki terdapat banyak segi positifnya seperti yang telah saya uraikan diatas, dan satu lai chusus bagi calon mahasiswa yang lulusan sekolah menengah Tionghoa. Bagi mereka meneruskan universitas di Indonesia tidak mungkin, maka bagi mereka tidak ada pilihan lain kecuali mendaftarkan dirinya di Universitas Res Publica, atau weiguo dan meneruskan pelajarannya di negara leluhur. Wei Guo mereka harus tanda tangan menyatakan tidak boleh kembali lagi untuk tinggal di Indonesia, inipun menunjukkan tidak demokrtisnya perturan negara, mengapa mereka yang sekolah ke Barat diperbolehkan kembali ke Indonesia? Saya juga melihat tidak sedikit calon mahasiswa dari golongan Tionghoa, lulusan sekolah menengah negeri, tetapi mereka toch pilih Ureca, meskipun bagi mereka ada kemungkinan untuk bisa ditrima ke Universitas negeri.
Masyarakat Tionghoa ituwaktu umumnya gembira dengan bedirinya ormas Baperki, dapat saya katakan disini sambutan mereka secara singkat bahwa Baperki mendengar dan menyambut permintaan, kebutuhan masyarakat. Ormas Baperki adalah Ormas yang kembali pada rakyat banyak, tidak pandang etnis dan klas. Dapat dikatakan bahwa pikiran rationil memenangkan kepentingan perseorangan, visi mereka adalah visi dari masyarakat. Lain dengan ormas-ormas yang lain pemimpin-pemimpinnya arogan dan jangka jarak dengan rakyat umum, kebanyakan mereka mewakili orang yang pergi dan datang dengan mobil, bukan yang datang dengan bus atau sepeda. Kita inginkan ormas dimana pimpinanya mendengarkan grassroot. Sukses dari Baperki adalah hasil kerja keras dari karyawan-karyawan Baperki dari atas sampai bawah.
Sambutan dari masyarakat keturunan Tionghoa yang dulunya tidak mentingkan gerakan sosial, sekarang banyak yang aktif dalam kegiatan sosial-kulturil ditempat dimana mereka tinggal, banyak yang mendapatkan penghargaan tinggi dikalangan keturunan Tionghoa. Ini mau tidak mau mendorong generasi mudanya juga aktif dalam gerakan social-kulturil dan politik, ditambah lagi dengan tujuan baperki dan ceramah-ceramahnya mendapatkan sambutan dan merobah pikiran generasi mudanya. Mereka sadar akan pentingnya integrasi dari etnis Tionghoa dalam masyarakat Indonesia. Karena itu ramainya perdebatan dalam masyarakat dan media massa antara Baperki dan LPKB, dukungan masyarakat Tiongoa pada Baperki jauh lebih besar dari LPKB yang memaksakan assimilasi total. Dukungan pada Baperki juga mencerminkan dan mempengaruhi pandangan mahasiswa keturunan Tionghoa!
Dapat dikatakan bahwa universitas Baperki/ URECA kwalitasnya tinggi, tidak kalah dengan universitas negeri. Dosen-dosennya kebanyakan ialah dosen-dosen yang kenamaan dari universitas negeri. Persiapannya dan peralatannya yang saya lihat dari Fakultas Kedokteran Gigi boleh dikatakan komplit, baru dan ingatan saya ada beberapa unit. Memang praktikumnya untuk menjalankan boormachine (mesin boor) menggunakan kaki sebagai tenaga menjalankannya mesin boor, tetapi pada jaman itu juga di negara-negara Barat demikian. Klinisnya ingatan saya tahun 1961-1962 sudah bisa handling penderita, hanya para dokter gigi jaman dulu handling penderita tidak bisa duduk seperti sekarang, tetapi melakukanya dengan berdiri. Peralatan baik yang preklinis maupun klinis, pada jamannya dapat dikatakan dua jempol. Karena pendidikannya, dosen-dosennya dan peralatannya yang berkwalitas tinggi, maka
tidaklah mengherankan bahwa kedokteran gigi, fakultas teknik bagian mesin, elektro dan sipil medapat pengakuan dari kementerian pendidikan yang pertama bagi universitas swasta.
Untuk percobaan saya punya Gigi dibersihkan tandplaque dan tandsteen oleh seorang mahasiswi. Demikian pula pada fakultas kedokterannya yang sewaktu saya kerja disana masih masa preklinis, peralatannya cukup baik. Kliniknya sudah dibicarakan ialah Rumah Sakit Yang Seng Ie, rumah sakit yang kenamaan diJakarta, dimana pemeriksaan jantung Cardioangiografie, pertama kali dilakukan disana. Kalau tidak salah dilakukan oleh Dr. Gan Tjong Bing dan Dr. Ong Sie Tjong, yang terachir ini lulusan Belanda. Karena nama Baperki yang baik bagi masyarakat Indonesia, tidak mencari untung bagi perseorangan, karena itu kepercayaan masyarakat pada Baperki kuat sekali, maka dari itu mencari dosen, kerja sama dengan rumah sakit Yang Seng Ie dan dana kalau diperlukan tidaklah susah untuk mendapatkannya.
Orang bisa menanyakan mengapa rumah sakit Yang Seng Ie yang dihubungi, padahal Sin Ming Hui letaknya lebih dekat dengan URECA? Saya rasa karena hubungan pimpinan Baperki lebih baik dengan Yang Seng Ie yang lebih simpatik pada golongan kiri dan Sin Ming Hui lebih beklibat ke kanan.
Siauw Giok Tjhan dengan Baperkinya mendapatkan dukungan luas dari masyarakat, baik golongan yang dinamakan Baba (Peranakan), maupun Totok. Dari fihak baba URECA mendapatkan dukungan intelektualitas terutama dosen-dosen dan dari fihak Totok finansiil kalau diperlukan, tetapi umumnya URECA bisa berdikari. Dukungan yang saya anggap penting adalah dukungan dari masyarakat Pribumi, terutama dari golongan kiri. Dapat disimpulkan bahwa dukungan yang begitu luas pada Baperki terletak terutama, karena tujuan Baperki yang progressif dan pribadi Siauw Giok Tjhan yang pragmatis dan visi dan misinya yang jauh kedepan. Ini adalah pengalaman saya, karena saya mempunyai hubungan yang baik dengan kedua golongan Peranakan dan Totok, karena keaktivan saya dalam masyarakat Totok di Surabaya. Siauw menganjurkan integrasi dan interaksi yang bebas dengan bertukar informasi sehingga timbullah begrip, saling pengertian antar berbagai etnis.
Sangat disayangkan URECA pada masa peralihan Orde Baru, dibakar dan diambil alih oleh pemerintah Orba. Univrsitas URECA diganti namanya menjadi Trisakti. Pimpinannya diambil dari tiga unsur, yaitu departemen PDIP, ABRI dan LPKB. Universitas ini tetap universitas yang berkwalitas tinggi dan kenamaan.
Baperki didirikan oleh massa bukan atas perintah dan dukungan mutlak dari fihak penguasah seperti Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa (LPKB)! Siauw Giok Tjhan memerlukan pengertian akan tujuan Baperki agar orang-orang Tionghoa mengintegrasikan dirinya dalam masyarakat Indonesia dan bersama dengan mereka membangun negara yang adil dan makmur. Untuk mensukseskan tujuannya, Baperki mengerti bahwa mereka harus bekerja sama dengan pemerintahan presiden Soekarno.
Kerja sama yang baik dengan golongan mayoritas dapat dilihat yang jadi rector URECA ialah Ny. Utami Suryadarma, dan sekretaris universitas adalah Oei Hong Lee. Decan fakultas kedokteran ialah Dr. Gudadi. Dan sekretaris dari Baperki pusat adalah pak Buyung Saleh. Kedudukan yang tinggi dalam ormas, kedua sesudah ketua umunya. Pak Buyung Saleh bukannya hanya pakai namanya saja, tetapi beliau sangat active memperjuangkan ide-ide Baperki. Saya sering berdiskusi dengan beliau, apabila kita bertemu di gedung universitas, atau bersama-sama makan sate Blora di Jakarta, nama jalannya saya sudah lupa.
Dapat dipertanyakan mengapa golongan Tionghoa di Indonesia bisa bekerja sama, interaksi yang baik, saling respek dengan golongan kiri? Kenyataan pada masa itu, golongan kiri tidak mendiskriminasi, bahkan menerima dan menganggap masyarakat Tionghoa sebagai bagian integral dari bangsa Indonesia. Dari interaksi yang intensif akan timbul “begrip, saling pengertian” yang kemudian berkembang menjadi saling respek, kerja sama. Karena fenomena yang saya sebut tadi orang Tionghoa masuk kedalam golongan mayoritas yang kiri dan mengidentifikasikan dirinya bersama dengan mereka. Dalam hal ini sebagai contoh saya ambil bapak Siauw Giok Tjhan dan kawan-kawan dari Baperki, juga Liem Koen Hian, Tan Ling Djie etc. karena pimpinan-pimpinan Tionghoa inilah memperkuat hubungan antara golongan Tionghoa dan masyarakat Indonesia. Sangat sayang karena adanya bendungan yang kuat sekali proses ini tidak bisa berjalan dengan langgeng seperti mengalirnya air dari gunung-gunung ke sungai lalu kelaut. Sebagai akibat dari kemacetan ini, maka terjadilah “banjir”, reaksi berkelebihan dari kedua belah fihak.
Dalam artikel-artikel saya, saya anjurkan agar generasi muda WNI keturunan Tionghoa mau menulis patriot-patriot Tionghoa, dan tulisannya harus didasarkan atas jasa mereka yang konkrit dan tidak karena emosionil. Di bawah ini aku mencoba menulis beberapa orang Tionghoa yang kukira memang betul berjasa dan perlu ditulis dan diketahui oleh masyarakat luas. Dalam bidang kedokteran Dr. Lie Kian Joe dan Dr. Oen Boen Ing, Dr. Kwa Tjwan Sioe, dari bidang hukum Mr. Yap Thiam Hien, Prof. Mr. Gouw Giok Siong, Lie Oen Hock, dalam bidang architek Liem Bwan Tjie, dalam bidang politik dan sosial Siauw Giok Tjhan, Tjoa Sik Ien, Liem Koen Hian, Oei Gee Hwat, Tjoa Sie Hwie, Yap Tjwan Bing, Lie Kiat Teng, Ong Eng Die, Tan Po Gwan, Oei Tjoe Tat etc. etc.. Dalam bidang literatur dan kebudayaan Kwee Tek Hoay, Nio Yoe-Lan, dalam bidang sandiwara Njoo Cheong Sing dan istri beliau Fifi Young, dalam bidang journalistik Kwee kek Beng, Kwee Hing Tjiat, Auwjong Peng Koen, Inyo Beng Goat etc., dalam dunia film Tan Tjeng Bok, dalam bidang perdagangan Oei Tiong Ham, dalam bidang olahraga Kho Sin Kie, Tan Joe Hok, Rudi Hartono, Liem Swie King dst. Terlalu banyak nama-nama untuk ditulis satu per satu.
Untuk ini perkenankanlah saya menyitir tulisan Siauw Tiong Djien sebagai berikut: Terjalinnya hubungan baik antara para tokoh peranakan Tionghoa, terutama mereka yang bernaung di dalam PTI dengan para pejuang kemerdekaan Indonesia mendorong partisipasi politik di tingkat nasional. Tan Ling Djie, Tjoa Sik Ien, Oei Gee Hwat dan Siauw Giok Tjhan masuk ke dalam Partai Sosialis, yang dipimpin oleh Amir Sjarifuddin dan Sjahrir. Banyak orang tidak mengetahui bahwa Partai Sosialis yang mendominasi pemerintahan Indonesia dari tahun 1945 hingga tahun 1948 ini menurut sertakan beberapa tokoh Tionghoa seperti Tan Ling Djie, Oei Gee Hwat dan Siauw Giok Tjhan di dalam tampuk pimpinannya. Bahkan Tan Ling Djie sebagai sekretaris Jendral, bisa dikatakan paling berpengaruh di dalam partai tersebut. Mereka ini aktif berpartisipasi dalam menentukan berbagai kebijakan Partai Sosialis, baik dalam bidang eksekutif maupun legislative.
Memang orang sebagai oom Giok Tjhan pantas mendapatkan penghargaan mengingat jasa jasa Beliau yang konkrit bagai bangsa dan negara Indonesia. Kita jangan melupakan pimpinan-pimpinan WNI keturunan selanjutnya terutama individu seperti Mr. Yap Thiam Hien, Dr. Tjoa Sik Ien, Liem Koen Hian, Dr. Ong Eng Die, Tan Ling Djie, Phoa Keng Hek, Nyoo Cheong Sing etc.etc. Menulis artikel-artikel dan cerama-cerama untuk mengenalkan jasa jasa orang orang WNI ketrurunan Tionghoa. Maka saya anjurkan agar para penulis WNI keturunan Tionghoa menyebarluaskan karya-karya Siauw Giok Tjhan dan karya-karya pimpinan Tionghoa lainnya, atau mereka yang akan membuat disertasi gunakanlah kesempatannya unuk mengambil tokoh-tokoh ini sebagai tema mereka, chusus bagi mereka yang dalam studinya dalam bidang sejarah, bahasa, sosiologi etc. etc. tentang ini kita orang Tionghoa masih harus belajar banyak dari orang-orang Yahudi. Mereka menyebarluaskan contribusi mereka dinegara-negara dimana mereka tinggal dengan menulis buku-buku tentang orang-orang sebangsanya, menurut fakta-fakta yang ada.
Menurut saya oom Siauw Giok Tjhan adalah orang yang seperti sudah kukatakan dalam menyambut Ultah 90 Tahun. Beliau adalah satu pemimpin Tionghoa yang sangat dekat dengan revolusi 1945 demi kemerdekaan Indonesia, seorang revolusioner dalam jam jam pertama revolusi, karenanya aku sebut Beliau adalah angkatan 45 dalam sambutan saya. Mungkin perkataan ini kurang mendapatkan perhatian, karena sudah disebut jasa jasa Beliau. Tetapi aku pandang justru sangat penting karena memang satu kenyataan bahwa oom Siauw Giok Tjhan adalah seorang revolusioner Indonesia ( van de eerste uur) dari jam jam pertama revolusi kemerdekaan!
Jasa Siauw Giok Tjhan yang paling besar sebagai politikus, Negara dan Bangsa Indonesia adalah jasa-jasa Siauw yang dengan aktif ikut serta dalam perjoangan kemerdekaan Negara dan bangsa Indonesia. Tentu pekerjaan yang besar ini bukan dikerjakan oleh Beliau sendiri, namun dengan kerja sama yang erat dengan kawan-kawan seperjuangan baik dari golongan pribumi maupun dengan orang-orang Tionghoa.
Kesimpulan:
Bedah antara THHK dan Baperki disebabkan karena perbedaan untuk menyesuaikan keadaan yang konkrit pada periode yang berlainan. THHK tujuan utamanya ialah pendidikan, mendidik masyarakat Tionghoa dan generasi mudanya membuang sifat-sifat yang negatif dan menjadi manusia yang sesuai dengan jaman. Baperki adalah satu ormas dan ide utamanya ialah politik untuk mencapai tujuannya, agar orang Tionghoa mengintegrasikan diri dalam masyarakat Indonesia, pendidikan untuk meningkatkan kemampuan manusia dan social economi.
Integrasi adalah persoalan nasional, maka saya rasa adalah tanggung jawab pemerintah dan masyarakat luas Indonesia, inklusif masa media dan akseptasi dari mayoritas rakyat Indonesia, sesuai dengan Bhineka Tunggal Ika, konsep kesatuan dalam perbedahan.
Kedua ormas THHK yang dipimpin oleh Phoa Keng Hek, dan Baperki yang dipimpin oleh Siauw Giok Tjhan adalah proses Renaissance (Fu Xin) dari masyarakat Tionghoa di Indonesia. Bagaimanapun semua pemimpin-pemimpin dari Ormas-ormas ini telah membangkitkan kembali masyarakat Tionghoa dan meninggalkan pada kita sebuah warisan yang dapat dibanggakan dalam sejarah Indonesia!
Dr. Han Hwie-Song , 29362
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghoa