Budaya-Tionghoa.Net | Kalau kita mantap dalam menghadapi apa yang kita imani, tak ada masalah dalam berdiskusi mengenai tema budaya yang terkadang terkait agama. Ini seringkali tak terelakkan.
Ketika saya sekolah di Kanisius (sebagian SMP dan SMA sampai akhir), juga banyak teman teman di Sancta Ursula yang adalah anak anak keluarga non Kristen, seperti keluarga Agus Salim. Juga putri bung Hatta, Meuthia yang adik kelas saya, sekolah di sancta Ursula. Tak ada masalah. Mereka tetap menjadi keluarga Muslim. Mereka menjadi jembatan antar budaya.
|
Memang yang unik dalam pembahasan budaya, adalah, adanya kenyataan, bahwa suatu budaya membuahkan agama tertentu, yang lahir dan tumbuh dalam rahim budaya itu. Hindu dan Buddha dalam budaya India, Shintoisme dalam budaya Jepang, Dao dan Konghucu dalam budaya Tionghoa, Yudaismus dalam budaya Yahudi, Zoroaster dalam budaya Iran.
Tak pelak kita harus membahas budaya yang terkait kalau mengkaji fenomena budaya itu. Misalnya membahas budaya Tionghoa sambil mengkaji bermacam jenis kuil (kelenteng). Juga Buddhisme yang meresap ke ranah budaya Tiongkok membentuk sebuah Mahayana Tionghoa, yang adalah khas buah dari budaya Tionghoa.
Karena perkembangan masyarakat adalah dinamis, selalu bergerak, maka timbullah lintas pengimanan dan lintas keimanan (perpindahan penduduk, perkawinan, dsb).
Disini anggauta sebuah budaya seolah “melintas” dari bangunan budayanya, menganjak ranah luar budaya, misalnya wilayah budaya Semit (Yehuda, Kristiani dan Islam).
Disinipun tak ada masalah, pada umumnya, sejauh pelintasan budaya itu di eksekusi dengan penuh kesadaran dalam kehormatan pada budaya asal, dimana manusia bersangkutan mengakar dan mmembumi.
Dalam tulisan saya sebelumnya, saya coba mengekpos sikap budaya yang mungkin:
a) tetap dalam kerangka budaya asal,
b) mengambil sebagian, partial budaya asal (untuk menghindari benturan dengan iman yang baru), dan
c) samasekali memilih diluar lingkup budaya asalnya.
Banyak sekali kenalan atau kerabat saya, baik Tionghoa atau Jawa, yang mengambil posisi c) itu. Sahabat saya, etnis Tionghoa, teman study dari masa remaja, menjadi warega Belanda, dan selain namanya dan penampilannya yang tersisa Tionghoa, 99% warga Belanda. Capgomeh?
Dia tak tahu apa itu. Sama dengan kerabat Jawa saya, yang berbusana Timur tengah, bahkan menyandang nama Timur tengah. Bahasa Jawa? Dia tak kuasai samasekali, juga dia tak melihat wayang, tak paham gamelan, apalagi upacara ke Jawaan. Ini sih OK Ok saja. Pilihan masing masing.
Inilah, yang saya ungkapkan dengan “take it or leave it”. dalam kategori c) mereka memilih “leave it”. Dia tak mengubah atau me- redesign budaya Jawa, dan way of life nyapun 100% bebas dari induksi budaya Jawa.
It is fine. Mereka ini, di Jawa makin banyak dan makin meluas, tetapi adalah keliru, menganggap, dengan demikian timbul sebuah budaya baru Jawa. Not at all. Budaya Jawa tetap demikian as it is. The Javanese culture remains hinduistic. Juga tak pernah saya lihat apa itu “Chinese Christianity” atau ” Chinese Islam” dsb.
Sebagaimana yang tuturkan Indarto Tan , saya juga TAK percaya akan tesis Huntington. Benturan budaya, come on. Juga beberapa tesis Clifford Geertz mengenai budaya Jawa tak sepenuhnya saya amini (The Religion of Java).
Mengapa? karena, seperti yang juga anda paparkan, barangsiapa yang mencari jatidiri budayanya sendiri, yang adalah akarnya, akan menemuinya, dan mendapatkan bentuk terbaik untuk menghayatinya. Barangsiapa yang merasa harus memilih antara akidah dan budaya, akan mengambil pilihannya. And life goes on…
Danardono
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua