Budaya-Tionghoa.Net | Hari sembahyang la-ba berdekatan dengan dong-zhi (atau tangcik). Tahun 2012 ini Tangcik jatuh pada tanggal 21 Desember, (Imlek bulan 11 tanggal 9). Kenapa Dong-zhi selalu dihitung berdasarkan penanggalan internasional? Karena sejak semula dalam menentukan saat dong-zhi, mereka menghitung berdasarkan panjang pendeknya bayangan matahari dengan alat yang disebut “gui 圭”. Mereka menemukan dalam kurun satu tahun ada dua saat dimana hari siang terpanjang dan saat hari siang yang terpendek. Saat dimana siang terpendek dan malam terpanjang itulah ditentukan hari dong–zhi, atau tibanya musim dingin, yang dalam istilah orang Barat dinamakan Winter Solstice. Pada saat ini matahari berada pada titik tepat garis 23 ½° Lintang Selatan. Malam terpanjang dalam setahun, setelah itu barulah matahari mulai balik ke utara. Dan hari siang dari yang paling pendek perlahan bertambah panjang, dan malam semakin pendek. Pada saat matahari ada di garis balik 23 ½° derajat Lintang Utara, adalah waktu siang terpanjang dan malam paling pendek. Saat ini disebut xia zhi 夏至 (hee cik), atau Summer Solstice, jatuh pada tanggal 21-23 Juni.
Jadi ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam membicarakan dong-zhi, menurut para sarjana Dinasti Song :
- “Yang“ mencapai puncak (Arah selatan atau belahan bumi selatan disebut “Yang”)
- Hawa Yin mencapai puncak. Artinya musim dingin mencapai puncak, waktu malam terpanjang.
- Matahari – tai-yang berada pada titik paling selatan (garis-balik 23 ½° LS)
Di Eropa kuno yang sebagian penduduknya menganut penyembahan Dewa Matahari Mithra (Mithraisme), saat itu dianggap kelahiran kembali Dewa Matahari dan dirayakan dengan kegembiraan. Dalam perkembangannya kemudian setelah Kristenisasi, mereka menjadikan festival kelahiran Mithra sebagai hari Natal – kelahiran Yesus [1]
Dong-zhi pada jaman Dinasti Zhou, Qin dirayakan sebagai tahun baru. Pada penanggalan Imlek yang dipakai pada jaman dinasti Han, dong-zhi jatuh pada bulan 11. Sebab itu menurut perhitungan waktu di-zhi 地支atau cabang bumi, bulan 11 dimulai dengan huruf “子zi”, huruf pertama dari 12 huruf cabang bumi, untuk menunjukkan permulaan tahun baru, dong-zhi dirayakan meriah seperti hari raya, sebab itu dikenal dengan sebutan dong-jie冬节, festival musim dingin. Kerajaan memandang dong-jie sebagai perayaan yang penting. Sebelum dan setelah dong-jie semua kegiatan libur, sidang kerajaan ditutup, kaisar beristirahat, demikian juga para menteri. Setelah berlaku penanggalan baru dan ditetapkan chun-jie – pesta musim semi atau sincia sebagai tahun baru, dong-jie masih tetap dirayakan walau tidak semeriah sincia.
Dikalangan rakyat perayaan dong-zhi diisi dengan berkumpul dengan sanak keluarga, makan bersama, saling berkunjung dan bersembahyang pada leluhur.
Di beberapa wilayah ada kebiasaan menyantap hun-dun (semacam pangsit) dan jiao-zi. Kebiasaan makan jiao-zi dihubungkan dengan seorang tabib terkenal jaman Dinasti Han, Zhang Zhongjing. Pada saat hawa begitu dingin ketika dongzhi, banyak orang menderita “radang-dingin-frostbite” ia merebus beberapa macam daun obat dan dicampur cabai, ditambah bumbu sedikit sebagai kuah, lalu cacahan daging kambing dibungkus dengan kulit dari terigu, dimasukan dalam kuah tersebut. Ternyata hasil ramuan Zhang ini jadi obat manjur untuk penderita radang dingin inilah awal dikenalnya jiao-zi sebagai makanan saat dong-zhi.
Photo courtesy : http://www.chinadaily.com.cn/food/2012-12/21/content_16039898_2.htm
Pada Jaman dinasti Ming dan Qing baru dikenal kebiasaan makan ronde. Para anggota keluarga berkumpul sekitar perapian sambil membuat ronde yang diseduh dengan wedang jahe, dengar harapan mereka bisa rukun dan apa yang menjadi pengharapan bisa terkabul. Bentuknya yang bundar bermakna “lancar bergulir” Jadi mereka berharap agar semua permohonan dan harapan bisa lancar dan terkabul.
Makan ronde semangkuk semakin bermakna karena ada kiatnya. Sekali sendok harus dua butir, setelah beberapa kali dan hampir habis sisanya di hitung, apabila sisanya 2 butir, berarti apa yang diharapkan dari keluarga itu akan terkabul. Dan bila sisanya satu butir, anak anak yang masih lajang kemudian hari akan lancar rejekinya.
Tentang awal-mula makan ronde saat tangcik ini ada satu cerita rakyat yang mengharukan. Ada satu keluarga miskin yang terdiri seorang janda dan dua anaknya yang masih kecil. Suaminya telah meninggal beberapa waktu lalu. Ia terpaksa membanting tulang bersusah payah untuk membesarkan anak-anaknya agar kelak bisa jadi orang berguna. Ia berhasil merawat anak anak itu sampai dewasa. Untuk membalas budi ibunya anak-anak berusaha mencari pekerjaan. Apa mau dikata, wilayah itu dilanda bencana kekeringan yang hebat, sehingga hampir tak ada yang bisa tumbuh disitu. Kedua anak itu memutuskan untuk mencari kerja di seberang lautan .
Photo courtesy : http://www.tristupe.com/2011/12/dongzhi-festival-winter-solstice.html
Dengan sangat berat hati sang ibu terpaksa memberi ijin. Pada hari keberangkatannya sang ibu menyiapkan adonan tepung untuk membuat sedikit makanan sebagai bekal. Apa mau dikata, belum sempat tepung di buat adonan, terdengar tanda kapal yang akan ditumpangi anaknya akan segera berangkat. Tanpa menunggu lagi sang anak lalu berpamit dan bergegas menuju kapal. Sang ibu hanya bisa menangis menatap keberangkatan putranya. Air matanya menetes jatuh di tepung yang masih belum sempat dibuat adonan, dan membentuk bola-bola kecil seperti ronde. Dan saat itu kebetulan hari raya tangcik. Sejak itu untuk mengenang anak-anaknya ditempat jauh orang-orang membuat ronde pada waktu tangcik. Mereka mengharap anggota keluarga berkumpul dalam suasana rukun, dan mengenang anggota keluarga dan leluhur yang telah meninggal. Sebab itu pada hari dongzhi selalu diadakan sembahyang leluhur. Pada hari itu pula, kaisar memimpin sembahyang besar di kuil leluhur, dengan doa agar negerinya aman tentram, makmur dan rakyatnya sejahtera – Guo-tai min-an, Feng-tiao yu-shun, Shi-jie an-ning.
Sekian.
Kwa Tong Hay
26 Desember 2012
Budaya-Tionghoa.Net |