Photo courtesy : Benita Eka Arijani.
Budaya-Tionghoa.Net | Saya ikut main ketoprak untuk meramaikan penutupan Pasar Imlek Semawis. Jadwal main jam 21:30. Semua pemain pada deg deg-an, kok mainnya malam sekali. Apa bakal ada yang nonton?
Ini adalah penampilan perdana ketoprak kolaborasi Jawa China yang digagas Dinas Pariwisata Kota. Pemain profesional dari sanggar Kartika Buana digabung pemain dari komunitas Tionghoa. Lakonnya Jaka Tarub.
Saya jadi raja, penguasa Kerajaan Ngatas Angin, Prabu Indra Bawana. Beristeri tiga, berputri 7 bidadari. Salah satu isteri saya adalah isteri dari pengurus perkumpulan Rasa Dharma. Satu lagi adalah karyawan administrasi & seorang lagi adalah dokter gigi. Yang jadi salah satu Patih adalah sobat saya sendiri.
Saya ikut latihan dua kali. Latihan terakhir tidak ikut. Lumayan capek. Latihannya paling setengah jam. Nunggunya yang lama, bisa sampai dua jam lebih. Saya diberi copy dialog yang harus dihafal. Walah kok panjang sekali. Pakai krama inggil pula.
“Kakang Patih Citra Nagara, kados pundi pawartosipun Nagari Ngatas Angin?,” tanya Sang Prabu pada Patihnya.
Artinya kurang lebih, bagaimana kabar negara Ngatas Angin. Krama inggil begini bisa bikin lidah pegel. Saya pun berusaha menghafal. Tapi keterbatasan penguasaan bahasa, membuat saya tersengal sengal.
“Garwaningsun Dewi Surendrowati, ingsun mundhut pirsa piye anggonmu nggula wentah para putri?”
(Isteriku Dewi Surendrowati, saya pengin tanya, bagaimana caramu mendidik putri putri kita?).
Kalau dipaksakan, lama lama saya bisa benar benar kejang. HªHŪHÁªHÃ=)). Saya memutuskan untuk berimprovisasi saja. Mungkin awalnya pakai krama inggil, setelah itu diteruskan pakai bahasa Indonesia campur ngoko, bahasa pasar. Saya jadi lebih tenang.
Hari H pun tiba. Pemain disuruh berkumpul jam 5 sore untuk di-make up & pakai kostum. Walah, lha kok gasik men? Saya masih harus menunggu adik saya yang akan datang dari Jakarta bersama keluarganya. Jam enam adik saya tiba. Kami makan dulu, setelah itu saya & adik saya ke Pasar Imlek. Isteri & anak saya tidak ikut. Memang kalau acara beginian mereka jarang ikut. Bukannya mereka tidak supportive, tapi saya memang menyarankan demikian. Apalagi malam ini saya jadi prabu beristeri tiga. Ini poligami sah yang dilindungi negara. Saya harus jaga perasaan, meski itu harapan terpendam. HªHŪHÁªHÃ=)). Saya mengantar adik saya berkeliling Pasar Imlek. Ia nampak antusias, sibuk membeli ini & itu. Barongsai mini, pia cap Bayi, mainan naga, serta kelomang. Setelah itu adik saya pulang duluan.
Saya menuju ke kelenteng Sinar Samudera di samping panggung. Kami dipinjami tempat ganti pakaian disini. Saya masuk ke dalam. Nampak beberapa pemain sudah siap, baik kostum maupun riasan. Saya segera didandani. Diberi sarung & dibebat kendit, dua kali. Perut mendadak terasa kencang. Lalu saya mengenakan rompi bewarna ke-emasan. Ditambah jubah panjang ber-krah tinggi model dinasti Ming. Saya mulai merasakan penderitaan. Terakhir diberi gelang & mahkota, serta sumping telinga.
“Perlu di-make up juga?,” tanya saya.
“Ya harus…, supaya wajahnya tidak mengkilat…,” kata mbak perias.
Saya pun manut.
“Ndak usah tebal tebal ya…,” pinta saya – ngeri teringat pengalaman dulu.
Waktu itu ikut main wayang orang. Muka dirias, mata diberi eye-liner, pedesnya minta ampun. Mbak perias mengangguk. Saya pun duduk & pasrah. Saya merem sementara dibedaki. Tak lama, selesai sudah. Saya melihat wajah saya di cermin. Rada wagu, tapi punya aura prabu. Hehehe.
Kami segera dipanggil kumpul di bawah panggung. Siap siap tampil. Saya deg deg-an. Layar masih tertutup. Gamelan mengalun sayup sayup. Sutradara mengatur blocking. Kursi tahta di tengah panggung.
“Lha kok duwur timen?,” batin saya.
Saya coba mengingat ingat dialog. Mendadak semua kabur menguap. Wis mbuh ah. Gantungan mike dipasang melingkar di leher. Saya turun dari panggung. Sutradara mengetuk kentongan,
“Tuk…, truktuk…, tuk…”,
sebagai pertanda mulai. Irama gamelan mengeras. Perlahan layar dibuka.
Byarrr!! Lampu sorot menerangi panggung. Ternyata penonton penuh sekali. Saya menunggu penuh debar. Sebentar…
“Oke, Prabu Indra Bawana masuk! Pelan pelan…, pelan pelan jalannya…,” kata sutradara.
Saya menaiki anak tangga. Srutttt…, hampir kesrimpet sarung. Saya berjalan pelan diikuti tiga isteri. Para patih & penasehat memberi hormat. Saya menuju tahta dengan dagu tegap, berusaha menjaga wibawa. Saya mempersilahkan para isteri & abdi duduk. Tiga kursi di sisi kiri untuk para isteri, tiga bangku di kanan untuk patih & penasehat. Sayalah Sang Prabu Indra Bawana, penguasa Nagari Ngatas Angin.
Saya menatap ke depan. Hati mendadak berdesir. Jadi penguasa sungguh tidak ringan. Jangankan soal pemerintahan & mengambil keputusan, soal pakaian & penampilan, serta cara berjalan & menjaga citra. Harus bener, harus primpen. Jangan sampai kesrimpet, jangan sampai kejungkel. Meski tahta kerajaan terasa empuk, tapi sungguh tidak nyaman. Kalau dipikir pikir, jadi raja sungguhan apa bisa tenteram? Jadi prabu ketoprak saja sudah pusing tujuh keliling.
Menatap tiga wanita di sebelah kiri, berkedap kedip penuh arti. Kepala sibuk memutar hari. Kapan giliran permaisuri, kapan giliran selir. Hadeww… Sumping di kuping kanan rasanya abot tenan… HªHŪHÁªHÃ=)).
9 Pebruari, 2013
http://harjantohalim.blog.com/
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghoa