Foto Ilustrasi :
“Journey To The West” – Stephen Chow
Budaya-Tionghoa.Net | Alkisah di Taiwan di satu daerah, ada seorang anak yang kehilangan orangtuanya waktu terjadi tabrakan dan ia bertanya pada orang “pintar” dan orang “pintar” itu mengatakan bahwa altar Sun Gokongnya itu tidak benar dan orangtuanya ada kaul yang tidak dilaksanakan sampai akhirnya membuat suatu ganjalan antara orang tuanya dan Sun Gokong sehingga membuat orangtuanya meninggal.
|
Anak itu akhirnya dari sembahyang pada Sun Gokong menjadi ogah dan malas, “Dewa seperti apa itu yang seenaknya begitu ?”.
Hingga suatu hari, ketika berjalan melewati kelenteng Sun Gokong, ia melihat penampakan Sun Gokong dan karena emosi yang memuncak, ia memarahi Sun Gokong itu,”Kau dewa bajingan tengik, kenapa urusan kaul sampai membuat orangtuaku meninggal, juga bukankan waktu itu rupangmu itu di kaiguang di sini ?”.
Sun Gokongnya tersenyum dan berkata, ” Aku sebagai dewata yang berkebajikan tidak akan membuat hal-hal seperti itu pada orangtuamu. Gelarku adalah 戰鬥勝佛 bukan berarti aku itu tukang berperang tapi aku telah berhasil mengalahkan semua emosi2 dan pikiran burukku, apakah mungkin aku akan mengambil nyawa orangtuamu dan engkau celaka karena hal yang amat sepele bagiku ini ?”.
“Ketahuilah bahwa hidup dan mati adalah hal yang lumrah dan bukan disesali, aku tahu bahwa semua manusia harus mati dan bagi mereka yang ditinggalkan itu aku tetap melindungi, baik engkau menyembahku atau tidak, ku tetap menjaga dirimu. Siapa yang bisa menghindari hal yang sudah harus berjalan dengan alamiah?
Kau harus sadari bahwa semua yang menimpa dirimu itu adalah semacam latihan agar dirimu bisa menjadi manusia seutuhnya, syukur bisa menjadi diriku yang mengalahkan segala bentuk emosi dan pikiran buruk.
Aku sebagai dewata tetap melindungi manusia dan menjaga manusia, tapi bukan berarti semua harus berjalan baik, sebuah benturan, sebuah kejadian, sebuah kepedihan harus bisa kau jadikan sebagai sarana memajukan dirimu.
Jangan terjerembab pada pandangan picik itu.” Akhirnya anak tersebut sadar dan mulai mengerti bagaimana menyikapi hidup, bahwa gelombang riak kehidupan adalah hal yang alamiah, dewata hanya menjaga dan menemani kita saat menempuh riak kehidupan itu, bukan menenangkan gelombang itu hingga hening, bahkan danau yang hening sekalipun tetap ada riaknya yang tidak tampak dari kejauhan.
Dewata adalah teman yang menemani bukan budak untuk meratakan jalan hidup.
Tulisan ini untuk menghormati guruku yang amat kuhormati di Taiwan.
Ardian Cangianto
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua | Facebook Group Budaya Tionghoa