Budaya-Tionghoa.Net | Kita tentu mengetahui bahwa dari Pembantaian Batavia 1740 sampai dengan kerusuhan Mei , konflik maupun kekerasan rasial yang datang dan pergi , terkadang kambuh kembali .
Misalnya di Maluku. Orang Tionghoa memperkenalkan penggunaan kain sutera. Pada zaman Ming orang Tionghoa telah berdagang cendana di Timor. Braudel dalam “Civilization And Capitalism” menyebutkan bahwa orang Tionghoa sudah berkeliling ke berbagai negri , dengan timbangan di tangan, membeli semua rempah yang ditemui .
Pertikaian antara penduduk setempat dengan orang Tionghoa tidak pernah tercatat, namun bukan berarti tidak ada. Barangkali ada orang Tionghoa yang dibunuh oleh penduduk setempat, namun tidak ada catatan mengenai sikap anti Tionghoa yang sistematis.
Meskipun demikian, kalau kita mempelajari legenda-legenda yang muncul belakangan. Orang Tionghoa selalu diposisikan sebagai tokoh antigonis.
Contohnya adalah legenda mengenai kerajaan Tionghoa di utara Aceh yang dipimpin seorang ratu bernama Nian Nio. Ratu ini diposisikan sebagai tokoh yang kejam. Saya belum menentukan data bahwa ini adalah kisah sejarah.
Selanjutnya dalam Salasilah Kutai juga dikisahkan mengenai orang Tionghoa yang bersifat serakah, sehingga akhirnya diperangi oleh raja Kutai.
Kita tidak mengetahui kapan cerita-cerita itu dibuat, namun dapat diperkirakan kisah itu dibuat pada abad ke-17, saat di mana Belanda sudah datang da pengaruhnya belum begitu kuat. Kendati demikian, meski bukan kisah sejarah, kita dapat menyaksikan adanya suatu benih ketidak-sukaan kepada orang Tionghoa, karena mereka diposisikan sebagai tokoh antagonis dalam cerita.
Namun ketidak-sukaan ini tidaklah berlaku bagi seluruh Nusantara, karena dalam ceritera-ceritera atau legenda lain orang Tionghoa tidak diposisikan sebagai antagonis, contohnya adalah Epik La Galigo dari Tanah Bugis, dimana tokohnya yakni Sawerigading dikatakan berlayar sampai Tiongkok.
Sebelum masuknya pengaruh Belanda pada abad ke-19, terdapat orang Tionghoa yang dibunuh oleh penduduk setempat di Timor. Juga pernah terjadi kerusuhan anti Tionghoa pada masa menjelang masuknya Belanda di Pulau Sumba.
Menurut pendapat saya sikap anti Tionghoa ini tidaklah serta merta merupakan adu domba Belanda, melainkan dengan makin mantapnya kedudukan orang Tionghoa dari segi ekonomi, maka timbul kecemberuan sosial.
Orang Belanda hanya “melegalkan” saja kebencian tersebut, sebagaimana yang terdapat di Jawa; yakni orang Tionghoa diangkat sebagia penjaga tol dan penjualan candu (bisa dibaca di buku karya Ong Hok Ham).
Ivan Taniputera
Budaya-Tionghoa.Net | Facebook Group Tionghoa Bersatu | Facebook Group Budaya Tionghoa