image : wikipedia
Budaya-Tionghoa.Net | Orang sering menyamakan antara sembahyang qiyue ban る yang berkaitan dengan GuiJie 碍竊 (festival hantu) atau sembahyang rebutan yang merupakan tradisi “kelenteng” dengan sembahyang ulambana versi Buddha. Hal ini ada benar dan ada salahnya, tergantung darimana kita menilainya.
Tapi sepanjang yang saya tahu, tradisi penyebrangan roh itu tidak terjadi begitu saja, adanya pengaruh Buddhism (disamping Taoism )yang kemudian berkembang menjadi Buddhism Mahayana Tiongkok yang menyerap budaya setempat juga yang nantinyaakan memberikan pula warna bagi tradisi sembayang rebutan di kelenteng.
Sembahyang pada bulan tujuh ini adalah untuk memberi kesempatan bagi para arwah dan roh-roh di neraka dilepaskan ke dunia untuk mendapatkan ‘liburan’ dan bebas dari alam sengsara atau kita katakan saja kembali ke tempat yang layak.
Oleh karena itu pada momen tersebut, orang kelenteng mengadakan upacara untuk memberi makan mereka dan upacara ritual penyebrangan arwah. Hal ini ditujukan untuk mengembangkan welas asih tidak hanya kepada sesama manusia atau binatang tetapi juga kepada mahluk2 yang tak terlihat.
Tradisi ini sebetulnya sudah dikenal semenjak jaman sejarah purba Tiongkok tapi waktu perayaan tidak selalu sama, tergantung keinginan penguasa atau orang yang ingin mengadakan upacara itu.
Dalam kitab Liji 搂癘; disebutkan bahwa upacara ini disebut Fuli 確搂. Sedangkan maksud Fu disini adalah memanggil roh orang yang meninggal atau disebut pula Zhao Hun ┷活.
Pada upacara ini, arwah orang yang sudah meninggal, biasanya leluhur kita, diundang untuk kembali dan dihantar menuju ke tempat asal muasal leluhur tersebut berasal. Kitab Li Ji mengatakan bahwa tindakan ini adalah suatu perwujudan untuk menunjukkan rasa cinta kasih dan bakti.
Upacara ini berkembang dimasa dinasti Shang , dimana ritual ini nantinya akan dikaitkan dengan San Guan Da Di(penguasa tiga alam), penguasa langit yang dianggap memberi rejeki, penguasa bumi yang dianggap menebus dosa, dan penguasa air yang bertindak untuk mengatasi bencana.
Filosofi Tionghua yang berbasiskan YinYang percaya bahwa manusia hidup adalah bersifat Yang dan arwah2 adalah bersifat Yin. Akan tetapi arwah gentayangan atau roh2 yang tidak memiliki keturunan untuk menyembahyanginya tidak akan kembali ke Yin murni, akan tetapi menderita di alam arwah dan bersifat Yin palsu.
Oleh karena itulah maka diadakan upacara ini, dimana pada pertengahan tahun dimana terjadi peralihan antara Yin dan Yang maka adalah suatu tempo dimana ada kesempatan agar roh-roh tersebut kembali dari dunia Yin masuk kembali ke dunia Yang untuk disembahyangi dan diseberangkan menuju alam Yin murni.
Penyeberangan itu sendiri sebenarnya adalah suatu pelimpahan jasa baik dari keturunan yang masih hidup kepada arwah leluhurnya. Jasa baik dari keturunan itu dilakukan antara lain dengan memberi makan dan ataupun bantuan lainnya kepada orang-orang kurang mampu yang tinggal disekitarnya. Oleh karena itu tidak heran, bahwa pada kesempatan acara tersebut maka di Indonesia inipada khususnya ada kebiasaan untuk bagi2 beras atau makanan.
Ritual ini merupakan bagian dari ritual2 yang berkaitan dengan musim. Seperti kita kenal bahwa tradisi Tionghua merayakan ShangYuan (upacara capgomeh), Zhong Yuan dan Xia Yuan.
Acara sembahyang rebutan ini sebetulnya adalah Zhong Yen Jie atau sering disebut GuiJie, masa peralihan dari semester awal tahun ke semester akhir tahun, dimana terjadinya perubahan Yang menjadi Yin.
Pada saat itu dipercaya bahwa dewa pintu neraka purba yaitu Shen Lu dan YiLu (jangan dibaca ShenTu YuLei),melepaskan roh-roh yang disiksa di alam bawah untuk masuk ke dunia Yang , dimana mereka memperoleh istirahat dan penghiburan, serta keringanan dosa melalui suatu upacara ZhaoHun atau sekarang sering disebut ChaoDu;.
Perayaan ini biasanya dilakukan dalam periode 1 bulan tersebut, oleh karena itu di Singapura dan manca negara dikenal dengan Gui Jie / Ghost Month (bulan hantu).
Pada tahun sekitar 300 SM yaitu pada masa dinasti Jin, maka terjadi sinkretisme upacara ini dengan Buddhism, dimana berdasarkan kitab Buddha Mahayana YuLanPen Jing(Ulambana Sutra).
Ada sedikit perbedaan kepercayaan tentang konsep karma pada tradisi Buddhism Mahayana dengan Buddhism Theravada, dimana dalam Theravada karma hanyalah bisa ditanggung oleh dirinya sendiri, tetapi dalam Buddhism Mahayana maka orang lain, terutama keluarga, bisa melakukan suatu upaya untuk meringankan karma dari arwah leluhurnya yang telah meninggal.
Konsep karma dalam Buddhism Mahayana ini berkaitan dengan konsep Taoism yaitu chenfu ;, yaitu bahwa karma dari leluhur akan menurun kepada anak cucunya, spt pada ungkapan rakyat tionghua: “Leluhur berbuat kebajikan maka anak cucu akan makmur jaya”.
Secara teknis, maka upacara dari sembahyang rebutan ini biasanya dipimpin oleh seorang Daoshi (Toosu) atau kalau tidak oleh bikkhu Mahayana Tiongkok.
Ciri khas uparacara ChaoDu adalah adanya pemasangan Zhao Hun Fan, yaitu bendera pemanggil roh dan ada simbol-simbol tertentu didalamnya. Selain itu juga terkadang ada Nai He Qiao; yaitu upacara utk menyeberangi sebuah jembatan sebagai suatu simbol untuk menyeberangkan dari dunia fana ke dunia baka.
Dalam upacara tersebut juga diset suatu altar persembahan makanan-makanan yang disebut GuDai, yang nantinya dalam upacara dipersembahkan melalui suatu tradisi Songjing (pembacaan keng) yang biasanya adalah kitab yang dibacakan ada kaitannya dengan TaiYi Jiuku Tianzun, yaitu Tianzun Welas Asih yang memang bertugas untuk mengurusi para arwah gelandangan dan arwah gentayangan.
Beliau dengan kekuatan hati Welas Asih yang tiada tara senantiasa mengayomi para arwah tsb. Atau dalam cara Buddhism Nahayana Tiongkok dibacakan Amitabha Sutra dan Ulambana Sutra.
Saya pernah mengikuti upacara Ulambana versi Mahayana Tiongkok, dan ternyata memang ada bendera, patung kertas GuiWang atau TianShi, perahu kertas untuk menyebrangkan arwah dan jembatan kertas pula.
Kebiasaan atau tradisi lainnya yang khas serta mengandung makna filsafat serta membedakan dengan tradisi lentera pada saat YuanXiao atau CapGo me adalah adanya Fang He Deng,yaitu tradisi melepas lentera terapung di sungai yang mengalir sebagai simbolisme bahwa roh tersebut diberi sinar terang untuk menemukan jalannya menuju sang Asal yg disimbolkan dengan samudera (semua sungai menuju ke lautan).
Prinsip pelepasan lentera ini berkaitan dengan prinsip YIN palsu (cat:maksudnya roh yang gentayangan) melalui YANG (disini adalah dunia manusia) kemudian kembali ke YIN asli (alam kematian sesungguhnya ).
Karena filsafat itulah maka tradisi FULI atau ZhaoHun atau juga yang kita sebut ChaoDu harus melalui proses setan-setan atau roh-roh gentayangan dilepas melalui alam manusia atau alam YANG agar bisa kembali ke alam YIN.
Pada tradisi Capgome yang mana bersifat merayakan perayaan bersifat Yang atau positif, maka lentera digantung. Sedangkan pada perayaan ZhongYuan atau GuiJie itu bersifat negatif, maka lentera dilepas di sungai atau danau.
Hormat saya,
Xuan Tong
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing List Budaya Tionghua