Budaya-Tionghoa.Net
Konferensi ini diadakan selama dua hari di sebuah hotel & dimotori oleh tiga universitas swasta besar dari tiga kota besar: Universitas Petra – Surabaya, Universitas Maranatha – Bandung & Universitas Katholik Soegijapranata – Semarang.
Saya menghadiri sebuah Konferensi Internasional tentang Indonesia Tionghoa: “International Conference on Chinese Indonesians – Their Lives & Identities”.
Saya datang di hari pertama bersama seorang kolega yang akan menjadi pembicara di hari kedua. Beliau seorang penulis, sekaligus pemilik penerbitan bernama Dalang Publishing yang berdomisili di San Mateo, California, USA. Dalang Publishing bergerak dalam bidang penterjemahan karya-karya sastra Indonesia ke dalam Bahasa Inggris, kemudian menjual & menyebarluaskannya ke toko toko buku, perpustakaan & komunitas di Amerika. Sang pemilik Dalang Publishing adalah orang Indonesia yang bermigrasi ke Amerika lima puluh tahun yang lalu. Beliau kini berusia 79 tahun.
Konferensi dibuka dengan sambutan dari wakil masing masing universitas, disambung dengan pertunjukan tarian oleh seorang penari profesional yang menari memakai topeng & kostum bernuansa China, diiringi musik China. Usai satu lagu, sang penari berjongkok membelakangi penonton, melepas topeng & kostum China-nya; bertransformasi menjadi penari bertopeng, berkostum & bermusik Sunda. Ia pun menari dengan gaya jaipong yang rancak & dinamis. Usai satu lagu, sang penari kembali berjongkok; bertransformasi menjadi penari bertopeng, berkostum & bermusik Jawa. Ia pun menari dengan selendang panjang bewarna merah menyala diiringi musik berlanggam Jawa. Sebuah sajian yang apik & luwes, menggambarkan jelas transformasi etnis Tionghoa Indonesia dari waktu ke waktu.
“Apa judul tariannya?,” tanya pembawa acara.
Si Penari cengengesan manis sekali, sambil membetulkan kembennya yang bolak-balik mlorot.
“Ampyang…,” sahut si Penari yang notabene seorang lelaki keturunan Tionghoa dari marga Kwik.
“Kenapa ‘ampyang’?,” tanya pembawa acara.
“Karena ampyang berisi macam macam bahan…, gula dari Jawa, kacang, wijen, dari China…, dimasak bareng…, rasanya enak sekali…,” jawab si Penari.
Hmm…, sebuah icip-icip ketionghoaan dari sepotong kudapan lokal. Pembukaan diakhiri dengan paparan dari pembicara kunci dari Xiamen University, China & National University of Singapore.
Pembicara kunci dari Xiamen & Singapore banyak memaparkan dinamika Tionghoa Indonesia semenjak jaman penjajahan Belanda hingga Kemerdekaan. Pergumulan Tionghoa di Indonesia tak bisa terlepaskan dari dinamika yang terjadi di Tiongkok. Sebelum China merdeka, yang menjadi sumber pertikaian adalah perang antara kaum Royalist yang setia pada pemerintahan Dinasti Qing melawan Revolusionist yang dipimpin Dr. Sun Yat Sen. Saat Jepang menyerah, isu pertikaian beralih ke perlawanan Mao Zedong dari People’s Republic of China (PRC) melawan Chiang Kai Sek dari Taiwan Republic of China (ROC). Pertikaian antar Tionghoa di Indonesia ini berimbas hingga ke segala sendi sosial kemasyarakatan, dari surat kabar, perkumpulan, hingga sekolah.
Sebenarnya banyak topik konferensi yang menarik, mulai dari sejarah, bisnis, suksesi, tarian, kuburan, kaligrafi, hingga asal usul soto & arsitektur kelenteng; sayang saya tidak bisa terus hadir. Saya harus ke kantor, menyelesaikan beberapa urusan. Agak sore saya kembali ke konferensi menjemput kolega saya.
Hari kedua, konferensi masih berjalan menarik. Siang nanti, kolega saya akan menjadi pembicara. Pada sesi pembukaan saya mendengar paparan tentang identitas ketionghoaan. Saya tidak begitu memahami teori-teori ilmu sosial soal identitas & batas identitas, tapi saya merasakan kegalauan dari sebuah etnis yang pernah termarginalkan selama berpuluh-puluh tahun, mungkin lebih; di sebuah tempat yang awalnya asing, namun telah menjadi tanah kelahiran yang dicintai & dirindu, sebagai minoritas dari sebuah bangsa yang besar.
OCBC menjadi lontaran yang kadang terdengar; Orang China Bukan China. Walah. Ketionghoaan menjadi sebuah upaya tiada henti untuk menggali & mengais potongan potongan puzzle yang telah tercerai-berai akibat kebijakan politik yang represif & diskriminatif yang telah memporakpandakan tatanan sosial sebuah komunitas hingga level terendah: keluarga. Masing masing kami, kini harus merangkai, memasang, mematut matut potongan puzzle yang ditemukan; perlahan, penuh kesabaran, mencoba menjadi menjadi bagian dari sebakul nasi di bumi Nusantara.
Presentasi kolega saya mengenai novel yang ditulisnya sebagai seorang Tionghoa yang dibesarkan dalam keluarga Tionghoa tapi berkiblat ke Belanda, memberikan nuansa & aroma yang lain lagi. Kebencian & kemarahannya saat meninggalkan Indonesia lima puluh tahun yang lalu, berubah total saat ia membawa novelnya ke Indonesia dua tahun yang lalu. Ia baru menyadari, selama ini ia telah salah memahami. Ia telah salah informasi. Ia telah menyalahi tanah airnya.
Kini diusia yang semakin uzur, kesadaran sebagai seorang yang pernah dilahirkan di bumi pertiwi Indonesia, mendadak bangkit. Ia seakan terbangun dari sebuah mimpi yang kosong & dingin di sebuah negara yang sungguh asing.
“I have to be honest…, I blame the Colonialist…,” ujarnya sendu.
Kolega saya melanjutkan.
“When I went to Salatiga, a city so beautiful, which you can find such in other parts of Indonesia, I saw a bamboo tree… A beautiful bamboo tree…”
Kolega saya terhenti, menenangkan emosi yang bergejolak di dalam hati.
“I realize…, above midriff I am a Chinese…, but down here, I am an Indonesian.”
Kami semua terdiam.
“Chinese-ness is my heart & brain… But Indonesian-ness is my GRAVITY…, on which I could stand firm…”
Kolega saya menghela nafas panjang, kemudian meneruskan dengan suara agak serak.
“I am like a bamboo tree…, a Chinese…, that stands on Indonesian soil…, that nurtures me…, fills me… It is where my roots are rooted…”
Semilir AC berhembus pelan.
“Without Indonesia, there isn’t me…”
Malamnya, peserta konferensi menuju ke kawasan Pecinan Semarang. Mereka menuju Kelenteng Tay Kak Sie untuk melihat lihat salah satu aset sekaligus artefak ketionghoaan yang masih tersisa & terpelihara dengan baik. Setelah itu rombongan berjalan kaki menuju Gedung Pertemuan Boen Hian Tong, dimana saya & seluruh pengurus menjadi tuan rumah.
Kami beramah tamah, mendengarkan presentasi soal adat & budaya Pecinan Semarang, lalu tur keliling Gedung Pertemuan; dimana di lantai dua terdapat patung Dewa Long Kun Ya (Langjunye – pinyin), satu satunya Dewa Musik yang ada di kota Semarang. Setelah itu rombongan bersiap siap menuju Waroeng Semawis untuk makan malam di sebuah pusat kuliner khas Semarangan dengan sistim ‘open air’. Para peserta sudah bersiap di depan pintu, tau-tau hujan turun rintik-rintik; makin lama makin deras. Walah.
Kami nekad menerobos hujan. Dua becak didatangkan untuk membawa peserta yang sudah sepuh, termasuk kolega saya & seorang akademisi dari Jakarta yang telah berusia 86 tahun. Menembus deras hujan, saya & beberapa orang pengurus & panitia berjalan berbasah basah, ngrubyuk jalanan yang tergenang air. Di mulut Gang Warung, kami menunggu becak yang tadi mengambil jalan memutar. Saat becak tiba, kami menurunkan kolega saya & si akademisi dengan hati hati. Kami berjalan beriringan. Ada yang menuntun, ada yang memegang payung, ada yang membawakan tas.
“Tempatnya dimana?,” tanya Ibu akademisi.
Kami berhenti di tengah tengah Waroeng Semawis. Di kanan kiri trotoar nampak para pedagang yang duduk duduk berteduh, menanti dagangannya yang sepi pembeli. Hujan turun semakin deras.
“Itu sudah dekat…,” ujar saya menunjuk ke lokasi pertemuan.
Kami melanjutkan – berjalan tertatih tatih, menyusuri setapak pecinan yang makin terasa lengang & tergenang. Lampu jalanan bersinar suram. Dalam deras hujan penuh geram, kami tertatih tatih menjumput ketionghoaan yang pernah hilang ditelan badai sejarah nan kelam.
“Masih jauh?,” tanya si akademisi.
“Itu sudah dekat…, yang ada lampunya disana…,” ujar saya lirih.
November, 2013
Oleh : Harjanto Halim
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua | Facebook Group Budaya Tionghoa