Budaya-Tionghoa.net | CATATAN ADMIN : paper yang dibawakan pada Seminar dan gathering milis Budaya Tionghoa di Bandung tanggal 22 Febuari 2014.
Bahasa sebagai Medan Kerja Kekerasan
Bahasa di satu sisi dapat dipakai mengekspresikan hasil pikiran orang, tetapi di sisi lain juga dapat mengkonstruksi pikiran orang. Bahasa menjadi sarana untuk mengungkapkan ide-ide, perasaan, dan pengalaman kita. Di samping itu, bahasa juga dapat dipakai untuk memotivasi,juga memprovokasi orang. Lewat bahasa, pikiran dan perilaku orang bisa digali dan dipahami. Namun, lewat itu juga pikiran dan perilaku orang lain bisa digoda, dicekoki, dikelola atau bahkan diobrak-abrik.
Ricoeur mengatakan bahwa bahasa dapat menjadi suara kekerasan (voice of violence).[1]Selain bisa menjadi alat pencipta kedamaian (peredam konflik), bahasa juga dipakai sebagai kendaraan untuk memobilisasi kebencian (melalui hinaan, cercaan, ejekan),Bahasa dapat digunakan sebagai sarana untuk menciptakan solidaritas dan kohesi sosial, tetapi juga menegaskan batas-batas demarkasi eksklusif antara mana “kawan” yang “harus dibela” (ingroup) dengan “lawan” yang “jahat dan harus dibasmi” (outgroup). Kategorisasi kita tentang tuan-budak, mayoritas-minoritas, asli-pendatang, totok-peranakan, itu dimungkinkan gara-gara bahasa juga.
Apa yang muncul lewat bahasa adalah gema dari “dunia dalam” atau pikiran seseorang.Oleh karenanya, di balik bahasa kekerasan, yang bekerja adalah logika atau kerangka pikir yang melegitimasipeniadaan dan pengeliminasian “yang lain”. Di belakang yang tampak dalam tuturan atau tulisan kita, tersembunyi prasangka-prasangka atau ideologi-ideologi yang maunya menyeragamkan keunikan, mengabsolutkan satu pandangan, menolak kehadiran pihak yang berbeda (othering the other), dengan ide dasarnya menjadikan masyarakat sebagai ketunggalan kolektif.[2] Uniknya, prasangka atau ideologi itu secara tersembunyi dan halus mengendalikan (atau bahkan menuntut) kita untuk juga melakukan hal yang serupa. Bahasa mempunyai daya untuk mengaktifkan “intensi untuk membunuh yang lain”.
Lewat bahasa kekerasan dilanggengkan dalam sejarah. “Cara pikir menegasi”ini dipelihara, diwariskan, dihidupkan terus menerus lewat bahasa yang kita konstruksikan di dalam sejarah. Negativitas bisa bekerja secara laten dalam tuturan, diskusi, obrolan kita sehari—hari, dan sewaktu-waktu bisa meledak secara eksplisit dalam tindakan. Praktek-praktek stereotipesasi atau segregasi dalam relasi sosial kita satu sama lain dilegitimasi, diberi energi, dan dilestarikan oleh bahasa yang memuat negativitas ini.
Bahasa yang memuat negativitas adalah bahasa yang melainkan yang lain (othering the other), dan memposisikan yang lain sebagai lebih rendah, boleh ditundukkan atau disingkirkan. Melalui bahasa itu, pola pikir masyarakat dibangun untuk terus menerus membuat kategorisasi ekstrem dan polaristik:ingroup-outgroup, unggul-tidak unggul, baik-tidak baik, benar-tidak benar, yang pada akhirnya berpotensi memunculkan kekerasan. Dualisme polaristik berpotensi menciptakan kekerasan yaitu saat salah satu kategori yang saling beroposisi itu mendominasi kategori yang lain. Fanatisme pada salah satu kutub ditambah iklim ketidaksetaraan yang mewarnai dualisme oposisi itu, membuat keinginan untuk menegasi mendapatkan ruang: superioritas melawan inferioritas, yang superior menegasi yang inferior (dan kebalikannya). Di dalamnya, hanya satu kategori yang akhirnya boleh berlaku, sementara kategori yang lain yang tidak sesuai boleh disingkirkan.[3]
Di balik pertentangan biner itu, ada mentalitas untuk mendudukkan yang lain sebagai musuh yang boleh disingkirkan dalam relasi sosial, atau dikenal sebagai mentalitas tuan-budak. Di dalam mentalitas itu, baik tuan maupun budak sama-sama saling bersikap curiga, ingin menguasai yang lain, dan sah untuk mengeliminasi yang lain. Baik pelaku maupun korban keduanya menerapkan logika yang sama, yaitu memposisikan diri yang lain sebagai musuh, yang satu menegasi keberadaan yang lain. [4]
Beberapa Kata yang Menjadi Ekspresi Kekerasan
Dalam konstruksi identitas orang Tionghoa di Indonesia, ada berbagai “kata” yang digunakan sebagai media untuk mengekspresikan kekerasan.Kata-kata yang dimaksud di sini adalah kata-kata yang didudukkan secara berpasangan (dualistik polaristik/ biner) di dalam relasi sosial, dan sudah diisi oleh makna atau labelisasi tertentu sehingga bisa membawa pada penyangkalan akan keberadaan orang satu sama lain.
Di dalam pasangan kata yang sengaja “dikonstruksikan” itu, sarat pula muatan-muatan stereotipesasi yang bisa memberi legitimasi pada perilaku eliminatif terhadap yang lain. Kata-kata itu misalnya:
– pribumi (asli) dan non-pribumi (asing)
– murni (totok) dan peranakan
- 1. Pribumi & non-pribumi
Penggunaan istilah pribumi atau non-pribumi lebih merupakan konstruksi sosial. Belum ada data yang menjelaskan secara pasti dan ilmiah kapan istilah ini muncul, namun yang jelas istilah ini sudah digunakan dalam produk-produk hukum kolonial. Istilah pribumi (bumiputera) awalnya (abad ke-19) konotasinya negatif, yakni dipakai pemerintah kolonial untuk mengkategorisasi pihak yang dieksploitasi, yakni penduduk lokal nusantara. Sementara istilah “non-pribumi” dipakai untuk orang asing (keturunan Tionghoa, Arab, India) sebagai perantara bagi pihak kolonial untuk mengeksploitasi.Di sini terjadi politisasi identitas lewat pemosisian sebagai “tuan” dan “budak”. Pribumi diposisikan sebagai korban yang dieksploitasi di tanahnya sendiri.Sementara, non-pribumi diposisikan sebagai kaki tangan penguasa, yakni pihak yang boleh menghisap dan mengeruk keuntungan. Di era orde lama/ orde baru, penggunaan istilah pribumi bergeser yakni untuk pembelaan diri (atau pembalasan?) untuk mendapatkan kembali apa yang sudah dieksploitasi kaum non-pribumi. PP10/ 58 dapat ditafsirkan sebagai bentuk perlindungan kepada bumiputera atas dominasi kaum non-pribumi dalam bidang ekonomi.Istilah ini kemudian dipakai secara diskriminatif, sebagai bentuk perlawanan atas masa lalu. Di akhir Orde Baru, pada saat kekerasan Mei 1998, istilah pribumi mewakili kehendak untuk mengeliminasi secara sah, atau bahkan penyangkalan (penghilangan) atas identitas yang diyakini untuk mendapatkan perlindungan.
Selain itu, istilah pribumi juga dikonotasikan pada pemilik tanah di nusantara, sementara non-pribumi sebagai penggunanya. Pemilik memiliki “hak lebih” tinggi atas tanah dibandingkan dengan pengguna. Pribumi diasosiasikan pada kategori asli/ lokal, sementara non-pribumi sebagai pendatang (tidak asli). Artinya, ada labelisasi pada kategori-kategori itu, yang memuat juga muatan yang cenderung memposisikan yang lain sebagai pihak yang bertentangan dan dapat dieliminasi.
Tabel stereotipe pribumi vs non-pribumi[5]
Pribumi |
Non-pribumi |
Asli/ lokal |
Pendatang, menyesuaikan diri |
Pemilik |
Pengguna |
Punya hak lebih |
Tidak berhak |
Korban |
Eksploitator, kaki tangan penjajah |
Sapi perah |
Pengeruk keuntungan |
Masyarakat marjinal |
Masyarakat yang dekat dengan penguasa |
Akses terbatas |
Akses pada fasilitas sosial terbuka |
Menetap |
Boleh/ wajar diusir |
Dst. |
Dst. |
Di sini melalui bahasa, diciptakan aura bahwa “pribumi” dipandang sebagai korban eksploitasi, sehingga mendapatkan pembenaran untuk boleh membalas dendam secara sah pada mereka yang mengeksploitasi. Sementara itu, diciptakan pula aura bahwa kaum “non-pribumi” juga menjadi korban yang dapat diusir sewaktu-waktu karena dosa masa lalu, sehingga karenanya boleh secara sah juga memposisikan pihak pribumi sebagai musuh mereka. Dengan demikian, kekerasan berlangsung secara timbal balik, baik korban maupun pelaku. Korban maupun pelaku menerapkan/ mengkaitkanlabel tertentu pada pihak yang lain, sebagai bentuk pembenaran hasrat untuk meniadakan yang lain.
- Totok (Murni) dan Peranakan
Kekerasan juga diekspresikan di dalam penggunaan istilah totok dan peranakan. Istilah Totok secara garis besar ditujukan pada kelompok Tionghoa yang tetap mempertahankan budaya lokalnya di Tiongkok. Sementara itu, istilah peranakan ditujukan pada kelompok Tionghoa yang berbaur dengan penduduk lokal, melalui proses pemelukan agama atau perkawinan. [6]
Fanatisme pada kedua kubu ini kemudian membuat pertentangan sengit di antara kedua kelompok ini, khususnya di era Orde Lama. Di masa Orde Baru, pertentangan keduanya sempat berkurang karena adanya tekanan penguasa, namun setelah reformasi seakan memiliki energi untuk bangkit kembali.
Pasangan kata yang dualistik-polaristik antara keduanya ini juga memuat berbagai stereotipe tertentu yang membawa kecenderungan untuk dapat saling mengeliminasi secara sah.
Tabel stereotipe totok vs peranakan[7]
Totok |
Peranakan |
Murni |
Campuran |
Penjaga dan pemelihara tradisi, adat, dan ritual |
Meninggalkan tradisi, adat, ritual |
Identifikasi dengan leluhur atau identitas sosial yang tinggi |
Identifikasi baik dengan identitas sosial yang lebih tinggi atau rendah |
Pewaris budaya |
Bukan pewaris budaya |
Setia |
Pengkhianat |
Ekskusif |
Inklusif |
Tidak mau melepaskan atribut dan tidak mau berbaur |
Melepaskan atribut dan identitas demi pembauran |
Dst. |
Dst. |
Kecenderungan yang ada adalah kedua belah pihak saling memposisikan lebih dari pada yang lain. Kaum totok menganggap dirinya sebagai beridentitas Tionghoa sejati dengan strategi integrasinya, sementara kaum peranakan mengganggap dirinya sebagai beridentitas Tionghoa Indonesia sejati dengan strategi asimilasinya.
Kekerasan di sini terjadi juga secara internal di kalangan kaum Tionghoa. Yang satu menganggap kemurnian sebagai pegangan utama untuk dapat meniadakan yang lain. Yang lain menganggap pembauran sebagai pegangan utama untuk melakukan hal yang sama. Yang terjadi adalah keduanya berupaya saling meniadakan satu sama lain. Yang satu menjadi lawan terhadap yang lain. Hubungan perlawanan ini menjadi unik ketika dalam kenyataannya kedua kelompok ini (Totok maupun peranakan) belum sepenuhnya juga diterima secara penuh sebagai bagian masyarakat Indonesia. Artinya, lewat bahasa, kekerasan mendapatkan legitimasinya, bukan hanya diantara korban dan pelaku, tetapi juga sesama korban.
Setelah era reformasi, secara legal diskriminasi sudah dihapuskan oleh negara. Namun, labelisasi ini masih berkembang dan menempel dalam pikiran kolektif masyarakat. Artinya, dalam tataran kesadaran masyarakat kita, mentalitas tuan-budak masih bekerja secara laten. Yang laten ini dapat menjadi “bom waktu” untuk memunculkan kembali kekerasan langsung.
Penutup
Akhir kata, melalui tulisan ini, penulis ingin merekomendasikan pentingnya preferensi pada penerapan paradigma afirmatifdalam berelasi secara sosial. Relasi sosial kita seharusnya dilandasi bukan lagi oleh mentalitas tuan-budak yang saling menegasi, tetapi saling mengakui, merawat, dalam iklim dialogis dan toleran.
Penulis merekomendasikan paradigma translasi yang digagas Ricoeur, untuk berelasi sosial. Ricoeur dalam On Translation mengajak setiap pengguna bahasa untuk mengambil sikap sebagai agen etis. Ricoeur menjelaskan bahwa sikap kita terhadap sesama manusia dapat dipelajari dari proses penterjemahan. Bagi Ricoeur, menerjemahkan pada hakekatnya adalahaktivitas etis, di dalamnya kita belajar memahami karakter komunikasi antarmanusia yang sejati. Menurut Ricoeur, proses berelasi antar manusia mirip dengan proses translasi, dengan segala ketidaksempurnaan dan kesulitan yang dihadapi di dalamnya. Pada proses translasi, kita mengalami relasi timbal balik, baik antara pengarang dan pembaca (penterjemah atau penginterpretasi). Sama halnya, hubungan antarindividu dalam masyarakat juga ditandai oleh relasi timbal balik atau dialogis secara demikian.
Beberapa aspek etis dalam proses translasi yang dapat dijadikan pembelajaran bagi kita untuk berelasi sosial secara lebih afirmatif ialah sebagai berikut: [8]
- Di dalam proses translasi, ada “keramahan linguistik”,yaitu keinginan untuk mengakui atau merawatmakna-makna yang berbeda dengan kita. Dalam relasi sosial, metafor keramahan linguistik ini dapat ditunjukkan dengan sikap mengiyakan dan menjaga keunikan perbedaan orang lain.Bukan keinginan untuk menyamakan “yang lain”, melainkan pengakuan akan adanya kebenaran dari “yang lain” (attestation).
- Dalam translasi, ada penerimaan penuh atas teks yang tidak mungkin dapat ditranslasi lagi (untranslatability). Artinya, translasi mengandaikan adanya ketidakmungkinan untuk menjadi sempurna. Maka, penerimaan terhadap ketidaksempurnaan yang lain juga menjadi bagian penting dalam relasi sosial. Ketidaksempurnaan yang lain bukan alasan untuk melakukan kekerasan terhadap yang lain
- Translasi mengandaikan pula adanya toleransi, yaitu kemampuan untuk bersikap terbuka terhadap sudut pandang teks atau bahasa yang lain.Keterbukaan terhadap kekayaan teks atau bahasa lain adalah syarat mutlak dalam translasi. Relasi sosial kita semestinya pun dilandasi oleh adanya keterbukaan satu sama lain, penghargaan atas berbagai sudut pandang dan kelebihan orang lain.
Daftar Pustaka:
Afif, Afthonul, 2012,Identitas Tionghoa Muslim Indonesia: Pergulatan Mencari Jati Diri, Depok: Penerbit Kepik.
Arendt, Hannah, 1972, Crises of the Republic, Harmondsworth, Middlesex: Penguin Books Ltd.
Ascroft,Bill; Griffiths, Gareth, 1998, Key Concept in Postcolonial Studies, London: Routledge.
Budi Hardiman, Frans. 2010, Massa, Teror dan Trauma: Menggeledah Negativitas Masyarakat Kita, Maumere: Ledalero dan Lamalera, 2010.
Djunatan, Stefanus; Setiawan, Rudi, 2013, Eksplorasi Paradigma Negativitas Sebagai Akar Kekerasan Kultural: Pendekatan Hermeneutik atas Kajian Kekerasan Massal Terhadap Orang Tionghoa Indonesia, LPPM UNPAR.
Foucault, Michel, 1977, Discipline and Punish, The Birth of Prison, trans. Alan Sheridan, New York: Vintage Books.
Galtung, Johan,1990, “Cultural Violence”, Journal of Peace Research, Vol. 27. No. 3, (1990).
Hoon, Chang-Yau, 2012, Identitas Tionghoa, Pasca-Suharto, Budaya, Politik, dan Media, Jakarta: Yayasan Nabil & LP3ES
Ju Lan, Thung, 2010, “Dari Obyek Menjadi Subyek” dalam Setelah Air Mata Kering: Masyarakat Tionghoa Pasca-Peristiwa Mei 1998, Jakarta: Kompas.
Nietzsche, F., 1997, On The Genealogy of Morality, ed. Keith Ansell-Pearson, trans. Caroll Diethe, Cambridge: Cambridge University Press.
Ricoeur, Paul,1965, History and Truth, trans. by Charles A. Kelbley, Illinois: Northwestern University Press.
Ricoeur, Paul, 1998, “Violence and Language” in Bulletin de la Société Americaine de philosophie de langue Française, Vol. 10, Issue 2, Fall (1988).
Scott-Baumann, Alison, 2009, Ricoeur and The Hermeneutics of Suspicion, London: Continuum International Publishing Group.
Tong, Chee Kiong, 2010, Identity and Ethnic Relations in Southeast Asia, Racializing Chineseness, Dordrecht: Springer.
[1]Ricoeur, 198: 33.
[2]Budi Hardiman menyatakan bahwa kekerasan massa terjadi saat seluruh pikiran dan perbuatan kita diseragamkan sebagai suatu ketunggalan kolektif saja. Lihat Hardiman, 2010: 45.
[3]Bill Ascroft, 1998: 23-27.
[4]Nietzsche, 1997: 10-20.
[5]Djunatan, Setiawan, 2013: 78.
[6]Chee Kiong Tong 2010:12; Chang-Yau Hoon 2012:xxxvii
[7]Djunatan, Setiawan, 2013: 80.
[8]Alison Scott-Bauman, 2009: 107.