foto ilustrasi : bing
Urgensi Kebudayaan
Pada pertengahan tahun 2000, HarvardUniversity menyelenggarakan simposium yang dimotori Lawrance E. Harrison dan Samuel P. Huntington. Pertemuan ilmiah yang melibatkan 22 pembicara yang datang dari berbagai disiplin keilmuan sosial ini mengangkat tema Culture Matters: How Values Shape Human Progress. Para ahli seperti Michael Porter, Jeffrey Sachs, Francis Fukuyama dan lain sebagainya saling berdebat terkait urgensi kebudayaan bagi kemajuan suatu bangsa. Dalam simposium tersebut paling tidak terdapat dua pandangan besar yang mewakili dua kelompok besar yaitu aliran kultural dengan aliran struktural, sebagaimana dinyatakan berikut:
Ajaran pokok kelompok konservatif adalah bahwa budayalah, dan bukannya politik, yang menentukan kesuksesan sebuah masyarakat. Ajaran kelompok liberal adalah bahwa politik dapat mengubah sebuah budaya dan membuatnya bertahan.
(Daniel Patrick Moynihan)[1]
Meski terjadi dua pandangan yang berbeda, akan tetapi masing-masing peserta mengakui pengaruh budaya bagi kemajuan suatu bangsa. Samuel P. Huntington menegaskan bahwa kebudayaan merupakan unsur determinan maju atau mundurnya suatu bangsa. Ia mencontohkan bahwa di awal tahun 1990-an ia menemukan data bahwa Ghana dan Korea Selatan di tahun 1960-an awal memiliki kemiripan ekonomi. Dilihat dari Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita yang setara; porsi ekonomi yang serupa di antara produk, manufakturing dan jasa primer serta berlimpahnya ekspor produk primer, dengan Korea Selatan memproduksi sejumlah kecil barang manufaktur. Mereka juga menerima bantuan ekonomi yang seimbang. Namun apa yang terjadi 30 tahun kemudian? Kore Selatan jauh melampaui Ghana dari sisi ekonominya. Korea Selatan menjadi negara ke-14 terbesar di dunia, yang mengembangkan perusahaan-perusahaan multinasional, ekspor mobil, alat elektronik, dan barang canggih hasil pabrik lainnya dalam jumlah besar, serta pendapatan perkapita yang mendekati Yunani pada saat itu. Berbeda dengan apa yang terjadi di Ghana, yang PDB per kapitanya sekarang sekitar seperlimabelas dari Korea Selatan. Suatu gap yang teramat jauh dari sisi ekonomi. Apa sebetulnya yang menjadikan Korea Selatan maju demikian pesat, sedangkan Ghana tetap tertinggal di belakang? Jawabannya adalah kebudayaan. Orang Korea Selatan yang memiliki budaya hidup hemat, rajin investasi, kerja keras, mengutamakan pendidikan, aktif berorganisasi dan sangat disiplin, mengantarkan begitu cepat perekonomian negaranya. Akan tetapi Ghana yang memiliki budaya lemah, yaitu sikap hidup yang tidak disiplin, tidak menghargai pendidikan, boros dan suka berfoya-foya, pada akhirnya kebudayaan tersebut menghambat kemajuan negaranya.[2]
Dewasa ini Korea Selatan sedang mendapatkan banyak pujian di forum internasional. Mereka mampu merajalela dalam bidang penciptaan teknologi informasi, barang elektronik dan otomotif yang kompetitif dan unggul. Produk-produk elektronik Korsel telah mampu menyaingi produk yang dihasilkan “gurunya”, yakni Jepang, maupun Barat. Bahkan di bidang softpower (budaya), kita kenal apa yang disebut dengan serbuan “gelombang Korea” (hallyu), yakni musik K-Pop, film dan sinetron, animasi, kuliner serta bahasa. Siapa yang tidak kenal dengan tarian “Gangnam Style” yang dipopulerkan Psy, seorang penyanyi rap Korsel? Videonya yang diunggah di Youtube disaksikan lebih dari satu milyar pemirsa dan tercatat rekor sebagai video yang paling populer dalam sejarah!
Jepang pun begitu. Sebagai bangsa yang pernah mengalami peristiwa tragis, yaitu eksekusi bom atom di Nagasaki dan Hiroshima dan telah memakan ratusan ribu korban jiwa penduduknya, bisa tampil kembali menjadi bangsa besar yang disegani bangsa-bangsa lainnya. Berbagai sikap hidup yang berasal dari budaya yang memajukan tetap dipegang erat-erat oleh masyarakatnya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa bangsa Jepang adalah pekerja keras. Rata-rata jam kerja pegawai di Jepang adalah 2450 jam/tahun, sangat tinggi dibandingkan dengan Amerika (1957 jam/tahun), Inggris (1911 jam/tahun), Jerman (1870 jam/tahun), dan Perancis (1680 jam/tahun). Seorang pegawai di Jepang bisa menghasilkan sebuah mobil dalam 9 hari, sedangkan pegawai di negara lain memerlukan 47 hari untuk membuat mobil yang bernilai sama. Seorang pekerja Jepang boleh dikatakan bisa melakukan pekerjaan yang biasanya dikerjakan oleh 5-6 orang. Pulang cepat adalah sesuatu yang boleh dikatakan “agak memalukan” di Jepang, dan menandakan bahwa pegawai tersebut termasuk “yang tidak dibutuhkan” oleh perusahaan.[3]
Begitupun dengan China yang belakangan mulai merajai ekonomi dunia. China memang merupakan bangsa yang sangat pragmatis. Mereka mempraktikkan sistem politik komunis-otoriter, namun menganut sistem ekonomi yang kapitalis. Meski begitu, efektivitasnya sudah terbukti dalam dua dekade terakhir ini. Terkenal sekali kata-kata Deng Xiao Ping saat itu, “tidak peduli kucing hitam atau putih, yang penting bisa tangkap tikus”. Pelajaran buat kita di sini adalah, jangan terlalu pusing soal nama sistem ekonominya, apakah liberal, neo liberal, atau agak sosialis, yang penting bisa menyejahterakan seluruh rakyat, bukan cuma segelintir orang saja. Di samping itu kebiasaan berbisnis yang tidak terlalu birokratis, berani hidup hemat, sabar dalam menawarkan dagangannya dan bernegoisasi atau tawar-menawar meski mendapat keuntungan sedikit, semua itu merupakan refleksi dari kebudayaan yang mereka kembangkan.[4]
Lantas bagaimana dengan Indonesia? Indonesia adalah bangsa yang unik, karena selain terdiri dari banyak suku dan bahasa ia juga merangkum berbagai kebudayaan yang tumbuh di dalamnya. Tercatat sekitar 300 bahasa daerah yang dijadikan media komunikasi antar penduduknya. Meskipun begitu, bahasa Indonesia menjadi bahasa nasional yang dapat dijadikan sebagai media komunikasi antara suku dan bangsa yang ada di dalamnya.
Meski Indonesia memiliki berbagai macam jenis kebudayaan, namun kebudayaan itu belum benar-benar menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang tangguh dengan segenap pencapaian dan prestasi yang membanggakan. Sebut saja misalnya dalam persoalan pendidikan, sampai saat ini meski sarjana lulusan perguruan tinggi kian bertambah, namun tetap saja pengangguran terjadi di mana-mana, bukan karena tidak ada lapangan pekerjaan, melainkan karena pendidikan yang mereka ikuti tidak tepat guna (link and match) dengan kebutuhan dunia kerja. Lulusan yang banyak itu tidak memiliki keahlian khusus sehingga terputus dari kebutuhan nyata di masyarakat. Belum lagi pilihan hidup yang terkesan santai, tidak pandai berhemat, banyak mengeluh makin menurunkan daya saing Indonesia sebagai sebuah bangsa yang kuat. Berbeda dengan ketiga negara di atas, seperti Korea Selatan, Jepang dan China yang telah maju karena dukungan kebudayaan yang dikembangkannya.
Apakah benar budaya bangsa Indonesia ini lemah? Apakah manusia Indonesia juga, memiliki banyak nilai-nilai hidup lemah, sehingga wajar bila kebudayaan yang ada tidak menjadikan bangsa ini maju? Lantas bila demikian, apa yang bisa kita lakukan untuk menjadikan kebudayaan Indonesia kembali digdaya?
Mochtar Lubis (1922 – 2004), seorang jurnalis dan budayawan tersohor, dalam pidato kebudayaannya tahun 1977 di Taman Ismail Marzuki menyampaikan dengan sangat lugas ciri-ciri manusia Indonesia, yaitu: hipokrit (munafik), tidak bertanggungjawab atas perbuatannya sendiri, memiliki jiwa feodal, masih mempercayai takhyul, artistik, watak yang lemah, tidak hemat alias boros, dan sifat-sifat buruk lainnya.[5] Dari sifat-sifat manusia yang disampaikan tersebut, hanya satu yang positif, yaitu jiwa artistik, sedangkan sisanya hanya nilai-nilai lemah yang tidak perlu dikembangkan.
Menurut sejarawan ternama asal Inggris, Arnold J. Toynbee (1889 – 1975) bangsa-bangsa yang mendiami wilayah di sekitar garis khatulistiwa dikenal memiliki budaya yang lembek (soft culture). Toynbee yang menelaah delapan pusat peradaban dunia, dan kemudian menghasilkan teori Challenge and Response itu, mengemukan bahwa suatu kebudayaan akan tumbuh manakala ia mampu menghadapi tantangan yang datang dari tempat di mana ia hidup. Hal serupa disampaikan juga oleh Tokuyama Jiro, peneliti dari Nomura Institute, bahwa bangsa agraris biasanya lebih subsisten, bersifat pasrah dibandingkan bangsa Barat yang lebih keras, karena harus berburu untuk bertahan hidup. Di sini alam agraris cenderung memanjakan manusia yang hidup di atasnya. Mereka pun tidak memiliki daya saing yang kuat sebagaimana bangsa yang memiliki empat musim.[6]
Herman Kahn dari RAND Corporation mengatakan bahwa di benua Asia ada dua wilayah yang dipisahkan oleh garis pembatas. Garis itu terletak di Thailand. Mereka yang mendiami wilayah di Utara garis ada di bawah pengaruh Konghucu jauh lebih maju bila dibandingkan dengan mereka yang berada di wilayah Selatan. Indonesia yang berada di bagian Selatan termasuk bangsa yang memiliki kebudayaan yang statis.[7]
Gunnar Myrdall (1898 – 1987) menyimpulkan bahwa semua negara di Asia Selatan termasuk Indonesia menempatkan modernisasi sebagai tujuan pembangunan dalam konteks pertumbuhan ekonomi dan keadilan sosial. Keadaan mundur terjadi di Indonesia disebabkan karena massa rakyat yang irasional dan buruknya lembaga-lembaga sosial politik. Masih menurut Myrdall, keadilan ekonomi merupakan syarat bagi pertumbuhan ekonomi di negara-negara terbelakang termasuk Indonesia.[8]
Setelah mengetahui berbagai informasi tersebut, kita bisa menyikapinya dengan dua pilihan, yaitu pesimis atau optimis. Bila optimis, maka tidak ada pilihan lain bagi kita semua kecuali berpikir bersama untuk mencari sebuah strategi baru bagi kebangkitan budaya Indonesia yang kelak berpengaruh bagi kebangkitan bangsa ini.
[1] Samuel P.Huntington & Lawrence E. Harrison, Kebangkitan Peran Budaya: Bagaimana Nilai-nilai Membentuk Kemajuan Manusia. Terj. Retnowati (Jakarta: LP3ES, 2011), hal. xv.
[2] Ibid. hal. xiii.
[3] Untuk mengetahui dimensi kebudayaan Jepang, khususnya menyangkut pendidikan di Jepang dapat dibaca di Ruth Benedict, Pedang Samurai dan Bunga Seruni Pola-Pola Kebudayaan Jepang, terj, Pamudji (Jakarta: Sinar Harapan, 1982), hal. 265. Bisa juga dibaca laporan dari Tadashi Fukutake, Masyarakat Jepang Dewasa Ini, terj. Haryono (Jakarta: Gramedia, 1988), hal. 102 – 115.
[4] Kedigdayaan China didukung oleh faktor dominan yaitu ajaran-ajaran Konfusius yang mengajarkan bekerja sebagai rahmat, amanah, panggilan, aktualisasi, ibadah, seni, kehormatan dan pelayanan. Maka wajar jika geliat China saat ini mampu menggeser, paling tidak menggoyahkan, kedigdayaan Amerika sebagai polisi dunia. Baca Jansen Sinamo dan Eben Ezer Siadari, The Chinese Ethos Memahami Adidaya China Abad 21 dari Perspektif Budaya dan Sejarah (Jakara: Institut Darma Mahardika, 2013), hal. 201 – 355.
[5] Mochtar Lubis, Manusia Indonesia (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2012), hal. 18 -34.
[6] Bonnie Triyana, hal. 7 – 8.
[7] Ibid. hal. 8 – 9.
[8] Gunnar Myrdall dikenal setelah terbit bukunya Asian Drama: An Inquiry into the Poverty of Nations (Drama Asia: Sebuah Pertanyaan tentang Kemiskinan Bangsa-bangsa) yang terbit pada tahun 1968. Jakob Oetama, pendiri KOMPAS sangat kagum dengan gagasan Myrdall ini, baca St. Sularto, Syukur Tiada Akhir Jejak Langkah Jakob Oetama (Jakarta: Kompas, 2011), hal. 259 – 371.