KEBAJIKAN TERUNGGUL
Dalam Daode jing bab 38 membahas shangde 上德 dan xiade 下德. Seringkali diterjemahkan sebagai kebajikan terunggul dan kebajikan rendah.
Umumnya beranggapan bahwa yang dimaksud kebajikan terunggul itu adalah sikap yang sesuai dengan aturan atau juga kadang diartikan selaras dengan Dao. Dao ( jalan ) sebagai tolok ukur dalam menilai kebajikan terunggul itu.
Apa yang dimaksud kebajikan terunggul itu adalah suatu sikap melaksanakan kebajikan dengan sikap spontanintas; tidak memiliki niatan apapun selain tindakan tanpa niat. Dalam bahasa keseharian adalah sikap langsung tanpa tendeng aling. Seperti kita saat mengemudi secara reflex menginjak rem saat melihat orang menyebrang. Tak ada pikiran terlintas dalam kesadaran kita bahwa saat ada orang menyebrang itu harus menginjak rem. Semua secara spontan dilakukan.
Tindakan spontan saat menolong orang atau melaksanakan kebajikan ini sulit dilihat dengan mata biasa. Karena saat kita membantu orang, siapa yang tahu niatan atau pikiran yang terlintas dalam diri kita. Saat kita menyumbang beras untuk upacara sembahyang cioko misalnya. Ada yg menyumbang 1 ton beras dan 1 kg beras. Orang terpaku pada niatan atau pada jumlah ? Ada orang yang terlihat menolong orang lain tanpa pamrih atau tidak menerima materi kemudian dipuji sebagai orang yang berjiwa penolong. Kita terpaku pada kata “materi” belaka sebagai tolok ukur ketulusan orang. Sedangkan Shangyang seorang filsuf jaman dahulu mengatakan semua niatan manusia itu mengarah pada dua hal. Yakni nama ( kekuasaan ) dan materi.
Pandangan masyarakat tentang menolong orang lain akhirnya dikategorikan menjadi dua tolok ukur utama. Yaitu imbalan dan tiada imbalan. Coba kita amati secara seksama betapa banyak orang yang menolong org lain dalam lingkup agama. Apakah mereka memohon imbalan ? Jawabannya bisa ya bisa tidak. Tapi perlu digaris bawahi bahwa saat dalam lingkup agama itu manusia lebih banyak mau melakukan kebajikan dibanding diluar lingkup agama. Apa yang saya maksud adalah mereka mau berdana luar biasa atas nama agama. Disini bisa saya katakan bahwa apa yang dilakukan bukanlah kebajikan terunggul ( shangde ) tapi kebajikan biasa ( xiade ). KEbajikan biasa adalah kebajikan yang dibentuk dengan niatan atau keinginan. Bisa dengan timbal balik materi, kekuasaan, nama atau juga balasan dari yang maha kuasa.
Kebajikan terunggul adalah kebajikan yang dilakukan karena dasarnya hanya kata “bajik” saja tidak melekat pada berbagai macam niatan atau juga procedural proses pelaksanaan kebajikan. Dan bentuk-bentuk kebajikan itu yang dimaksud oleh Laozi dengan 上德不德,是以有德. Adalah mereka yang melakukan kebajikan itu dengan tanpa niatan tanpa keinginan. Dan belum tentu kebajikan itu bersifat luar biasa dan menggegerkan dunia. Bisa saja kebajikan yang “sederhana”, seperti seorang ibu merawat anaknya tanpa pamrih. Sang ibu melakukan itu karena itulah sifat ibu, hanya itu saja tiada embel-embel lain. Itulah yang disebut selaras dengan TAO tapi tidak selalu harus sesuai dengan tao ( aturan atau jalan ). Kebajikan sang ibu itu adalah ekspresi kasih sayang. Karena ekspresi kasih sayang itu tidak bisa dideskripsikan dengan berbagai aturan. Semakin banyak aturan yang digunakan untuk mendeskripsikan kasih sayang maka semakin rumitlah untuk melakukan kebajikan sehingga terjebak pada kebajikan biasa.
Mereka yang saat diajak melakukan kebajikan terus terjebak pada batasan-batasan yang dibuat oleh berbagai aturan maka orang itu sulit mencapai DAO. Apa itu batasan ? Sebagai contoh ketakutan saat mendoakan orang lain seolah-olah si pendoa harus menanggung karma buruk orang lain. Jika ini yang melekat dan sebagai kebenaran maka dapat saya katakan bahwa “dewa” itu tidak adil karena niatan itu terjebak oleh “ketakutan”. Sesungguhnya untuk bisa mencapai kebajikan terunggul itu juga harus disertai latihan-latihan diri. Seperti misalnya saat melakukan ritual malam itu juga sedang melaksanakan kebajikan dengan mendoakan para mahluk yang sengsara bisa mendapat kebahagiaan. Atau juga membiasakan diri mendoakan dunia, mahluk-mahluk lainnya bahagia ( Sabbha Bhanvatu Sukhitata ). Dengan menanamkan mindset ini maka kita sedang melangkah untuk belajar secara spontan “kebajikan terunggul” itu.
Jadi sunggu tidak elok jika kita juga terjebak pada definisi kebajikan atau mencoba mendeskripsikan apa itu kebajikan sehingga menjadi ruwet dan rumit. Sederhana saja, “Just Do It” bukan “just duit”.